34. Comfort Zone (Final)

4.1K 329 52
                                    

"Setiap orang, punya zona nyamannya masing-masing dan ada yang berubah-ubah. Kalau aku, di mana pun yang penting ada kamu, itu bisa disebut zona nyamanku." Ucapan Javas sepuluh tahun lalu.

-oOo-

Pernah tidak merasa jika hidupmu berubah menjadi luar biasa berbeda dalam hitungan jam? Rasanya yang hampa terisi kembali, kecemasan menjadi kebahagiaan, dan yang ditunggu pun menjadi datang. Javas sedang merasakannya sekarang.

Javas yang selalu tangguh, harus mengakui jika ia lemah setelah mengetahui betapa dirinya tak dapat membantu Nara dalam proses persalinan. Dia terlambat datang, istrinya sudah dibawa ke ruang operasi. Javas hanya dapat menunggu di luar, bersama segala pikiran buruknya, kemarahan, kecewa, dan takut kehilangan.

“Padahal gue udah janji bakal menemani Nara lahiran,” Javas bergumam begitu hampir setiap lima menit sekali. Dia terus saja berjalan dari lorong ke lorong membuat Theo dan Lucas risih, namun mereka berusaha maklum.

“Sudah ada Jesse di sana. Gue yakin Jesse lebih dari cukup,” Lucas menimpali untuk ke sekian kalinya.

Iya, Jesse lebih dari cukup. Bisa dibayangkan kalau Javas yang ada di ruang operasi pasti sudah heboh sendiri melihat Nara kesakitan. Bisa-bisa Javas mengomeli dokter-dokter yang menolong Nara. Malah bikin capek dan kesal.

“My Queen itu kuat, gue yakin dia bisa.” Theo menambahkan.

Javas mengerang. Dia rasanya ingin mendobrak atau bersikap lebih gila, meruntuhkan rumah sakit ini misalnya. Kenapa mereka tidak lekas memberinya kabar? Setiap detik terasa lama. Apa dia sedang menjalani simulasi siksaan neraka?

Oke, ini berlebihan. Tapi, tidak juga. Semuanya terasa berat saat sesuatu yang kamu sebut sebagai dunia, dalam kondisi kesakitan dan kamu tidak dapat menolongnya.

Benar, Nayyara adalah definisi dari dunia bagi Javas.

“Kalau Nara sampai kenapa-kenapa, tolong suntik mati gue,” pinta Javas ke Theodore.

Theo memutar bola mata. “Ogah gue masuk penjara demi lo,” balasnya kesal.

Javas melirik ke arah Lucas. Lucas menggeleng dengan khidmat. “Gue juga gak bisa. Masih ada tanggungan adik durhaka yang harus gue urus, sawry bra.”

Kenapa teman-temannya tidak ada yang setia kawan? Javas jadi sedih.

“Gue jadi pengen makan batagor,” Theo berceletuk. Dia berdiri menengok kanan-kiri. “Kira-kira di depan ada yang jual kagak ya, Jav?”

“Istri gue lagi lahiran bodo amat sama batagor.” Javas berkata sengit.

“Santuy Jav, jaman sekarang lahiran uda canggih alatnya. Iya kalau dulu perlu geraji. Paling sekarang pake pisau dapur yang ukurannya lebih kecil.”

Raut Javas semakin pucat. Dalam keadaan normal Javas akan menganggap ucapan Theo sebagai bualan omong kosong, tapi ini kondisi luar biasa di mana Javas sudah separuh sinting. “Serius lu dokternya pake pisau?” tanya Javas bego.

“Terus menurut lu kalau kagak pake pisau? Apa bisa bayi keluar kan jalannya kecil? Gue belum pernah lihat sih, lo kan yang expert.” Theo menjawab dengan berwibawa.

Lucas geleng-geleng kepala, menoyor kepala Theo. “Gaya lu belum pernah lihat nama panjang lu kan Theo PK.”

Alis Javas naik. “PK?”

“Penjahat kelamin,” Theo menjawab dengan suka rela tapi sambil cemberut.

“Kalian jangan bercanda begitu, gue lagi panik.” Javas protes dalam angannya membayangkan geraji dan pisau dapur bersamaan membelah tubuh Naranya. Konyol sih tapi anehnya dia tak dapat menghapus fantasi tersebut.

[Selesai] Perfectly Imperfect Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang