Disinilah aku sekarang dengan gendang telinga yang hampir pecah. Sudah hampir 2 jam, aku harus mendengar rintihan dan tangisan Emily. Aku sangat kasihan padanya, tapi aku juga sangat marah pada ice cube jadi-jadian itu.
Setelah insiden tadi, aku langsung menarik Emily pergi. Kalau bisa jujur, aku sangat takut. Inilah adalah pertama kalinya bagiku menampar seseorang. Aku seorang yang cukup baik dalam mengendalikan emosiku tapi ucapannya tadi benar-benar sudah keterlaluan.
Apa dia bilang ?,tidak ada yang ingin denganku. Helloooo !!, aku memiliki banyak mantan pacar walaupun tidak ada yang setampan dirinya tapi tetap saja dia tidak berhak melukai hati seseorang walaupun ia tampan.
"Jasmin, apa aku terlalu buruk untuknya ?". Kata Emily di sela isak tangisnya.
"Kau sama sekali tidak buruk Emily, dia saja yang terlalu bodoh menolakmu". Kucoba sedaya upaya menenangkan Emily walaupun aku tahu ini tidak akan berhasil.
"Aku bahkan ditolak sebelum mengungkapkan perasaanku". Tangis Emily semakin menjadi-jadi.
Aku hanya berharap suara tangisan Emily tidak kedengaran sampai ke rumah Ray. Dia pasti akan menertawakan kami jika ia mendengarnya. Oh lupa, laki-laki itu mungkin saja tidak tahu cara tertawa aku hampir lupa.
--------------------------------
Setelah makan malam, aku menonton televisi di ruang tamu sebelum mendengar Ibuku memanggilku dari arah dapur.
"Melati, ada yang meneleponmu". Aku lupa ternyata aku meninggalkan gawaiku diatas meja makan, Dengan segera, aku berdiri menuju meja makan. Ketika melihat nomor yang tertera, aku sedikit kaget. Ini nomor Indonesia, siapa yang meneleponku apakah itu Lisa atau mungkin saja Kyla. Aku akan sangat bahagia jika itu mereka.
Setelah mengeser tanda hijau pada layar gawai, aku menempelkannya di telingaku.
"Melati". Suara berat terdengar di sana. Sontak aku kaget. Aku kenal suara itu. Bahkan aku telah menunggu waktu yang lama untuk mendengar suara itu memanggil namaku.
"Ayah". Air mataku sudah bersedia terjun kapan saja. Aku sangat merindukan sosok itu. Bahkan tidak ada kata yang dapat mengambarkan betapa besarnya rinduku. Terakhir aku bertemu dengannya ketika aku berumur 15 tahun, sudah hampir 3 tahun.
Selama itulah, aku dan Ibuku terus menunggu sebuah harapan yang tak kunjung terjawab. Ayahku pergi keluar kota untuk bekerja meninggalkan kami tanpa kabar. Hal itu sering terjadi sejak aku kecil lagi, tapi kali ini berbeda aku dapat merasakan bahwa dia benar-benar pergi. Tapi malam ini, dia kembali walaupun hanya suara.
"Maafkan ayah sayang, ayah pergi terlalu lama" aku dapat mendengar suaranya penuh penyesalan. Ibuku masih belum tahu tentang hal ini dan aku memang tidak berniat memberitahunya. Sudah cukup ia terluka, sisanya biar aku yang hadapi.
Dan malam itu kuhabiskan untuk bercerita banyak hal pada Ayah. Mulai dari sekolah baruku, teman baru bahkan lingkungan baruku. Rasanya menyenangkan dan membuatku sadar akan satu hal.
Selama ini aku tidak bersyukur dengan apa yang aku punya. Aku selalu mengeluh dengan nasib hidupku tanpa sadar bahwa sebenarnya bukan akulah orang paling menyedihkan didunia. Aku masih memiliki kedua orang tuaku di atas muka bumi ini walaupun mereka sudah tidak bersama tapi jantung mereka masih berdetak untuk terus mencintaiku. Statusku sebagai anak broken home bukanlah alasanku untuk memprotes rencana tuhan. Aku tahu Dia punya sesuatu yang baik untukku dimasa yang akan datang.
-----------------------------
"Jadi, bagaimana perasaanmu. Apa kau merasa lebih baik". Aku sedang berjalan bersama Emily menuju sekolah. Sebenarnya aku ragu untuk kembali membahas masalah kemarin, tapi setidaknya aku harus memastikan keadaan Emily.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jasmine
Teen FictionBunga Jasmin, cukup sederhana.Tidak memiliki warna lain dibalik warna putihnya. Pada matahari ia hidup pada angin ia menyapa. Andai hidupku sesederhana dan sesuci Jasmine. Pasti bukan ini jalan yang ku susuri. Ini mengenai aku dan takdirku. Dan tent...