DCI_Sepuluh

726 55 0
                                    

"Kenapa?" tanya Gala tergopoh.

"Jahilnya selalu kelewatan. Ini apa?"

Telunjuk Tita mengarah pada tulisan di gelas plastik yang ia pegang. Tertulis Ny. Galaksi untuk nama pemesan. Gala terbahak melihat wajah masam Tita.

"Itu doa. Semoga segera terkabul, ya Allah."

Ucapan yang terlontar dari bibir Gala terdengar tulus di telinga Tita. Hal tersebut membuat hatinya bergetar. Ia menundukkan pandangannya sambil menyeruput minuman. Laki-laki dengan hoodie berwarna merah tua itu tersenyum menatap wajah ayu yang sedang tersipu. Suasana menjadi hening. Gala menikmati rasa canggung ini.

"Kok, aku lapar, ya?" tanya Tita tiba-tiba. Ia tidak nyaman jika terus dipandangi oleh Gala.

"Ya Allah, lupa pesan makan. Bentar aku order dulu. Mau makan apa?"

"Ayam geprek level pedas gila, deh."

"Oke, aku pesan dulu." ucap Gala kemudian berlalu menuju kedai ayam geprek di sebelah Kopipiko.

Tita mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tatapannya terhenti pada gambar Gala sedang memegang trofi. Namun, tulisan yang terletak di bagian bawah tidak terbaca dengan jelas dari jarak jauh. Bukan hanya satu, ada lima foto Gala di dinding.

"Bukannya Dodi owner Kopipiko?" Tita mengernyitkan keningnya, merasa ada yang aneh dengan semua itu. "Siapa sebenarnya seorang Galaksi Mahendra, mahasiswa semester empat itu?"

Tita mengangkat bahunya. Ia tidak mau tahu dengan itu semua. Dirinya tidak boleh sampai jatuh cinta dengan Gala. Cukup jatuh dan patah untuk satu kali saja dengan masa lalu.

Tidak lama kemudian Gala datang membawa dua porsi ayam geprek. Mereka mulai menikmati makan malam mereka.

"Oh, iya, Tita. Mumpung ingat, nih. Kamu tahu IMG, gak?"

"IMG? Ikatan Mahasiswa Gemilang?"

Gala mengangguk sambil menyantap makanannnya.

"Tahu banget, dong. Waktu kuliah di Jogja, aku jadi anggotanya."

"Serius?"

Tita mengangguk mantap. Matanya terlihat berbinar. Dirinya selalu antusias jika membicarakan masalah organisasinya saat kuliah sarjana dahulu.

"Aku termasuk mahasiswa yang aktif di IMG. Sebelum wisuda malah sempat masuk cabang Jogja."

Gala manggut-manggut. Perempuan di hadapannya itu seperti paket komplit. Ia bersyukur tidak salah menjatuhkan hati.

"Pantesan syarat buat nikahin kamu harus jadi aktivis kampus dulu.

Tita tertawa kecil.

"Bukan gitu, sih. Gak ada ruginya jadi aktivis kampus itu. Kamu bakal merasa sia-sia kuliah kalau kerjaanmu cuma masuk kelas, ngerjain tugas, terus pulang. Gak ada yang seru jika aktivitasmu seperti itu selama empat tahun."

Gala mendegkus kesal. Tidak semudah membuat espresso untuk bisa jadi aktivis kuliah.

"Kenapa nanya IMG?"

"Minggu depan aku mau ikut diklatnya."

Tita tercengang mendengar berita yang tidak disangka-sangka. Gala tidak menyerah mendapat persyaratan berat itu.

"Kamu serius mau nyalon jadi ketua BEM?"

Gala menghela napas dalam.

"Demi kamu, apa pun akan kulakukan. Asal jangan pernah meminta satu hal."

"Apa?"

"Jangan pernah meminta untuk menggadaikan imanku."

"Masyaallah," ucap Tita lirih. Ia begitu tersentuh dengan kalimat terakhir yang diucapkan Gala. Perlahan, dirinya mulai membuka sendiri sosok mahasiswa yang begitu teguh akan cintanya itu.

Tita menghela napas dalam menatap sosok laki-laki di hadapannya. Tembok baja yang melindungi hatinya sejak tujuh tahun yang lalu harus tetap berdiri kokoh tanpa bisa diruntukan oleh apa pun dan siapa pun.

***

Sabtu pagi, Gala sudah berada di depan masjid kampus. Ia duduk di teras sambil mengamati panitia diklat yang sibuk mempersiapkan keberangkatan menuju lokasi.

"Ta, sini bentar."

Resta yang sedang mendata nama peserta mendekat ke arah Gala.

"Apa?"

"Gak ada bocoran dikit aja emang?"

"Gak ada. Pokoknya barang-barang yang diminta panitia harus lengkap gak boleh ada yang kurang."

Gala mendengkus kesal. Panitia tidak mau memberitahukan tempat berlangsungnya diklat yang akan diselenggarakan hari ini hingga besok pagi.

"Kamu bawa jaket, kan?" tanya Resta memastikan. Gala menggeleng pelan, ia menunjuk hoodie yang dipakainya. "Sudah kutebak. Kita gak tanggung jawab kalau kamu kedinginan."

Gala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia hanya membawa baju lengan panjang. Resta pun berlalu, kembali ke tugasnya.

Menjelang pukul delapan pagi, seluruh panitia dan peserta berangkat menuju lokasi. Mereka menggunakan angkutan kota. Ada empat mobil transportasi umum yang disewa. Minat mahasisawa fakultas ekonomi terutama tingkat pertama untuk bergabung dengan IMG patut diapresiasi. Hanya ada tiga mahasiswa tingkat dua yang ikut, salah satunya Gala.

Setelah menempuh satu jam perjalanan, rombongan tiba di bumi perkemahan Cangar yang jadi satu dengan tempat pemandian air panas. Semua peserta bersorak mendapati tempat diklat yang istimewa, menyatu dengan alam. Hanya Gala yang diam tanpa ekspresi.

Ghifari sebagai ketua panitia meminta peserta berkumpul. Mereka akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang juga akan menempati tenda yang sudah ditentukan.

Menjelang siang, semua tenda sudah berdiri. Peserta dan panitia berkumpul untuk menanti dibukanya diklat gelombang kedua. Pak Fahmi bertugas untuk pembuka acara. Beliau mulai memberikan kalimat sambutan.

"Mahasiswa itu bukan hanya kuliah dan mengerjakan tugas. Bukan juga menyelesaikan skripsi, magang, dan KKN—Kuliah Kerja Nyata. Namun, sebagai mahasiswa yang merupakan agent of action, of control, of change, sebisa mungkin memanfaatkan waktunya selama empat tahun di kampus dengan mengaktualisasikan diri. Seperti halnya ikut organisasi atau UKM. Salah satunya IMG ini."

Nasihat Pak Fahmi mendapat perhatian dari sebagian peserta. Ada yang mendengarkan dengan saksama tetapi ada juga yang matanya menatap hutan pinus di sekeliling.

Resta mendelik, saat mata Gala bertatapan dengan gadis itu. Lewat sorot matanya, Resta meminta sahabatnya untuk mendengarkan ucapan Pak Fahmi. Gala hanya tertawa tanpa menimbulkan suara.

"Kuliah itu jangan cuma jadi ajang cari jodoh. Habis dapat ijazah langsung ijabsah." Semua yang ada di sana tertawa. "Kasih contoh yang baik ya, Galaksi."

Gala terperanjat saat Pak Fahmi menyebut namanya. Semua pandangan tertuju pada laki-laki yang pernah gagal masuk ujian jadi abdi negara tersebut.

"Kok, saya, Pak?"

"Kamu kan, peserta paling senior."

Gala menghela napas dalam. Ia pun manggut-manggut.

Setelah pembukaan, acara di lanjutkan dengan pemberian materi. Pukul lima sore, materi selesai dan akan dimulai lagi setelah salat Isya.

"Membosankan gini diklat," ucap Gala pada Resta.

"Kamu gak nikmati, sih. Niat mau jadi aktivis kampus gak, sih?" tanya Resta dengan mimik galak. Sebagai panitia, ia tidak bisa dengan santai bercanda dengan peserta. Hal tersebut sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis.

"Jahat banget kakak panitia ini."

"Sudah, masuk ke tenda sana. Nanti habis isya kumpul lagi di depan."

Resta segera berlalu dari hadapan Gala. Ia menahan tawa melihat sikapnya sendiri di depan teman sekelasnya tersebut.

Gala pun masuk ke tenda. Ia lalu merebahkan tubuhnya di tikar yang telah tertata rapi sebagai alas. Dirinya sedang berpikir keras untuk mencari alasan agar tidak ikut materi nanti.

"Good idea," ucap Gala sambil berdecak. Ia yakin rencananya akan berhasil. 

MEMINANG BU DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang