Suara tayangan televisi itu terdengar samar-samar di telinga Rana. Matanya menatap ke layar lebar itu, tetapi pikirannya entah terbang ke mana. Ia tak bisa terfokus dengan apa yang ada di depannya. Saat ini dia berada di rumah Tante Wina lagi. Setelah dengan paksaan Tante Wina, akhirnya ia dan ayahnya tinggal lagi di rumah wanita lagi itu untuk kebaikan ayahnya. Wina bersikeras memaksa mereka untuk tinggal bersama dengan alasan agar ia bisa membantu memantau kesehatan Arya.
Akhirnya, sang ayah bersedia melakukan kemoterapi pertamanya dengan kesepakatan bahwa Rana dan Cakra akan menikah dua minggu dari hari itu. Tentunya dengan berat hati Rana terpaksa menerima hal itu. Ia sangat ingin bersikap egois tetapi nyawa ayahnya adalah taruhan dari keegoisannya. Benaknya berkata, takdir rumit apalagi ini. Menikah muda tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Sometimes, fate doesn't care about her plans.
Suara kekehan tawa anak kecil terdengar di ruangan itu tiba-tiba. Namun, Rana yang masih terjebak di lamunan seolah-olah tuli akan hal itu. Lamunan Rana terpecah ketika Cakra menaruh Ezra, si bayi kecil itu di samping Rana. Bayi itu menepuk-nepuk paha Rana sambil duduk di sofa yang sama dengan Rana. Ia menatap bayi kecil di sampingnya itu dengan kebingungan.
"Ezra? Kok bisa disini?" tanya Rana terheran-heran.
Rana menoleh ke belakang dan rupanya Cakra telah berdiri di belakang mereka. Cakra hanya tersenyum menanggapi ekspresi kebingungan Rana.
"Ngelamunin apa sih, Dek? Kayaknya daritadi kok tatapannya kosong terus?" tanya Cakra kepada Rana yang tak menunjukkan raut bahagianya.
"Nggak apa-apa, nggak penting juga kok kak."
"Kalau nggak penting pastinya nggak bakal dilamunin lah dek," balas Cakra dengan santainya. Lalu, ia mengambil duduk di samping Ezra yang masih asyik menepuk-nepuk paha Rana.
"Dek, jujur sama kakak. Kamu pasti mikirin pernikahan kita kan?" cerca Cakra dengan sebuah pertanyaan lagi.
Rana tak tahu haruskah ia berterus terang dengan Cakra atau tidak. Mereka tidak sedekat itu untuk menuju ke jenjang pernikahan. Usianya yang masih sangat muda juga membuatnya ragu akan dirinya sendiri. Ia tak tahu langkah apa yang harus ia ambil. Dengan wajah menunduk, Rana masih diam, tak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan Cakra tadi.
"Dek, listen to me! I know it's hard for you. Aku nggak akan menuntut apapun dari pernikahan ini. Tetaplah jadi dirimu, aku nggak akan mengekang kamu dan mimpi-mimpimu. Kamu masih punya kebebasan, aku jamin itu." Cakra berujar serius meyakinkan Rana.
Rana yang mendengar itu semakin ingin menangisi nasibnya sekarang. Rana masih menunduk dan belum mau menatap Cakra. Ia tak tau harus bagaimana. Air mata Rana sudah di pelupuk mata. Ia ingin menolak pernikahan ini tetapi ia juga memikirkan permintaan ayahnya yang tak mungkin ia bantah.
"Cakra? Anak siapa itu?" tanya Arya yang tiba-tiba berada di sekitar mereka entah sejak kapan.
"Om Arya? Emm, ini Ezra om. Salah satu bayi di panti yang kebetulan nempel banget sama saya."
Arya mengangguk mendengarkan penjelasan Cakra. Sedangkan Rana segera menahan air mata yang sudah di pelupuk matanya agar tak disadari oleh sang ayah. Sang ayah berlalu dari tempat itu dengan berjalan hati-hati dan pelan. Kondisinya masih sangat lemah dan jauh dari kata baik. Namun, Arya selalu menolak bantuan dari siapapun karena merasa masih kuat untuk berpijak di bumi dengan kakinya sendiri. Sungguh, sebuah gambaran manusia dan egonya.
Kini, hanya tersisa mereka bertiga disana. Tiba-tiba Ezra yang duduk sedari tadi memegang bahu Rana untuk tumpuan bayi itu berdiri. Ia mencengkram bahu Rana seakan-akan takut jatuh. Rana sedikit terkejut dengan perkembangan bayi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[IM]PERFECT FATE - UNPUBLISHED SEBAGIAN
General FictionKirana, a girl with complicated mind. She has been hurt too many times. She looks strong enough to face her fate. But, if you look closer she's dying. Fate doesn't care about her plans. She's mentally exhausted. Cakra, a charming guy with myster...