Rana menatap kosong rumah yang ditempati ia dan keluarganya dulu. Terasa begitu sunyi tanpa penghuni seorang pun. Ini sudah minggu ke empat sejak ayahnya tiada. Ia rindu dengan ayahnya, ia teramat sangat rindu. Kebiasaan barunya adalah mengais kenangan yang tersisa. Rana sungguh tak siap dengan semua ini, tak pernah terbayangkan semua orang yang orang-orang yang dicintainya perlahan meninggalkannya sendirian dalam kehampaan.
Ia memasuki pintu rumah lama tempat tinggal keluarganya dulu ini. Rumah ini masih seperti yang dulu, kenangan hangat bersama keluarganya masih terasa walaupun samar-samar. Ia memasuki rumah ini dengan langkah perlahan. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah.
Di ruang tengah beberapa buku milik almarhum ayahnya masih tersimpan rapi. Ia menatap rak bagian atas, beberapa buku usang yang nampaknya catatan sang ayah terlihat mecolok. Rana tertarik dengan buku bersampul coklat itu. Perlahan, ia membersihkan debu yang masih menempel.
Dengan buku di tangannya, Ia memilih teras belakang yang masih ditumbuhi beberapa bunga untuk membaca buku itu. Awal buku itu masih berisi catatan biasa ayahnya yang memang suka sekali mencatat apapun yang dialaminya di sebuah buku. Ia membalik halaman buku perlahan-lahan. Sebuah halaman tertahan oleh tangannya karena nampaknya ada hal tak biasa di halaman itu. Bulatan-bulatan bekas air yang telah kering nampak di kertas itu. Tunggu, apakah ini bekas air mata ayahnya?
Tulisan dalam kertas ini tak serapi tak serapi beberapa tulisan di halaman awal. Rana tertarik dengan halaman ini dan mebacanya seksama. Sepertinya kondisi batin ayahnya tak begitu baik kala menuliskan kata demi kata di halaman ini.
Dahlia, kita bertemu di dalam sebuah takdir. Namun, takdir juga yang begitu kejamnya memisahkan kita. Waktu satu dasawarsa bersamamu adalah hal terindah yang pernah kumiliki. Semua terasa hampa semenjak kepergianmu. Kamu pergi tak sendiri. Kamu pergi membawa calon kebahagiaan kita, calon buah hati kita yang masih berada di kandunganmu. Jika kamu merasa adil karena kamu pergi bersamanya dan kamu meninggalkan Kirana bersamaku, itu tidak benar sama sekali. Separuh jiwaku mengikuti kepergianmu, yang dapat kulakuan hanyalah mencari sisa-sisa bayanganmu yang masih tersisa. Dear my another half, I just want to say I love you and always loving you forevermore.
I try not to blame anyone, but it's hard. Aku mencoba menerima ini semua sudah suratan takdir-Nya. Aku mencoba memaafkan anak itu yang dengan biadabnya merenggut nyawamu. Dia tak sepenuhnya salah atas kecelakaan itu, tetapi memaafkannya masih terasa begitu sulit.
KRINGGG....KRINGGG.....
Suara ponselnya terdengar berbunyi. Ia segera menatap ponselnya dan telefon dari Caca membuatnya berhenti membaca buku itu sejenak.
"Halo, Na. Lo di mana?" tanya Caca dari seberang telefon.
"Di rumah lah, kan sudah nggak ada kegiatan lagi di kampus setelah UAS kecuali yang perbaikan," ucap Rana.
"Lo nggak inget makalah pengantar arsitektur yang kelompok itu. Lo kan yang simpan file nya? Deadline nya hari ini jam tiga Na!" ujar Caca kesal.
"Eh, sorry suara lo serak gitu habis nangis ya? Sorry Na gua agak kasar tadi," tambah Caca yang baru menyadari keanehan shabatnya itu.
"Eh? Enggak kok Ca, nggak apa-apa. Iya aku lupa sorry ya Ca, memang salah aku ini. Ini aku langsung ke kampus deh sekalian cetak makalahnya," ujar Rana pada akhirnya.
"Oh, okay Na. Gua tunggu ya."
Rana akhirnya meninggalkan rumah itu. Tak lupa ia membawa sekalian buku ayahnya karena masih penasaran dengan isinya.
***
"Ca, sorry ya aku lupa. Ini makalahnya sudah aku cetak," ucap Rana sambil menghampiri sahabatnya itu.
"It's okay, Na. Sudah kumpulin aja sekarang yuk," ajak Caca dan Rana mengangguk.
Mereka telah mengumpulkan makalah itu dan kini bersantai di bangku salah satu taman di kampus ini. Tak lupa ada segelas bubble tea kekinian di masing-masing tangan mereka yang dipesanan dari aplikasi online.
"Ca, mau tanya dong."
"Tanya apa? Tumben banget tanya ke gua," ujar Caca keheranan.
"Mahasiswa semester satu kayak kita bisa ngajuin cuti kuliah nggak sih?" tanya Rana tiba-tiba.
Caca seketika menolehkan wajahnya kepada Rana dan memandangnya serius, "Lo mau cuti? Bisa sih, setau gua bisa tapi kalau semester satu ada syarat-syarat tertentu."
"Apa syaratnya?" tanya Rana lagi.
"Kalau nggak salah kita dibolehin cuti kalau sakit, hamil, sama beberapa kondisi tertentu, lupa gua. Coba buka website kampus deh," balas Caca.
"Lagian lo emangnya mau cuti?" selidik Caca yang diangguki oleh Rana.
"Kenapa cuti? nanti lulusnya lebih lama kali na," ucapnya menanggapi anggukan Rana itu.
"Nope, just need a break and self-recovery," ucap Rana sambil memejamkan mata dan bersandar mata kursi taman itu.
Caca semakin mentap intens sahabtanya itu. Ia memegang tangan Rana, "Na, I know it's not gonna be easy. Be strong ya, kita selalu di sisi lo kok. Lo nggak sendirian setelah kepergian ayah lo, masih ada kita, sahabat lo. Bagiin beban lo ke kita biar lo nggak ngerasa sendirian."
***
Ia sudah menapaki rumah yang ia tinggali belakangan ini setelah pulang dari kampus beberapa waktu lalu. Rumah ini masih terasa sepi, penghuninya entah kemana. Ia tak menemukan Cakra, Wina, ataupun Danu. Ia menatap pintu ruangan bekas kamar ayahnya sejenak. Entah kenapa ia ingin masuk ke dalam kamar itu. Tanpa berfikir lama akhirnya Rana memasuki kamar itu.
Langkah kakinya berhenti di depan beberapa buku yang sepertinya juga merupakan beberapa catatan ayahnya yang telah usang. Selembar koran yang terliaht terselip yang diketahuinya beberapa waktu lalu menarik perhatiannya. Ia mengambil selembar koran lama yang kertasnya telah terlihat kecoklatan itu. Ia membaca headline koran itu dan merasa semakin penasaran.
KECELAKAAN AKIBAT REM BLONG YANG DIKENDARAI PEMUDA TANPA SIM, 1 ORANG TEWAS.
Ia mebaca kata demi kata yang mebuatnya sangat terkejut. Isi berita itu kembali membuatnya terpaku di tempat. Ia segera membuka beberapa buku catatan peninggalan ayahnya dan menemukan beberapa hal yang memperkuat asumsinya saat ini. Kebenaran itu akhirnya terungkap dengan sendirinya, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga bukan?
"Dek, ngapain di situ?" tanya Cakra tiba-tiba di ujung pintu.
Rana menengok dan mencari asal suara itu.
"Eh, nggak apa-apa kak," ujar Rana sambil berusaha menyembunyikan koran itu kembali ke dalam tumpukan buku ayahnya. Ia mencoba tak terlihat panik dan biasa saja di hadapan lelaki yang telah menjadi suaminya ini.
Hai, selamat malam minggu. Semoga suka ya sama ceritanya. Kritik sarannya ya buat cerita ini. Vote and comment ya kalau kalian suka.☺☺☺
Kalau ada typo boleh banget ditandain ya, authornya suka ngantuk wkwkwk.🙈🙈🙈
KAMU SEDANG MEMBACA
[IM]PERFECT FATE - UNPUBLISHED SEBAGIAN
Fiksi UmumKirana, a girl with complicated mind. She has been hurt too many times. She looks strong enough to face her fate. But, if you look closer she's dying. Fate doesn't care about her plans. She's mentally exhausted. Cakra, a charming guy with myster...