Malam ini terasa sendu. Keheningan menyapa ruangan serba putih ini. Kedua insan itu masih enggan untuk mengeluarkan suara dari mulut mereka. Belum ada inisiatif dari seseorang pun di ruangan itu untuk bersuara. Suara televisi bergema di ruangan putih itu. Mereka berdua masih terdiam bagaikan batu.
"Rana? Masih marah ya sama ayah?" tanya ayahnya pelan.
Rana melirik ayahnya sekilas. Sedari tadi ia enggan menatap ayahnya. Dirinya menatap televisi itu dengan tatapan kosong.
"Nak, ayah nggak mau bilang sama kamu karena ayah nggak mau kamu khawatir."
Rana menahan air mata yang akan tumpah itu. Ia segera menghamburkan diri ke pelukan ayahnya, memeluk ayahnya erat. Sangat erat. Tangisannya tumpah di pelukan ayahnya. Sang ayah mencoba menangkan Rana dengan mengelus pucuk kepalanya.
"Ayah masih anggap aku anaknya ayah? Kalau iya harusnya ayah cerita dong ke Rana. Bagi beban ayah ke Rana." Dengan sesegukan Rana mencoba melanjutkan perkataannya.
"Kanker paru-paru itu penyakit yang sangat serius, Yah. Kenapa ayah nggak pernah bilang ke Rana?" Rana mengatakan itu dengan masih menangis sesegukan di pelukan ayahnya.
"Maaf—" kata sang ayah terputus menahan tangis yang juga akan tumpah. "Maaf Sayang, Ayah nggak mau kamu punya banyak beban pikiran," sambung ayahnya parau sambil menahan air mata di pelupuk matanya.
"Rana maafin ayah, tapi nggak gratis. Ada syaratnya!"
Sang ayah mengernyitkan keningnya yang telah berkeriput itu. Menatap heran sang putri yang jarang meminta apapun kepadanya.
"Apapun itu, ayah akan turuti," ujar sang ayah pelan.
"Ayah nggak boleh punya rahasia-rahasian lagi, ayah harus cerita apapun ke Rana. Nggak boleh nutup-nutupin sesuatu lagi ke Rana."
Sang ayah menatap putrinya serius. Buliran air mata seakan berlomba-lomba untuk jatuh, dari mata Rana maupun mata ayahnya.
"Ayah janji," ucap sang ayah pada akhirnya.
Rana terduduk di kursi. Rana menyandarkan kepala di ranjang perawatan ayahnya dan sebelah tangannya masih memeluk tubuh ayahnya.
"Ayah?" bisik Rana hampir tak terdengar.
"Kenapa, sayang?" sang ayah menatap putrinya itu.
"Tadi kata Tante Wina ayah nunda buat kemoterapi? Kenapa yah?"
"Nggak apa-apa Rana, kalau kemo kan kemungkinan ayah jadi botak sama lebih kurus. Kamu nanti jadi tau kan?"
"Ih ayah, kan Rana sekarang udah tau. Jangan nunda lagi ya?" mohonnya pada sang ayah dengan puppy eyes andalannya.
"Kalau ayah bilang ayah juga punya syarat gimana? Kamu mau nurutin?"
Rana menatap ayahnya dan tak mau berpikir panjang Rana menganggukkan kepalanya. Ia berpikir sang ayah tak akan meberikan syarat yang berat untuknya.
"Apapun itu syaratnya?" tanya sang ayah sekali lagi.
"Iya ayah, apa sih syaratnya?" balas Rana penasaran.
"Rahasia, besok ayah kasih tau," bisiknya langsung di telinga putrinya.
"Ih ayah main rahasia-rahasian lagi, Rana nggak suka." Rana cemberut sambil menatap ayahnya.
Ayahnya terkekeh mendengar ucapan sang putri. Rana melepaskan pelukan dari sang ayah dan tangannya bersedekap di depan dada, seolah-olah kesal pada ayahnya. Sang ayah berusaha membujuk putrinya dan akhirnya Rana luluh dengan bujukkan ayahnya. Malam semakin larut dan interaksi mereka berakhir ketika Rana yang akhirnya tertidur di sofa di dekat ranjang ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[IM]PERFECT FATE - UNPUBLISHED SEBAGIAN
General FictionKirana, a girl with complicated mind. She has been hurt too many times. She looks strong enough to face her fate. But, if you look closer she's dying. Fate doesn't care about her plans. She's mentally exhausted. Cakra, a charming guy with myster...