Ia membawa kakinya berjalan menyusuri lorong lorong sekolah yang sudah senyap, menandakan bahwa semua siswa telah berada dirumahnya masing masing. Di temani segelas coklat panas, menyilangkan kaki di atas sofa empuk nan selimut yang bertengger manis di pundak guna menghalau udara dingin yang terus menusuk kulit. Jangan lupakan benda berbentuk persegi panjang yang dapat menampilkan gambaran juga rekaman, tentang sebuah kisah kehidupan seseorang mungkin.
Andai saja, yah andai saja semua itu dapat dilakukan oleh namja imut ini. Ia ingin sekali hidup bahagia, nyaman, dan damai, seperti teman temannya yang lain, teman teman yang memiliki keluarga lengkap, ada ayah, ibu, juga mungkin kakak atau adik.
Tapi naas itu tak berlaku bagi seorang namja yang bernama Park Jimin ini. Dia sedari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya entah kemana. Mereka tidak mengatakan apa apa pada Jimin kecil saat itu. Jimin kecil tidak tahu harus berbuat apa tatkala melihat semua orang pergi meninggalkan dirinya.
Bukannya Jimin tidak dapat mengejar mereka, Jimin sebenarnya bisa mengejar mereka dan bertanya mengapa, mengapa mereka tiba tiba memutuskan pergi dari rumah tanpa memberi tahu Jimin terlebih dahulu. Tapi sebuah kalimat, sebuah kalimatlah yang menghentikan langkah Jimin untuk berucap,
"Kau anak pembawa sial, jangan ikuti kami!"
Ia bungkam, benar benar bungkam. Telak kalimat itu menyakiti lubuk hatinya yang terdalam. Bagaimana bisa seorang ayah yang ia sayangi juga hormati mengatakan hal itu? Bahkan ia semakin terdiam kala yeoja di samping ayahnya, ibunya melontarkan kalimat pedas yang mana mampu membuat jantungnya seakan diremas kuat hingga nafasnya tercekat.
"Kau bukan anak kami lagi. Kami tidak akan sudi tinggal dengan anak pembawa sial sepertimu! "
Air mata turun begitu saja dari kedua kelopak matanya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, disertai isak tangis yang kian terdengar memilukan bagi setiap orang yang mendengarnya. Namun itu tidaklah berpengaruh bagi keduanya, terbukti jika mereka tetap berdiri tegak dengan koper yang mereka bawa serta menatap benci ke arah Jimin yang tengah menangis terisak.
Dan berlalu meninggalkan Jimin sendirian di rumah itu, rumah yang dulunya terlihat berwarna setiap harinya, namun kini hanya ada kesedihan serta kekecewaan yang terasa di sana.
Jimin menangis meraung raung di dalam rumah itu. Ia sendirian sekarang, tiada seorang pun bersamanya. Tidak ada seseorang yang akan menuntun jalan hidupnya kedepan, memberikan semangat serta dukungan untuk mendapat yang terbaik, juga sebagai sandaran ketika ia sedang bersedih dan butuh tempat pelampias untuk melepaskan separuh bebannya.
Jimin masih di sana, ia termenung di tempatnya, tiada air mata walau masih sesegukan sesekalinya. Ia menatap langit langit ruang tamunya, menatap sendu ke atas sana. Bisakah waktu terulang kembali? Bisakah? Jika bisa Jimin ingin memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya yang sekiranya telah membuat kedua orangtuanya pergi meninggalkannya.
Namun itu mustahil, waktu tidak akan berhenti, waktu tidak akan terulang kembali. Jimin hanya dapat merenung dan memikirkan bagaimana kehidupannya kelak, kehidupan tanpa kedua orangtua yang mengawasi maupun mendampingi.
Duk
Argh
Ia jatuh tersungkur karena menabrak entah apa itu tadi, ia tidak melihat jalan karena terlalu fokus dengan pikirannya sendiri. Mengaduh kesakitan seraya memegangi kepalanya yang terasa sedikit berdenyut karena tubrukan yang cukup kuat tadi. Tapi anehnya mengapa orang yang di tabraknya itu tidak bergeming dari tempatnya, ia tetap berdiri tegak tanpa bergeser seinchi pun. Jimin yang penasaran pun mendongakkan kepalanya, seketika manik coklat tua itu membolakan matanya kala yang dilihatnya adalah sosok yang ia hindari belakangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Maze || Yoonmin ✔
FanfictionKehidupan miris yang Jimin jalani dari menjadi budak sex Yoongi hingga menikah dengan Yoongi. Bahkan tak sampai situ, setelah menikah pun ujian juga tantangan menanti Jimin di depan sana. Kehidupannya bersama sosok Min Yoongi malah membuatnya semaki...