Jatuh Cinta
————————
“Karena kejujuran itu penting dan yang paling utama. Bukan tentang seberapa pintarnya dia mengungkapkan, akan tetapi bagaimana dia mengungkapkan dan apa yang dia niatkan dalam kehidupan.”
•••
Sejak kaki Al tepat memasuki kelas sembilan E, mata Ai tak pernah kehilangan jejak pergerakan yang dilakukan Al. Tidak akan Ai biarkan sedetik pun melewatkan pemandangan indah ciptaan Tuhan. Ai bahkan tidak menoleh saat diajak berbicara Zahra dan Zulfa.
Dia benar terkena virus merah jambu dari kemarin. Setan bersorak-sorak ria menyaksikannya. Dirinya semakin jatuh lebih dalam. Memandang Al tanpa henti membuat kekagumannya terus bertambah.
Ciptaan Tuhan yang satu ini nyaris sangat sempurna. Ai dapat menelitinya dengan detail keindahan yang terpancarkannya. Bukannya kalimat istigfar yang keluar dari mulut Ai, namun bunyi ayat ‘fabiayyialairabbikumatukaziban’ yang Ai ucapkan.
Zahra dan Zulfa menggeleng melihat tingkah Ai. Walaupun Zahra berusaha menggerakkan kepala Ai ke arahnya, tapi tetap saja mata Ai tak menatapnya.
“Ih Ai, lu disantet apa si sama Ustadz Al sampe gini amat, udah kali natapnya,” decak Zahra. Ai mengabaikan perkataan Zahra dan tetap fokus menatap Al.
“Baik, cukup sampai di sini pertemuan kita kali ini, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” tutup Al.
Setelah menjawab salam seluruh siswa keluar kelas. Sementara kaki Ai beralih melangkah ke arah Al yang sedang sibuk merapikan kertas-kertas berserakan dari siswa. Zahra dan Zulfa tak menyadari Ai berhenti mengikutinya.
“Pak Ustadz,” panggil Ai seraya mengulurkan tangan.
Al terlihat mengamati Ai sejenak lalu mengatakan, “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya, hadits riwayat Thabrani.”
Ai langsung menganga mendengar jawaban yang keluar dari Al. Dengan polosnya Ai bertanya, “Kenapa, Pak?”
“Kamu baru saja meminta untuk bersalaman,” jawab Al.
Ai berusaha mencerna perkataan Al. Setelah mengerti maksudnya, Ai spontan tertawa. “Ooh ini Ai itu mau bantuin Pak Ustadz bawain kertas, bukan mau salim,” ujar Ai masih terkekeh.
“Oh engh .. ini,” kata Al sambil menyerahkan beberapa tumpukan kertas, dirinya seperti ingin menolak tapi tidak jadi. Tingkahnya terlihat sekali sedang salting alias salah tingkah.
Al memasang wajah datar lalu berjalan meninggalkan Ai yang masih tertawa. Ai mengikutinya di belakang sambil terkekeh menahan tawa. Dia tidak menyangka seorang “Pak Ustadz” dapat dengan percaya dirinya mengira Ai ingin mengajak berjabat tangan.
Di tengah perjalanan tiba-tiba langkah Ai dihentikan oleh seseorang. “Eits ngapain, lu. Sini biar gua aja,” kata Bianca langsung menyerobot kertas yang Ai bawa.
“Ih apaan sih lo! Dateng-dateng main rebut kertas milik orang,” balas Ai.
Bianca malah menirukan Ai saat sedang berbicara. “Udah biar gua aja yang bantuin Ustadz Al, lagian lo nolong juga karena ada maunya kan? Alias modus seribu cara,” kata Bianca membuat Ai bungkam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Part of Fisabilillah [On Going]
Teen FictionAiniya mengalami perubahan drastis karena sering berpindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya. Mereka pindah dikarenakan urusan pekerjaan. Hingga abinya pun memutuskan untuk menetap di Jakarta dan meninggalkan kampungnya di Bandung. Sifatnya sela...