Mendadak Hijrah
❤❤❤“Menjadi baik itu memang sulit Ai, tapi menjadi buruk itu tak mengenakan. Walaupun Ai belum bisa bersaing dengan orang-orang yang ahli surga tapi Ai bisa berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan mereka yang ahli maksiat.”
•••
Dua minggu sudah Ai lewati tanpa kehadiran sang Abi. Terasa berbeda tetapi juga terasa biasa saja karena abinya jarang berada di rumah. Ai menjalaninya dengan mudah. Mungkin benar kata Zulfa jika menyalahkan takdir itu salah dan setiap kejadian itu ada hikmahnya. Buktinya sekarang Ai tidak merasa terbebani berkat keikhlasannya.
Namun yang salah sikap Ai kepada Asya masih selalu cuek. Rasa sayangnya menjadi berkurang. Dipikirannya masih tersimpan rasa benci. Tidakkah ia sadar jika perbuatannya itu dibenci Allah?
Mengenai keributan Ai dengan Bianca, itu sudah selesai. Bianca dan Anton terbukti bersalah. Anton dikeluarkan dari sekolah karena telah berani mencium Bianca di depan umum. Sementara Bianca tetap tidak dikeluarkan karena mereka ternyata belum resmi terikat pacaran.
Jika Ai tidak menabrak Anton waktu itu, mungkin Bianca akan dikeluarkan juga oleh kepala sekolah. Memalukan bukan? Justru karena itu Bianca malah semakin membenci Ai. Tetap bersekolah di SMP N 1 Jakarta menjadikannya mudah membalas dendam.
Ai tidak akan pernah takut melawan siapa pun, termasuk Bianca. Berbagai ancaman dari Bianca tidak akan membuat Ai bertekuk lutut memohon kepadanya. Apa yang harus ditakuti dari Bianca? Manusia biasa, tidak bisa berkuasa yang hanya pandai bercakap.***
Sepanjang memandangi telepon, Ai tak berhenti mengukir senyum. Entah berapa banyak gombalan yang dikirimkan Alif malam ini hingga membuat pipinya merona. Waktunya terbuang banyak hanya untuk menemani Alif.
Aneh, banyak wanita terbuai oleh asmara karena rayuan lelaki. Laki-laki itu hanya manis dimulut, hatinya bisa sepahit kopi. Karena seorang lelaki benar-benar mencintai seorang wanita ketika dia sudah menikah.
Seketika senyum Ai hilang saat Alif mengungkapkan sesuatu. Sesuatu yang sangat tidak Ai sukai. Sesuatu yang bilamana dilakukan akan banyak mengundang dosa. Terpancar guratan kecewa di wajah Ai.From Aliff ♥:
Ai, mau gak jadi pacar aku?
Walaupun Ai juga suka dengan Alif, tapi dia membenci yang namanya pacaran. Dia tahu dosa yang ditimbulkan pacaran. Seumur hidupnya belum ada yang pernah menjadi kekasih hatinya. Menyukai seseorang itu wajar, yang tidak wajar menginginkan ikatan lebih yang tak halal. Sungguh, Ai hanya menginginkan hubungan biasa saja dengan Alif.
“Ainiya, kamu pacaran?” tegur Asya.
Aihh, bego lu Ai, batin Ai.
Ai tak sadar Asya telah mengamatinya sejak tadi. Ai lupa menutup pintu, jadi Asya bisa masuk tanpa permisi. Ingin mengusir tapi takut Atha akan memarahinya lagi. Ya sudahlah Ai hanya bisa pasrah masuk telinga kanan keluar telinga kiri mendengar ceramah Asya.
“Enggak,” jawab Ai ketus.
“Jangan bohong, Ai!”
“Ai gak pernah pacaran Ummi! Ummi gak usah ikut campur urusan Ai deh!” Ai tidak sengaja berucap, mulutnya tidak bisa dikendalikan. Orang yang sedang emosi sekaligus menstruasi tak jarang sulit mengendalikan emosi.
Ingin rasanya mengucapkan maaf, tapi egonya tak dapat dikalahkan. Bukannya marah, Asya malah tersenyum ramah kepada Ai. Ai benci senyuman itu. Senyuman penuh kepalsuan. Kenapa Asya masih bisa tersenyum atas apa yang dilakukan Ai?
Asya menatap lekat ke arah Ai, membuat Ai memalingkan wajah ke arah lain. “Ainiya sayang, Ummi menamaimu Ainiya Faida Azzahra bukan tanpa sebab. Ada arti yang begitu indah dibalik namamu, Ummi berharap kamu bisa jadi anak yang bermanfaat dan berakhlak mulia seperti Bunda Fatimah Azzahra.”
“Ummi tidak akan menuntut Ai untuk sempurna menjadi seorang Fatimah Azzahra karena sejatinya manusia di dunia ini tidak ada yang sempurna. Tapi Ummi berharap Ai bisa mencontoh sifat Fatimah Azzahra yang sangat pemalu. Beliau sangat menjaga kemaluannya, bahkan dia sampai menangis jika lekuk tubuhnya terlihat saat beliau meninggal.”
Tenggorokan Ai tercekat. Lidahnya terlalu kelu untuk melawan. Ini yang Ai suka dari Asya, dia selalu sabar menghadapinya, tidak ada guratan marah di wajahnya. Tapi Ai juga tidak suka kondisi seperti ini. Dia tidak mungkin menangis di hadapan Asya.
“Fatimah sangat sayang kepada Rasulullah, ia juga begitu sabar saat melihat Rasulullah dihina dan disiksa. Beliau salah satu wanita pilihan yang dijanjikan surga bersama Khadijah, Aisyah, dan Maryam.”
Begitu buruknya Ai sampai kata demi kata yang diucapkan Asya sangat menyakitkan. Dirinya jauh berbeda dari apa yang diharapkan Asya. Secuil pun tidak ada sikapnya yang mencerminkan Fatimah Azzahra.
Ai pun membenci Asya. Adakah sifat Fatimah Azzahra yang demikian? Tentu saja tidak. Ai malah tertarik dengan bisikan setan daripada nasihat Atha. Ai tidak pernah mendengarkan Atha yang selalu setia menasehatinya. Penyesalan datangnya selalu di akhir.
Kata andai memenuhi pikirannya. Andai dia tidak membenci Asya, tentu Asya akan sedikit terobati kesediahnya. Andai dia tidak mengucapkan kata-kata menyakitkan pada Asya, pasti Asya sungguh sakit hati.
“Maafin Ai, Ummi.” Ai langsung memeluk umminya yang sudah menangis. Tangis Ai pun tidak bisa ditahan.
“Menjadi baik itu memang sulit Ai, tapi menjadi buruk itu tak mengenakan. Walaupun Ai belum bisa bersaing dengan orang-orang yang ahli surga tapi Ai bisa berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan mereka yang ahli maksiat.”
“Tapi Abu kenapa pergi, Ummi?”
Asya menghela napas panjang. “Ummi belum siap ngasih tau ke kamu Ai, Ummi akan kasih tau kamu saat kamu udah paham,” jelas Asya selembut mungkin berharap Ai dapat memahami keputusannya.
“Tapi kenapa, Ummi?”
“Maafin Ummi, tapi ini demi kebaikan kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Part of Fisabilillah [On Going]
Novela JuvenilAiniya mengalami perubahan drastis karena sering berpindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya. Mereka pindah dikarenakan urusan pekerjaan. Hingga abinya pun memutuskan untuk menetap di Jakarta dan meninggalkan kampungnya di Bandung. Sifatnya sela...