Zulfa Main
❤❤❤“Jangan membuat janji yang tidak bisa ditepati, berdampak menyebalkan, seolah terkesan memberi harapan palsu.”
•••“Oke, everybody. Tomorrow you are will have daily test, so study for prepare it. Thank you for today, see you,” kata Miss. Emma guru bahasa inggris kelas sembilan.
Miss Emma, selalu mendadak jika mengabari akan ada ulangan harian. Membuat orang yang tidak suka bahasa Inggris semakin membencinya. Sebenarnya Miss Emma orang yang baik, hanya sikapnya saja terlihat tegas jadi sedikit tegang. Namun, terkadang dia juga sering menyelingi jam belajar dengan candaan. Penjelasannya juga tidak membingungkan, langsung pada materi.
Semua anak mengeluh dan menjawab serempak, “Yes, Mam.”
Anak–anak ribut setelah Miss Emma meninggalkan kelas. Mereka kebanyakan tidak suka dengan bahasa inggris. Menurut mereka bahasa inggris itu seperti perempuan yang sedang menstruasi. Susah dimengerti dan serba salah. Ya, susah dimengerti artinya dan serba salah pengucapannya.
Tapi, tidak dengan Ai. Dia justru lebih tertarik dengan bahasa inggris. Menurut dia, dengan bisa bahasa inggris membuatnya bisa bicara dengan bule ganteng. Itulah yang memotivasi Ai tertarik belajar bahasa inggris.
“Yah, Miss. Emma dadakan banget si. Tapi, lebih enak tahu bulat,” rengek Zulfa.
“That's no problem, english is not difficult.” sahut Ai menirukan logat orang bule.
Tanpa sadar Ai mengatakan itu pada Zulfa. Padahal mereka sedang marahan. Tidak ada komunikasi dengan sahabat sendiri tidaklah mudah, demikian mereka. Ai mengedarkan pandangannya ke arah lain, menyadari hal bodoh yang telah dia lakukan.
Bodoh lu Ai, ngapain nyahut omongan si Zulfa? Padahal kan lu sendiri yang marah sama Zulfa, kenapa lu yang ngajak omong duluan, harusnya kan dia yang duluan ngomong dan minta maaf ke lu, batin Ai merutuki dirinya sendiri.
“Iyaa elo kan pinter. Eh Ai, nanti aku ke rumah lu ya? Mau belajar bareng,” pinta Zulfa.
“Giliran butuh aja dateng ke gua, si Zahra-lu itu ke mana?” ceplos Ai.
“Ya ampun Ai, ternyata dari kemarin tu lu cemburu sama Zahra? Ha ha gua kira apaan. Gini, gua itu rencananya mau ajakin Zahra jadi sahabat kita, kasian kan dia sendiri terus? Jadi gitu, jangan salah paham. Terus, mau kan belajar bareng? Ayolah Ai, gua selama jadi sahabat lu belum pernah sekali pun main ke rumah lu,” bujuk Zulfa lagi.
“Eemm gimana yaa... Iyaa deh,”
Seketika kemarahan Ai hilang. Penjelasan Zulfa membuatnya lega. Meskipun, masih sedikit kesal. Ai tetap akan berdamai dengan Zulfa. Tidak baik juga bermarahan dengan saudara semuslim lebih dari tiga hari. Nyatanya baru satu hari mereka tidak saling sapa, entah, sungguh Ai tidak bisa jauh dari Zulfa.
“Yeay, terima kasih Ainiya sahabat terbaik dan gak pernah sombong,” sorak Zulfa sambil memeluk sahabatnya itu.
Nerrt nerrt nerrt
Pelajaran hari ini sangat membuat bosan Ai. Mulai dari ips, guru yang menjelaskan rinci sekali tentang masa perjuangan pahlawan dengan cara diplomasi atau apalah itu. Membuat Ai menguap berkali – kali karena tidak mengerti sama sekali dengan sejarah. Lalu ipa, tentang susahnya rumus fisika menghitung jarak cermin. Dan untunglah pelajaran diakhiri dengan bahasa Inggris, membuat Ai sedikit fresh ditambah dengan mendengar penjelasan dari Zulfa.
Sekarang Ai ada di depan sekolah, menunggu Atha menjemput. Hari ini Ai tidak menaiki sepeda karena ada masalah dengan si ban yang mengeluarkan udara sedikit demi sedikit. Ai mendengus kesal. Abangnya belum juga datang. Dia mengingat akan janji yang diucapkan Atha sebelum meninggalkannya tadi pagi.
“Hilih apaan, ini udah nunggu sepuluh menit belum juga dateng dateng, ‘Abang janji nanti jemput tepat waktu' dasar Abang bisanya cuma php aja. Awas aja nanti kalo dateng aku semprot pake obat nyamuk!” gerutu Ai.
“Ai lu nunggu siapa? Tumben gak naik sepeda?” Pertanyaan Zulfa menghentikan Ai dari ocehannya.
“Iya sepeda aku bocor terus dianter Abang aku deh, dan sekarang lagi nunggu si Abang yang belum datang-datang,” ucap Ai lalu menarik bibirnya ke atas layaknya orang yang sedang bete.
Hari ini, Ai memang diantar oleh Atha yang kebetulan hanya ada jam kuliah sebentar, berangkat agak siang dan pulang sore. Awalnya, Ai sudah jalan menuju sekolah tapi beberapa saat kemudian ban sepeda mendadak kempes. Terpaksa Ai harus balik arah lagi kembali ke rumah. Dan mau tidak mau Ai diantar Atha daripada harus jalan kaki. Tapi, ini yang Ai tidak mau, menunggu, Ai paham kalo Abangnya akan telat menjemput, yang menjadi masalah kenapa harus ngasih harapan?
“Emang Abang kamu gak ada kuliah hari ini?”
“Ada si, pulang sore.”
“Ya udah, bareng gua aja yuk, sekalian main ke rumah lu.”
“Lu gak ganti baju dulu?”
“Gak papalah, besok udah gak di pakai lagi kok.”
“Oke deh, yuk.”
Ai dan Zulfa kemudian memasuki mobil Siska, ummah Zulfa yang sudah lama menunggu. Tidak terlihat raut wajah yang marah atau menakutkan dari Siska. Padahal, mungkin tadi sudah cukup lama dia menunggu karena Zulfa berbincang dengan Zulfa. Justru senyuman terpancar dengan ikhlas. Wajahnya bahkan terlihat menenangkan.
Jelas sekali Siska tidak perlu menyetok kesabaran. Zulfa anak yang sangat baik, lembut, dan sangat sabar menghadapi Ai yang sangat kurang dari kata sempurna. Tidak ada sahabat sebaik Zulfa. Zulfa juga sangat menjaga pandangannya, tidak pernah meninggalkan salat wajib dan sunah, dan selalu menuruti perkataan ummah dan abahnya. Zulfa si pengagum Rasulullah. Itu yang membuat Ai heran, saat itu ketika Ai tanya.
“Fa, idola lu siapa?” Pertanyaan itu terlontar ketika mendapat tugas membuat teks deskripsi tokoh inspirasi.
“Rasulullah,” jawab Zulfa santai.
“Kenapa Rasulullah? Kenapa bukan artis korea atau artis soleh kaya Azmi?”
“Rasulullah itu idola paling baik, betapa banyak pengorbanannya kepada kita umatnya, bahkan Rasulullah sebelum wafat meminta untuk memberikan semua rasa sakit umatnya ketika ajal menjemput kepada diri Rasulullah saja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Part of Fisabilillah [On Going]
Teen FictionAiniya mengalami perubahan drastis karena sering berpindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya. Mereka pindah dikarenakan urusan pekerjaan. Hingga abinya pun memutuskan untuk menetap di Jakarta dan meninggalkan kampungnya di Bandung. Sifatnya sela...