Kucuma melihat kurangnya dirimu
Ku tak menilai apa lebihmu
Beruntung ada yang ingatkanku
Tuhan, jagalah dia untukkuHati mana yang selembut hatimu
Hati mana yang semenerima itu
Beruntung ada yang ingatkanku
Sehebat itu cintamu padaku>>Aku, Kamu, dan Kita<<
||Song by Sarwendah Tan||Selesai menghabiskan sepotong brownies, aku berjalan ke arah dapur untuk mencuci pisin. Terdengar suara salam dari Syafiq dan aku membalasnya. Kini Syafiq terdengar berteriak memanggil namaku. Pria itu! Aku berdecak dan buru-buru meninggalkan dapur.
"Nggak usah teriak-teriak, Fiq. Emang aku bu—" aku melihat Ibu digandeng Syafiq masuk rumah dan mereka di ruang tengah sekarang, "—deg."
"Ada Ibu," ucap Syafiq, dengan wajah girang dan nada suara sangat antusias.
"Kak Ayu, jangan ngomel-ngomel gitu, dong."
Aku segera mengambil dan mencium punggung tangan Ibu. "Ngeselin dia, tuh. Dalem rumah teriak begitu."
Mendengarku mengadukannya, Syafiq justru tertawa lepas. Sementara Ibu turut terkekeh. Menghentikan tawa, Ibu mengulurkan sebuah plastik putih. Aku segera menerimanya.
"Apa ini, Bu?"
"Sayur bayam sama oyong."
Aku tersenyum saat teringat kejadian tadi pagi. Rezeki Syafiq ini. Dia ingin sekali makan sayur. "Makasih, Bu. Tadi pagi aku bikin nasi uduk, Abang minta sayur."
Ibu menoleh ke arah Syafiq. "Iya, Bang? Ya, udah. Ini dimakan. Jangan sisain sampe sore, ya."
"Ya, Bu," balas Syafiq pada ibuku seraya mengangguk.
Berjalan ke dapur seraya membawa bungkusan, aku menaruh sayur bening itu di wadah lalu kembali ke meja makan. Aku melihat ke arah Syafiq. "Abang, tolong beli gula dulu. Buat nanti sore, masih. Besok, abis. Tadi ke minimarket malah lupa beli."
"Kak Ayu, biarin Bang Syafiq makan dulu, dong."
Syafiq melihat ke arah Ibu. "Nggak apa-apa, Bu."
Kini ia memandangku. "Kamu ke minimarket, Neng? Kok, nggak bilang sama aku? Tadi diajak ke mall nggak mau," protesnya.
"Ya, kan, cuma beli bahan-bahan makanan. Abang ke tempat Ibu. HP-nya juga ketinggalan, 'kan?"
"Kamu, kan, bisa telepon Bagus. Telepon Ibu. Pasti aku anterin. Kenapa nggak izin, sih?"
Kini Syafiq menoleh ke arah Ibu. "Bu."
Seenaknya saja pria ini mengadukanku. Syafiq sudah tidak ada orangtua. Bagaimana aku membalas mengadukannya?
Ibu menegurku, "Kak Ayu, bener apa kata Abang, dong. Udah jadi istri, perginya harus izin suami."
"Aku cuma ke minimarket ujung jalan, Bu. Deket."
"Meski deket, tetap harus izin. Udah, udah. Jangan berantem," nasihat Ibu.
Aku memandang ke arah Syafiq yang nampak kesal padaku. "Maaf, deh. Itu jadi beliin gula, nggak? Kalo perginya sambil marah mah nggak usah aja."
"Mau," balas Syafiq dengan nada datar.
"Ya, udah, berangkat. Kenapa masih berdiri aja?"
"Kak Ayu," tegur Ibu.
"Uangnya mana?" pinta Syafiq.
Aku berjalan ke arah kamar dan mengambil uang. Saat keluar kamar, Syafiq sudah berada di depan pintu kamar dan aku menyerahkan uang itu. "Nih, beli gula sekilo di warungnya Bu Asih."
Menerima uangku, Syafiq mengambil helm dan berjalan keluar.
"Ke Bu Asih, kan, tinggal jalan, Bang. Kenapa pake motor?!" seruku, saat pria itu mulai menunggangi motornya.
"Biar!" sahut Syafiq, lalu menjalankan motornya meninggalkan rumah.
Bertingkah, deh, saat ada Ibu.
"Kak Ayu," panggil Ibu, membuatku berjalan ke arahnya.
"Kebetulan Ibu ke sini. Aku bikin brownies, nih. Bikin nggak banyak. Tadinya cuma buat aku sama Abang aja. Ini Ibu cobain, ya. Kasih komentar kurang apa," ujarku, seraya memotong brownies dan duduk di samping Ibu.
Aktivitasku terhenti kala Ibu memegang tangan kiriku. Sontak aku menoleh ke arah wanita paruh baya yang kini mengenakan kerudung hitam dan gaun panjang bercorak batik. "Kamu bahagia, Nak?"
Aku terdiam sejenak. Aku menikahi pria pilihan Ibu yang tak aku cintai. Bagaimana mungkin aku bisa bahagia? Namun, aku tak terbiasa meluapkan keluh kesah pada wanita yang berjuang sendirian untuk membesarkan aku dan Bagus setelah ayahku meninggal.
"Ya, Bu." Aku tersenyum lebar. "Kenapa Ibu nanya gitu?"
"Alhamdulillah, Ibu seneng banget dengernya," ucap ibuku.
Membuat Ibu bahagia adalah keharusan bagiku. Meski aku harus mengorbankan perasaanku—hidup bersama pria dalam pernikahan yang telah diatur.
"Tau ... nggak, Kak, Abang adalah pria yang Ibu harapkan jadi suami kamu," ucapnya. Mata Ibu tak lepas memandangku. "Penampilannya sederhana. Pekerjaan Syafiq bisa memenuhi kebutuhan kamu. Tapi dari semua itu, Ibu lebih bersyukur dia begitu sholeh dan sayang sekali sama kamu."
Wajahku tertunduk—memperhatikan kue di depanku. Seandainya Ibu tahu bahwa aku menginginkan pria dengan kedudukan lebih tinggi. Pria yang lebih mapan agar status sosialku terangkat. Tentunya aku ingin membahagiakan Ibu. Ingin membuatnya bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risalah Dua Hati
General FictionToo good to be true, mostly not good. Ayudya Sudrajat hanya mengetahui segala sifat baik pria yang akan dijodohkan dengannya. Tak menolak calon suami pilihan sang ibu, Ayudya bersedia menikah meski cemas luar biasa dan berpikir pernikahannya tak aka...