Jika aku pernah salah
Jangan lalu engkau kalah
Dan jangan kau lelah
Pertahanankan kita>>Aku, Kamu, dan Kita<<
||Song by Sarwendah Tan||🎵🎵🎵
"Kenapa kamu suka aku?"
"Karena kamu cantik," balasnya cepat.
Berhenti memijat ringan wajahnya, aku mengambil bungkus sheet mask. Sisa serumnya aku tuang di tangan dan membalurkannya pada leher Syafiq.
Tubuh pria itu menggeliat. "Ay, ngapain? Geli."
"Ini sisa serumnya masih ada. Buat leher sama tangan nanti. Sayang kalo dibuang. Treatment kecantikan kayak gini, tau. Jangan bawel, deh."
"Oh, ya," balasnya.
Seraya menyapukan sisa serum, aku bertanya lagi, "Jadi, kamu suka sama aku karena cantik doang, nih?"
Syafiq terkekeh panjang. "Cantik, jadi aku suka. Udah cantik, jualan bantuin Ibu, bikin aku penasaran. Terus, aku yakin aja kalo aku mau kamu jadi istri aku. Berdoa semoga kamu jomlo juga," tuturnya, lantas terkikik geli.
Seraya memberengut, aku mengusap serum itu pada lengan kanan Syafiq dan memijat-mijatnya.
"Fokus aku, kerja aja dulu. Semoga Allah jagain kamu buat aku. Terus, setahun kemaren, aku ngerasa siap. Dibantu Tante buat ngomong sama Ibu, eh, aku dibolehin kenalan. Terus kamu mau, kan, alhamdulillah."
Aku mengangkat tangan kiri Syafiq dan mengusap sisa serum yang tinggal paling akhir. "Kok, kamu bisa seyakin itu?"
"Aku udah berusaha, Ay. Aku jadi orang baik dulu. Nanti jodoh aku juga baik. Aku mau kamu, terus aku usahain, tuh. Kerja sambil berdoa, eh, minta dikenalin juga. Buktinya kamu mau." Syafiq terkikik lagi.
Sesederhana itu perasaannya? Semudah itu Syafiq meyakinkan diri untuk memilihku. Sebaliknya, ada banyak keraguan sebelum aku menerima pinangan pria itu. Aku merebahkan tubuhku di dada lebar Syafiq. Aku seperti mendengar debaran jantung pria itu.
"Ay, kenapa?" tanya Syafiq.
"Kamu pernah nyesel sama keputusan kamu? Keputusan untuk nikahin aku?"
"Kamu ngomong apa, sih, Ayudya?"
Tangan kiri Syafiq terasa menyentuh ujung kepalaku. "Kamu cantik. Siapa yang nggak mau punya istri cantik? Kamu nggak malu bantuin Ibu jualan. Padahal kamu bisa jadi artis."
Sontak aku terkekeh. Tubuh Syafiq sedikit bergetar lantaran turut tertawa bersamaku. Dasar pria ini! Dia pikir, artis hanya modal cantik?
"Aku juga cari tau tentang kamu. Dari Ibu, sih. Tapi, aku percaya aja sama Ibu. Kamu nggak pernah lupa salat. Abis kerja, kadang kamu bantu jualan Ibu. Ibu bilang, kamu belom ada yang punya. Itu yang paling penting, Ay."
Aku tersenyum lagi.
"Laki-laki yang baik, jodohnya perempuan baik juga."
"Kalo aku belum baik?" selaku.
"Walau kamu belum baik, tapi kalo kamu jodohku, pasti aku bisa bimbing kamu jadi lebih baik."
Kalimatnya bagai meruntuhkan pertahananku. Pelukanku makin erat di tubuh Syafiq. Wajahku disembunyikan pada dadanya. Inikah rasanya diinginkan oleh seseorang? Aku seakan kehilangan arah dan hanya melihat Syafiq. Hatiku mengatakan bahwa dialah tujuanku.
Tangan kiri Syafiq mengusap rambutku sedangkan aku merasakan dekapan dari tangan kanannya. "Bisa nikah sama kamu bukan akhir dari perjuangan aku, Ay. Justru itu adalah awal. Awal bagaimana aku berusaha untuk bahagiakan kamu yang udah rela menghabiskan sisa umur kamu buat jadi istri aku."
Cairan bening menetes melalui pelupuk mataku. Sekuat tenaga, aku menahan isakan. Ya Allah, aku berjanji akan lebih bersabar lagi menghadapi pria ini. Bantu aku untuk ikhlas mengarungi bahtera rumah tangga bersama Syafiq.
"Suara apa, Fiq? Gerimis, ya?" tanyaku, saat mendengar bunyi rintik air.
"He em. Sebelum Ibu pulang juga udah mulai mendung, 'kan?"
Aku terperanjat. "Ya, Allah. Fiq, jemuran!" seruku, bergegas melompat turun dari ranjang.
"Buruan ambil keranjang," perintahku, ketika berjalan cepat mendekati pintu kamar.
"Tapi aku lagi pake masker, Ay," tutur Syafiq, masih telentang dengan nyaman.
Astagfirullah. Baru saja aku mencoba bersabar untuk menghadapi tingkah laku Syafiq. Mengapa ujian kesabaran datang secepat ini? Mengabaikan pria itu, aku setengah berlari ke arah belakang rumah. Gerimis lebat, aku bergerak cepat mengambil jemuran yang sudah kering.
"Ay, Ay!" panggil Syafiq.
Ketika menoleh, aku melihat pria itu memakai hoodie yang menutupi kepalanya. Tangan kiri Syafiq memegang keranjang dan tangan kanannya memegang payung. Sheet mask masih menempel pada wajahnya. Bagaimana bisa aku menahan tawa?
Aku mengangkat semua jemuran dan menaruh di keranjang yang Syafiq pegang. Setelah selesai, Syafiq berjalan cepat masuk rumah lebih dulu. Dia hanya memakai payung untuk dirinya sendiri. Saat aku melipat payung yang Syafiq tinggalkan begitu saja, suara pria itu kembali terdengar.
"Neng, maskernya kena air hujan! Nggak apa-apa?!"
Inilah jadinya saat pria pertama kali mengenal skin care!
***
💕💕💕
Next part ending, yeay! Simpan cerita ini di library/draft kalian. Nantikan pengumuman menarik lainnya!
❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Risalah Dua Hati
General FictionToo good to be true, mostly not good. Ayudya Sudrajat hanya mengetahui segala sifat baik pria yang akan dijodohkan dengannya. Tak menolak calon suami pilihan sang ibu, Ayudya bersedia menikah meski cemas luar biasa dan berpikir pernikahannya tak aka...