6. Piring

119 16 7
                                    

Nanda berdiri diam di depan rak peralatan dapur, mengamati jajaran piring yang dia rasa jumlahnya semakin menipis.

Seingatnya, dulu jumlah piring tidak sesedikit ini.

Perlahan jemarinya bergerak di udara, menghitung jumlah piring yang tersisa. Hanya ada empat piring ukuran sedang yang biasa dipakai untuk makan di sana. Benar-benar terkurang banyak ternyata. Dan tentu saja Nanda tahu siapa pelaku utama yang membuat piring-piring mereka pecah dan habis begini.

Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Valdo?

Kalau bicara masalah kelakuan yang meresahkan, barang yang rusak, kerusuhan di rumah dan hal-hal tidak tepat sasaran lainnya tentu Valdo adalah tersangka utama di rumah ini. Walaupun tampang Marvin lebih mencurigakan namun Nanda bisa memastikan si gagal tinggi itu hanya memiliki tampang kriminal, bukan sifat kriminal.

"Do, lo mecahin piring lagi?" tanya Nanda seraya mengambil tiga piring dari rak.

"Iya," jawab Valdo singkat, tanpa rasa bersalah tentunya. Masih sibuk memainkan game di ponselnya sambil duduk di salah satu kursi yang mengitari meja makan -- menunggu Marvin yang baru saja membuat jus stroberi untuk mereka bertiga.

"Abis berapa minggu ini?" kini Nanda sudah berada di depan Valdo, meletakkan piring-piring ke atas meja makan dengan perlahan seolah itu adalah harta berharga.

Marvin menahan tawa mendengar pertanyaan kedua Nanda, namun tidak berani menunjukkannya terang-terangan. Takutnya dia justru terkena imbas omelan Nanda. Masih jelas terngiang kejadian beberapa bulan lalu ketika dia memandu Valdo memasak lewat video call. Saat dia kembali ke rumah kontrakan, sempat-sempatnya Nanda mengomelinya meski hal itu sudah berlalu selama sebulan lamanya.

Sepertinya Nanda benar-benar pendendam.

"Dua," masih tanpa rasa bersalah, Valdo menyahut.

"Do?" panggil Nanda, berusaha mendapatkan atensi si cerdas itu dan kini berhasil. "Kalo piringnya lo pecahin terus, lama-lama abis, kita makan pake apa?"

"Beli baru."

"Ok. Terus? Udah beli?"

"Belum. Kan gak ngerti beli gituan."

Rasanya Nanda ingin memulai ceramahnya kali ini juga. Benar memang, Tuhan Maha Adil. Orang yang otaknya pintar bahkan fisiknya mendekati sempurna seperti Valdo pun memiliki kekurangan. Kekurangannya mungkin justru berada di hal-hal sepele bagi orang lain. Dan karenanya, Nanda seringkali merasa geram. Karena yang sering terlintas di otaknya adalah : "Kok gini aja gak ngerti sih?", "Lakuin ini aja masa gak bisa Do?" Tapi tentu dia harus menahan diri untuk tidak terlalu sering mengatakan hal itu karena berpotensi menyakiti hati Valdo. Jadi kali ini, sekali lagi dia mencoba lebih sabar menghadapi Valdo.

"Ya udah nanti beli, minta anter Marvin."

Kening Marvin berkerut, menoleh menatap ke arah Nanda dengan batin bertanya, 'Barusan nama gue emang disebut atau gue salah denger?'

Tapi pertanyaannya jelas tidak mendapat jawaban. Tentu saja, dia bertanya dalam hati tanpa ada niatan mengutarakannya. Justru sekarang Valdo yang mengucapkan kalimat tanya pada Nanda.

"Duitnya mana Bang?"

"Ya pake duit lo lah, kan lo yang mecahin."

"Kan belum gajian Bang, gajiannya akhir bulan."

"Ya sama, gue juga belum gajian. Mana gue gajiannya awal bulan."

"Ya apalagi gue, gue yang paling lama cosplay jadi pengangguran," sungut Marvin, mendadak menyahut dengan jengkel meski tidak ada yang mengajaknya bicara. Pasalnya belakangan lelaki itu memang sensitif jika ada yang mengeluh masalah uang dan pekerjaan. Karena di otaknya selalu terlintas kalimat, 'Masih untunglah yang bisa kerja. Nah gue?'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RANDOM LINE (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang