Keenam: Hujan

354 49 3
                                    

15 Januari 2008
Kantin sekolah 
12.30 WIB

Waktu terkadang bergerak dalam kecepatan yang lucu. Ketika Jumpol merasa masa SMA-nya biasa-biasa saja, semua berjalan dengan lambat. Namun ketika muncul satu alasan yang membuat hari-harinya mulai berwarna, tiba-tiba 6 bulan terlewat begitu saja.

Jumpol menyesali dua tahunnya yang sia-sia, dua tahun tanpa menyadari keberadaan Atthaphan. Sehingga ia hanya bisa marah-marah dalam hati kepada Tuhan yang salama ini menyembunyikan sosok mungil tersebut dari penglihatannya.

Atau kah ia harus menyalahkan Tawan yang selama ini diam-diam saja?

"ATT!"

Lelaki kecil itu mencari sumber suara, dan melambai dengan permen lolipop di tangan kanannya saat bertemu mata dengan Jumpol. Bersama Thiti yang berjalan di sampingnya, keduanya mendekati Jumpol yang sedang duduk di bangku luar kantin bersama teman-teman satu gengnya.

"Jumpol nggak masuk kelas?"

Bagi Jumpol, senyuman Att hari itu adalah yang terindah. Poninya yang beterbangan karena tertiup angin semakin membuat anak laki-laki itu terlihat menggemaskan di matanya. Apa rasa ini yang juga dimiliki oleh Tawan?

"Males ah, Att. Habis ini pelajaran matematika, kan?"

Atthaphan mengangguk. 

"Mau bolos aja, hehe. Mau nemenin nggak?"

"Ih nggak mau ah," Atthaphan menggeleng keras. "Seminggu lagi try out. Masa kamu mau bolos?"

"Suntuk banget."

Thiti, yang sejak tadi sibuk mengemil Pilus, kini menggelengkan kepalanya, menatap Jumpol dengan pandangan menyebalkan.

"Dasar males, lo."

"Bodo!" 

Jumpol menjulurkan lidahnya kepada Thiti yang dibalas dengan dengusan malas dari anak laki-laki tersebut. Thiti kemudian menarik lengan Atthaphan, mengajaknya meninggalkan Jumpol.

"Sana lo sendiri aja masuk duluan, ah," ujar Jumpol sambil memberikan gestur mengusir dengan tangannya kepada Thiti. "Gue masih ada perlu sama Att."

"Jangan lo ajak bolos!"

"Nggak."

Thiti pun melambaikan tangan kepada Att yang dibalas dengan anggukan. Jumpol tak bisa menyembunyikan senyumnya ketika anak laki-laki tersebut—tanpa disuruh—duduk tepat di sampingnya yang kebetulan kosong.

"Mau ngomong apa?"

"Nggak, mau nanya aja. Tadi makan siang apa?"

"Hahaha apa sih nggak jelas. Makan soto. Kenapa?"

Jumpol menggeleng pelan. Senyuman masih terpasang pada wajahnya, yang sontak membuat Atthaphan juga ikut tersenyum. Satu persatu teman-teman Jumpol pamit untuk masuk kelas, sementara dirinya masih memilih duduk terdiam di sebelah Atthaphan. 

Padahal biasanya tak sulit menemukan topik obrolan dengan Atthaphan. Namun saat ini, entah kenapa Jumpol merasa gamang. Ia takut mulutnya berbicara dengan sendirinya, mengutarakan perasaan kecil-kecil yang mulai muncul saat dirinya bersama Atthaphan.

Tanpa disadari, bel masuk berbunyi. Kantin pun sudah mulai ditinggalkan oleh para siswa. Jumpol menoleh pada Atthaphan yang bangkit dari duduknya.

"Tuh udah bunyi belnya," ujar Att.

Jumpol mengangguk. Tapi ia masih ingin duduk di sini, di bangku panjang berwarna kuning sambil menikmati desiran angin di bawah pepohonan bersama Atthaphan. Ia dalam hati berdoa, bisakah Tuhan memperlambat waktu, sedikit saja?

Sebuah Nama (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang