Ketujuh: Pertemuan

366 49 6
                                    

16 Januari 2008
Atap Sekolah
19.00 WIB

Entah kenapa hari ini Atthaphan diliputi perasaan tidak tenang. Bahkan hal itu membuatnya sama sekali tak bisa berkonsentrasi di kelas.

Dadanya seperti ditekan oleh satu ton beras, hingga terkadang membuatnya kesulitan bernapas. Apa ini perasaan gugup? Atthaphan tak bisa menjawab.

Atthaphan mengirimkan sebuah kalimat berupa pesan penagih janji kepada Jumpol. Mengabarkan kehadirannya sesuai permintaan yang disampaikan laki-laki itu sehari sebelumnya.

Setelah tanda pesan terkirim ia terima, Atthaphan memeluk lutut sambil menengadah menatap langit hitam yang hanya ditemani oleh satu bintang. Jantungnya kembali bergemuruh. Ia bahkan harus menarik napas panjang untung menenangkan diri.

Atthaphan sudah lelah.

Ia sudah cukup membongongi diri sendiri, berpura-pura segalanya baik-baik saja ketika Krist berbicara tentang obrolannya dengan Jumpol. Berpura-pura tidak cemburu ketika sahabatnya itu dengan sengaja duduk di tempatnya untuk menarik perhatian anak laki-laki yang lebih jangkung.

Lagipula ia sudah tak bisa menahan perasaan yang membuat dadanya sesak selama beberapa bulan belakangan. Perasaan yang hanya muncul saat Atthaphan hanya berdua saja dengan Jumpol.

Ia tidak tahu kapan tepatnya mulai merasakan hal tersebut. Apakah sejak pertemuan pertama mereka di atap, atau sebelumnya. Yang pasti Atthaphan tak lagi mau peduli. Ia hanya butuh satu orang tahu tentang apa yang dirasakannya saat ini.

Dan orang itu adalah Jumpol.

Atthaphan tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Berkali-kali memeriksa jam di tangannya, memperhatikan garis waktu yang berubah bersamaan dengan bulan yang mulai mengintip dari balik awan.

Satu jam berlalu. Atthaphan masih mencoba untuk menenangkan hatinya. Degupan jantungnya sama sekali tak berubah.

Dua jam berlalu. Atthaphan mulai gelisah.

Tiga jam berlalu. Atthaphan mencoba menghubungi ponsel Jumpol, namun tak ada jawaban.

Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 10 malam. Atthaphan panik. Sudah tak terhitung berapa kali ia mencoba menjangkau pria di sisi yang berbeda. Namun usahanya tak membuahkan hasil.

Ia mulai berteriak. Berlari ke area atap paling ujung, meneriakkan nama Jumpol berkali-kali. 

Namun hening.

Orang yang dinanti tidak datang. Pun suaranya sama sekali tak menarik perhatian satpam yang mungkin mengira tak ada satu pun orang berada di dalam sekolah di jam ini.

Empat jam berlalu. Atthaphan hanya bisa kembali terduduk.

Berbagai skenario muncul di dalam kepalanya. Tentang Jumpol yang mungkin mengalami musibah, atau kemungkinan lain yang membuat perasaan Atthaphan semakin campur aduk.

Jumpol bukan orang yang suka ingkar janji, kan?

Perasaan gugup, meledak-ledak, yang sejak pagi menghinggapi diri Atthapan tiba-tiba sirna. Berganti dengan rasa penasaran, kekhawatiran, kekecewaan, yang bergumul menjadi satu dengan amarah yang tiba-tiba muncul.

Lima jam berlalu. Tepat tengah malam.

Hanya suara tangisan Atthaphan yang terdengar. Pilu membelah asa yang memenuhi sudut hatinya.

Harus ia kemanakan perasaan yang sudah terlanjut membendung?

***

17 Januari 2008
Salah satu perumahan di area Menteng, Jakarta Selatan
15.00 WIB

Sebuah Nama (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang