Bibury, Inggris, 22 September 2008
"Kubilang diam, kau tidak tahu apa-apa Dianna!"
Pria itu berteriak memaki dan mengacungkan jari menunjuk-nunjuk wanita yang duduk di atas ranjang membuat dua anak kembar yang mengintip dari celah pintu berpandangan.
"Kau selalu bicara seolah aku tidak tahu apa-apa!" wanita itu balas memaki dengan simbahan air mata, "Kau takut aku mengadukan jalang itu pada Ayahku? Kau takut hah?!" Dianna menatap suaminya geram, tangannya secara reflek mengelus perutnya yang sedang hamil tua.
"Jangan panggil dia jalang!" Berkata dengan nada tinggi dia mengacungkan jari persis di depan wajah Dianna, romannya mengancam, "Sudah kukatakan padamu, Dianna, sudah kukatakan dia hanya rekan, jangan membesarkan masalah yang sebenarnya tidak ada!" suaranya menurun, tapi ada ancaman yang menyelinap disana, "Jangan sulut emosiku, Dianna.."
"Jangan acungkan jarimu ke wajahku!" Dianna melempar tangan suaminya ke samping, berkata dengan nada parau, "Rekan? Tidak ada rekan yang mengirimkan pesan tengah malam setiap hari!" Dianna melempar ponsel ke perut pria itu, suaranya meninggi hampir menjerit, "Kau pikir aku tidak tahu?! Dasar sampah! Kau bisa hidup kaya karena aku!"
Dia menampar Dianna keras hingga wajah wanita itu terlempar ke samping
"Bajingan," Dianna berdiri, kemarahannya mengelegak, dia mendorong bahu suaminya kasar, "KELUAR DARI RUMAHKU! KELUAR!"
Alih-alih pergi, pria itu menangkap lengan Dianna dan memelintirnya hingga Dianna menjerit, dengan amarah yang meluap dan seolah seperti dirasuki, pria itu menendangi Dianna hingga perempuan itu ambruk. Tangannya lalu berpindah dengan cepat mencekik leher Dianna kuat.
Wanita itu melakukan perlawanan, menendang-nendang, berusaha mencakar apapun yang bisa ia jangkau, namun perlawanan itu hanya berakhir percuma. Tenaganya jelas tidak sebanding dengan tenaga suaminya dan sekarang paru-parunya seperti berisi api, perutnya juga sakit luar biasa, darah mulai keluar berlinangan dari pahanya.
Pria itu melepasnya dan meninggalkan Dianna sejenak
Terdengar suara napas tertahan dari tenggorokan Dianna, tubuhnya lemas, Dianna mengamati sekeliling, matanya melotot dan dipenuhi air mata saat pandangannya bersirobok dengan tatapan anak-anaknya yang mengintip dari balik pintu, mata anak kembarnya tampak ketakutan dan berkaca-kaca.
Dengan sisa tenaganya, ia mengisyaratkan dua putrinya untuk pergi. Dianna masih bisa bergerak lemah, darah terus mengucur dari selangkangannya, dia mengerakkan tangan, namun sangat pelan, seperti sedang membuat isyarat agar mereka pergi. Dia sempat memperhatikan dua anaknya satu persatu. Tatapan matanya yang terakhir.
Dalam posisi seperti itu, DOR! sebutir peluru ditembakkan ke bagian kepalanya dari jarak yang sangat dekat.
***
Hari masih subuh dan sunyi senyap
Lantai itu basah dan meninggalkan jejak bewarna hitam yang memanjang saat tubuh Dianna diseret menuruni tangga ke ruang bawah tanah. Rambutnya tergerai menyapu tangga. Ada banyak darah yang mengaliri selakangannya, wanita itu keguguran, bayi di kandungannya mati.
Jasad Dianna diseret dengan mencengkram bagian lengan, darahnya berceceran di lantai. Wajahnya penuh darah, darahnya seperti linangan air mata yang memenuhi wajah.Pria itu diam saja saat melewati dua anak kembarnya yang menangis tanpa suara menatap Ibunya yang diseret, ekspresi mereka tampak sangat ketakutan. Ibu mereka memakai gaun tidur bewarna putih, namun bercak darah yang masih basah dan menodai, membuat gaun itu kini bewarna merah janggal.
Mereka berdua shock berat melihat darah berceceran mulai dari kamar hingga lorong, bagaikan sebuah pembantaian.
Mereka bingung menyaksikan peristiwa yang baru terjadi, anak-anak itu masih kecil dan tidak mampu berbuat apa-apa di hadapan Ibunya yang mati.
Mematung, mereka berdiri di ambang pintu menuju ruang bawah tanah, menatap ke bawah. Tempat itu sangat gelap gulita, hanya ada secercah cahaya dari sesuatu yang Ayahnya nyalakan.
Mereka selalu menyebut ruang bawah sebagai peti mati raksasa dan Ibunya selalu melarang mereka turun kesana. Tapi kenapa Papa membawa Mama kesana? Dan kenapa Mama diam saja?Pria itu menoleh saat menyadari dua putrinya sudah berdiri di belakangnya.
"Apa yang akan kau lakukan pada Mama?"
Pria itu diam saja, terus mengaduk semen di ember. April–salah satu dari si kembar menatap beberapa batako yang diletakkan di dekat karung semen.
"Apa Mama mati? Kenapa Mama diam saja?" tanyanya lagi, "Dan kenapa tembok itu hancur? Dan batako-batako itu untuk apa?"
Pria itu berhenti, mengamati ekspresi wajah putri kembarnya, "Tidak, tidak ada yang mati." ujarnya dengan secercah senyum, "Mama sedang tidur, sayang, hanya saja Mama tidak bisa bangun lagi."
"Tapi, kau memukul Mama."
"Kami melihatmu memukul Mama." Suara gadis kecil itu bergetar.
"Oh," Pria itu tak menanggalkan senyumnya, "Papa tidak sengaja, Papa sedikit marah pada Mama, dan kalian lihat? sebagai permintaan maaf, Papa membuat tempat tidur yang nyaman untuk Mama dan adik bayi." Pria itu melirik semen yang diaduknya.
"Sudah jam tiga pagi, kalian juga harus tidur sebentar lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth - Na Jaemin
Horror(Selesai) ✓ ▫Sebuah Spin-off dari buku MOT Setelah pindah dan tinggal bersama keluarga sepupunya di sebuah rumah baru di Desa Bibury. Na Jaemin menyadari bahwa keluarga mereka tengah diganggu oleh roh jahat yang mendiami boneka Han, mereka mulai ter...