Bagian Pertama

125 27 6
                                    

Surai ungu yang dibiarkan tergerai meliuk-liuk dimainkan angin. Lengan bersih miliknya memetik beberapa bunga dari taman, yang berwarna cantik tentunya. Tak memiliki alasan spesifik-dirinya hanya senang sekali untuk mengoleksi bunga-bunga dengan warna beragam. Lalu diletakkannya di sudut kamar. Untuk mempercantik katanya. Sayangnya, kegiatan tersebut harus dihentikan kala indra menangkap suara seseorang dari kejauhan yang memanggil namanya.

"Dorothea, ayo bantu ibu nak!"

Menghela nafas berat akibat sebal, puan yang kira-kira berusia 17 tahun itu menjawab dengan nada yang ketara sekali bahwa ia sebal. "Iya ibu, aku ke sana!"

Lengannya memetik satu tangkai bunga terakhir, lalu segera tungkainya menarik langkah-menyusuri taman bunga milik keluarga kecilnya. Tidak, tidak, milik dirinya lebih tepatnya. Dari samping terlihat wajahnya, berkulit bersih dengan proporsi bak putri dalam dongeng. Semua fitur wajahnya terlihat sempurna, bak boneka yang dipoles sedemikian rupa. Terusan pendek putih dengan lengan transparan yang dikenakan terlihat bagaikan sayap malaikat di tubuhnya. Pita hitam besar yang berada di daerah leher menambah pula keanggunan yang terpancar dari wajah Dorothea.

"Apa yang bisa aku bantu bu?" tanya sang gadis dengan senyuman terlukis di wajah.

Seorang wanita paruh baya yang berada di hadapannya kini sedang sibuk memeras susu sapi. Pakaian ala peternak (baju kodok) dikenakannya, yang entah kenapa malah membuat gerah. Wanita itu bangkit, berkacak pinggang sembari menepuk jidatnya.

"Dorothea sudah berapa kali aku bilang berpakaianlah yang benar."

Mengernyitkan dahi. "Memangnya apa yang salah dengan cara berpakaianku bu?"

"Kau itu anak seorang peternak bukan anak seorang raja. Pakailah pakaian sepertiku, bukan pakaian seperti tuan putri itu."

"Memangnya anak dari seorang peternak tidak boleh memakai baju seperti ini?" Dorothea sedikit menaikkan nada bicaranya. Ia merasa kesal, mengapa ibunya selalu saja mempermasalahkan cara ia berpakaian. Toh, tidak ada yang merasa dirugikan 'kan?

"Haduh anak ini. Sudah sudah terserah padamu saja. Bantu aku untuk mengisi botol-botol itu dengan susu-susu ini. Lalu kau bawalah ke kota. Ingat, kau ke kota untuk menjual susu ini ke toko yang biasa itu, jangan membeli pakaian baru lagi. Lemarimu sudah penuh dengan pakaian-pakaian yang kau beli dari kota. Mau diletakkan dimana lagi. Ah ya jangan lupa untuk membeli beberapa bahan makanan karena bahan makanan kita hampir habis. Daftarnya sudah aku tulis dan ada di dapur. Jangan lupa membelinya. Dan kalau kau bertemu dengan Tuan Johnson, katakan kepadanya kalau jangan menipuku dengan memberi uang yang kurang untuk telur ayamnya. Aku memang tak bersekolah tapi aku tak bodoh. Lalu-"

Belum selesai berkata-kata, Dorothea terlebih dahulu menyela ibunya.

"Iya ibu aku mengerti. Rutinitas biasa tiap hari Senin, bukankah begitu? Baiklah kalau begitu aku akan mulai mengerjakannya."

Dorothea terlebih dahulu memasuki rumahnya, meletakkan satu keranjang penuh bunga di meja makan. Lalu mulai mengerjakan apa yang diperintahkan oleh ibunya. Harap maklum, sekali bicara ibunya itu memang langsung berbicara banyak. Kalau-kalau tidak dihentikan, mungkin perkataannya bisa mengandung lebih dari 10 topik. Singkatnya, cerewet.

Yolanda-ibu Dorothea hanya bisa menepuk dahinya saat sang putri langsung pergi begitu saja. Padahal kan ia belum selesai berbicara. Teganya. Yolanda masih mengurus beberapa urusan peternakan sebelum ia beristirahat. Tepat saat ia ingin kembali ke rumah, ia melihat Dorothea telah pergi dengan sepedanya dan tampak bersemangat. Dasar anak itu.

Dorothea mengayuh sepedanya menuju kota. Melewati beberapa rumah tetangganya, tak lupa menyapa bila bertemu dengan mereka. Senyum, sapa, salam. Itu yang selalu diajarkan oleh ibunya sedari kecil. Ya singkatnya norma kesopanan.

Dorothea [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang