bagian lima

7 3 0
                                    


Ku mendambakanmu, mendambakanku.

⬜🧡⬜

Masih dengan perasaan yang belum tersampaikan, aku kembali menuliskan tentangnya.

☘️☘️☘️

Musim gugur mulai meniupkan angin hangatnya, membuatku menyadari jika pada musim ini bunga yang Hana suka mulai tumbuh. Bunga cosmos. Bunga yang melambangkan ketulusan itu menurutku cocok untuk melambangkan perasaanku padanya. Tulus, tanpa pamrih.

Aku tersenyum, di balkon kamarku yang menghadap ke sebuah bukit kecil tempat dimana aku bertemu Hana kecil belasan tahun lalu. Ya, aku menemukannya saat dirinya tengah bersandar disebuah pohon paling besar yang berada di puncak. Aku melihatnya yang sedang menangis tersedu-sedu, dengan pipi bulat dan hidung kecil yang memerah.

Di sanalah, kami saling berkenalan hingga memutuskan menjadi teman. Kejadian itu sudah terjadi lama sekali, tapi rasanya bagiku baru kemarin. Aku yang awalnya hanya terbiasa dengan kehadirannya mulai sadar jika aku tak bisa kehilangannya, sesuatu yang aku kira hanya rasa takut kehilangan seorang teman ternyata lebih besar dari itu. Aku jatuh cinta padanya, bahkan tanpa aku tahu kapan itu terjadi.

Ternyata benar, cinta datang tanpa bisa dikira, tanpa bisa di cegah, tanpa memberi aba-aba.

Tanganku terus bergerak, mencoret kanvas yang putih kusam itu dengan telaten. Wajah tersenyum Hana kembali menjadi karyaku dalam melukis. Sejak awal masuk junior high school aku mulai sering melukisnya. Dari pose berpikir, marah, kesal, menangis, tersenyum, tertawa bahkan wajah konyolnya aku buat karya. Mahakarya yang terlampau berarti untukku.

"Oh, lihat tampaknya aku sedang menatap seorang pria yang putus asa karena tidak bisa menyampaikan perasaannya." Terkutuklah Hiroki dan mulut usilnya.

Aku tak menjawab, terlalu malas meladeni omong kosong dari mulut adik kecilku. Dia mendudukan diri di kasurku, membuat gerakan abstrak hingga sprei yang aku pasang menjadi berantakan. Oke, sabar Taka. Biarkan saja, nanti juga pergi. Anggap saja itu setan, atau sejenis makhluk halus.

Kembali melihat hasil lukisanku yang hampir jadi, aku tersenyum samar. Setidaknya dalam lukisan dan tulisan aku tidak perlu ragu mengatakan perasaanku padanya. Aku bebas menggambarkan tentang dirinya, tanpa keraguan, tanpa ketakutan tidak diinginkan. Dalam karyaku, aku bebas melakukan yang aku mau. Seperti, menuliskan jika dia juga mencintaiku atau melukis kami yang saling berpelukan sebagai kekasih. Aku bisa memilikinya, tanpa takut tidak diterima.

"Aku tidak mengerti pikiranmu. Taka."

"Hn."

"Ck, pantas Hana-nee tidak mau denganmu, kau menyebalkan."

"Tutup mulutmu, sialan!" Desisku tajam, dia terlihat tidak peduli padaku, dan terus menggerakkan tubuhnya dengan abstrak diatas ranjangku.

"Jika kau terangsang, jangan di kasurku bajingan!" Habis sudah kesabaran yang aku punya, aku melemparnya dengan sendal rumahan yang aku kenakan. Meleset, dia bisa menghindari lemparan sendalku pada kepalanya.

"Aku serius, onii-chan." Hiro terdiam sejenak, matanya terpejam kemudian terbuka perlahan. "Harusnya kau katakan saja perasaanmu. Yang menyukai Hana onee-chan itu banyak, dan kau tidak tahu kapan kau akan kehilangan kesempatan untuk memilikinya."

Garis terdepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang