Bab 2

32 8 4
                                    

-Stop loving someone who didn't love you.
You just hurt yourself -


____________________________________________

Dengan koper berukuran sedang di tangan kiri dan satu ransel kecil dipunggungnya, Zantya terbengong di depan rumah besar bercat putih itu. Bukan karena takjub dengan ukuran rumahnya atau exterior yang terpasang diluar rumah yang megah itu.

Dari sekian banyaknya rumah di dunia ini kenapa harus di rumah keluarga Rahardja. Oh, ayolah. Apakah dunia sesempit ini? Apakah sahabat yang dimaksud oleh ayahnya adalah ayah dari seseorang yang sempat ia cintai itu? Oke, memang tak bisa dipungkiri jumlah kawan ayahnya itu memang tak banyak, bahkan bisa dihitung dengan jari. Berbeda dengan kolega-koleganya yang tersebar di penjuru negeri.

Dua orang separuh baya, seusia Ayahnya itu berdiri di depan pintu rumah dengan senyum yang merekah menyambut kedatangan mereka. Tak butuh waktu lama Ayah Zantya  dan kepala keluarga Rahardja itu saling berpelukan seperti kawan lama yang seolah lama tak jumpa. Ridwan langsung pergi dengan sahabatnya itu, untuk membicarakan banyak hal. Sementara itu, ia tak sadar telah meninggalkan anak semata wayangnya yang masih terlihat cengoh diujung tangga, memperlihatkan wajah tak percaya.

Wanita yang terlihat anggun dan elegan itu mendekati Zantya yang masih terbengong. Dengan raut muka yang antusias, ia membawa Zantya masuk ke dalam rumah.

"Kamu Zantya  kan? Kamu udah besar ya sekarang, udah tambah cantik. Astaga, tante dulu inget banget terakhir ketemu kamu di Jogja, waktu kamu masih umur 1 tahun atau 2 tahun yaa. waktu itu kamu masih setinggi ini." Kata perempuan itu sambil menaruh tangannya diawang-awang sejajar dengan setengah pahanya.

"Hehehe, iya tante."

Sementara itu Zantya hanya membalas canggung seadanya. Masih tak percaya, memang pernah ya dia ketemu sama tante ini?

"Oh iya, ini kan udah malem, tante anterin ke atas yuk. Istirahat sebentar, nanti waktu makan malam tante suruh panggil bi Lastri." Kata Vani (Nyonya Rahardja) sambil berjalan mengantarkan Zantya ke kamar yang akan ia tempati untuk sementara.

"Emmm, anu, tante...koper besar Zantya yang dimobil-?" Belum juga selesai ucapan Zantya sudah disela oleh Vani.

"Udah gampang nanti dibawain sama mas Slamet ke atas. Kamu istirahat dulu atau mandi dulu gih." Ujar Vani kepada Zantya kemudia ia meninggalkan Zantya yang masih terbengong di antara dua pintu kamar yang saling bersebrangan.

"Tadi tante Vani bilang yang kanan atau yang kiri ya?" ugh bodo amat, yang penting istirahat dulu. eitss

cap cip cup kembang kuncup pilih mana yang mau di cup. 

Akhirnya pilihan Zantya jatuh di pintu kamar sebelah kanan.

Menutup pintu pelan, Zantya berjalan dan  mendudukkan diri di pinggir kasur berukuran besar di ruangan itu. Satu hal yang Zantya pikirkan saat memasuki kamar itu. Seperti bukan kamar untuk tamu. Pasalnya kamar itu selain memiliki banyak buku-buku besar ada juga koleksi miniatur-miniatur mobil klasik dan motor gede(yang entahlah apa itu, pokoknya ia tak paham).

Merasakan badanya sudah mulai gerah, Zantya mengampil pouch skincare dari dalam tas dan memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Kemudian ia berencana menyusul ke lantai bawah untuk makan malam.

Suara air yang mengalir dari kran shower berhenti berbunyi. Derapan langkah kecil terdengar dari balik pintu kamar mandi. Beberapa waktu kemudian keluarlah Zantya dengan anduk kimono putih yang melilit tubuh mungilnya. Rambutnya tergerai setengah basah. Tak perlu waktu lama ia telah keluar kamar dengan baju rumahan biasa dengan rambut yang telah kering.

Dapat dilihat di depannya meja makan telah terisi penuh oleh nasi dan berbagai laukpauk. Tak lupa dengan piring bersih kosong dan air mineral dalam gelas di sampingnya, sejumlah anggota keluarga yang akan makan malam itu. Ada Roy (Kepala keluarga Rahardja) diujung, Tante Vani dikursi samping kanan-nya, kemudian disamping kiri ada Ayahnya Ridwan, dan satu lagi manusia paling menyebalkan bagi Zantya yang saat ini duduk berhadapan  dengan-nya.

Argha Putra Rahardja.

Bayangkan ia duduk berhadapan di satu meja makan. Sekali lagi, ia duduk berhadapan dengan orang yang 48 jam yang lalu menolak pernyataaan cintanya dengan keras. Lihat betapa merah wajah gadis bersurai hitam itu sekarang. Antara rasa malu dan amarah yang tak tertahankan.

Walaupun begitu Zantya tetap tau bahwa kemungkinan hal ini akan terjadi dalam waktu dekat. Mengingat saat ini ia tinggal dirumah keluarga Rahardja. 

"Zantya? Aduh nama kamu agak susah yaaa, kamu biasa dipanggil apa, sayang?" Pertanyaan Vani membuyarkan lamunan-nya.

"Iya, ah Tya, panggil Zantya, Tya aja."

"Okey, Tya aja lebih gampang. Ini tante kenalin, anak kedua tante namanya Argha. Ganteng kan? Dia seusia loh sama kamu. Ah, ngga lebih tua dia sih. Tapi cuma satu tahun lebih tua kan." Ujar Vani sambil tersenyum memamerkan anak laki-lakinya itu.

"Oh iya tante? Anak tante ternyata satu umuran ya sama aku?" Zantya merespon dengan ekspresi yang seolah-olah baru pertama kali mendengar informasi itu.

"Dasar sok-sokan gak kenal aja." Batin Argha menimpali.

"Mom, dia satu sekolah sama Argha." Kalimat itu sukses mengalihkan perhatian tiga orang dewasa disana. Karena hal itu merupakan fakta yang cukum mengejutkan untuk mereka.

"Wah, kebetulan sekali . Kalo gitu besok waktu berangkat sekolah kalian berangkat bareng aja yaa. Dari pada sopir Ridwan yang nganter kan, Mah?" Kali ini Roy yang mengomentari.

"Ah, tidak usah, Roy. Nanti malah merepotkan." Kata Ridwan yang khawatir kalau-kalau merepotkan.

"No, Ridwan. Kamu ini, cuma kaya gitu ngga merepotkan sama sekali. Aku malah setuju banget sama ide Roy. Lagi pula anak- anak kita itu satu sekolah loh. Masa mau berangkat sendiri-sendiri. Iya kan sayang?" Ujar Vani sambil menyentuh pundak Argha diakhir kalimatnya.

Zantya yang mendengar itu ingin berusaha sebisa mungkin mempersempit kemungkinan untuk melihat wajah Argha. Mana bisa ia berangkat bersama dengan orang itu. Orang yang membuat harga dirinya terinjak-injak dengan kalimat penolakan yang menyakitkan itu.

"Aaa tante, ngga usah tante, om. Zantya berangkat sendiri aja. Zantya ngga enak sama  kak Argha."

"Hah?¿ Kak? Yampun Zantya kenapa pake panggil kak segala sih! Ga perlu itu ga perlu! Huh, dasar stupid!" Batin Zantya.

Dan selamat datang di nerakamu sendiri Zantya.


🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒

Note for readers:
Hai hai readers, setelah sekian purnama aku lanjut lagi. Oh ya aku cuma mau kasih tau. Kalo tiap Chapter yang aku buat memang relatif sedikit jumlah kata-nya. 🙇‍♀️


Sorry and Thank you 🖤
Don't forget to vote and comment.

Saran dan kritik sangat diperlukan!

Love,

Arie♡



Wish You Were Gay [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang