4. Tampar

7.6K 1.4K 89
                                    

Milly menggeleng dengan decakan tak habis pikir. Ia tengah duduk di atas ranjangnya, seraya memegang buku fiksi yang selalu menjadi hobinya saat senggang. Beberapa langkah dari posisi gadis ini, Adelia tampak sedang berganti baju dengan daster rumahan. Sahabatnya baru pulang dari Bali beberapa saat lalu. Ia membawa banyak oleh-oleh untuknya, juga penghuni lain rumah kos ini.

“Gue gak yakin lo ke Bali beneran buat dinas kantor.”

Seperti biasa, Adelia hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Milly. Ia tetap melanjutkan kegiatannya mengganti baju. Udara Jakarta sangat panas bahkan di malam hari. Ia ingin segera mandi, lalu terlelap karena besok harus bekerja lagi.

“Adel! Serius, ikh! Lo ngapain aja sama Bisma di Bali?” Suara Milly mulai terdengar gusar. “Sorry, Del, tapi lihat badanlo gue eneg.”

Adelia berbalik menatap Milly. Ada senyum getir dan sendu yang tercetak di bibir gadis itu. “Gue gak tahu apa yang terjadi sama Bisma. Selama di Bali, dia kelihatan tertekan dan meminta gue membantunya melepaskan kepenatan dia. Kami menyelesaikan meeting lebih cepat di hari kedua kemarin, dan pergi ke sebuah pantai yang privat. Kami ... berenang di laut, juga making out di sana hingga malam.”

“Dan lo ... menikmati? Gila lo, ya.” Wajah Milly seketika pias dengan raut prihatin juga geram.

“Iya,” jawab Adelia dengan anggukan kaku. “Tapi setelah itu gue jadi ngerasa sakit sendiri. Bisma gak melepas gue semalaman, bahkan ketika kami berada di kamar hotel lagi. Pagi tadi pun, sebelum jalan meeting terakhir, dia minta gue having fun di kamar mandi sampai dia bener-bener puas.”

“Lo beneran budak seks dia, Del. Sadar, gak, sih? Lo harus pergi dari hidup Bisma. Dia toxic, Del, dan hubungan kalian beneran bikin gue muak dan mual. Gue tahu, gue gak ada hak bersuara tentang hidup lo. Hanya saja, melihat bercak-bercak merah ungu di sekujur tubuh lo bikin gue beneran mau muntah. Lo barusan telanjang di depan gue, cuma pake bra sama panties. Dari tengkuk sampe pinggang, bahkan punggung lo, ada bekas bibir Bisma semua. Gue eneg, Njir.”

“Maaf,” cicit Adelia penuh rasa sungkan. Seharusnya ia berganti baju di kamar mandi saja tadi. Kebiasaannya yang sering terbuka pada Milly, membuatnya lupa jika kali ini kondisi sekujur tubuhnya sedang berbeda. “Gue pikir lo gak bakal lihat.”

“Kalau gue kepo sekalipun, gue buka bra dan panties lo, gue yakin pasti juga ada jejak Bisma di sana. Sumpah, Del. Gue bakal bantu lo cari kerjaan baru lagi! Urus surat resign lo besok, dan cari kerja baru.”

“Gak bisa,” tolak Adelia dengan gelengan pelan. Ia mengulum bibirnya dengan wajah yang penuh keraguan juga ketakutan. “Cari kerja gak gampang, Mil. Lagi pula, masih dua bulan lagi masa kerja tepat lima tahun gue. Gue gak berani resign sekarang.”

“Gue bisa bantu bayarin biaya hidup kita selama lo nganggur di sini. Kos dan makan kita, gue yang tanggung.”

“Tapi masih ada satu kali lagi cicilan hutang agar sawah ibu gue bisa kembali, Milly. Setelah itu, gue harus cari modal untuk kami menanam padi lagi.”

Wajah Milly yang tadinya penuh amarah, seketika melembut perlahan. Milly tahu kisah pelik hidup Adelia yang ini. Ibunya yang seorang janda harus rela menggadaikan satu-satunya peninggalan sang suami, karena terlibat hutang. Ayah Adelia terkena tipu investasi bodong dna mereka merugi hingga ratusah juta. Sebagai anak tunggal, Adelialah yang turun tangan membayar 2 tahun cicilan dengan nominal setara 80% gajinya perbulan. Itu sebabnya Milly paham, mengapa meski mendapat gaji yang besar, Adelia belum bisa benar-benar menikmati hidupnya.

“Setelah Ibu mendapatkan kembali sawah kami, juga modal untuk bertanam padi, gue akan memikirkan saran lo untuk pergi dari Bisma meski harus mengorbankan hati gue.”

“Untuk merdeka memang harus berkorban, sih, Del. Agar kita tahu bahwa dalam diri kita, masih ada pahlawan meski untuk diri kita sendiri.”

“Semoga dua bulan lagi, lo bisa resign, dapat pekerjaan baru dan ... uang pesangon yang cukup dari Bisma. Saat itu, lo harus mulai menerima kenyataan kalau gak semua impian ditakdirkan jadi nyata dan cinta selalu datang bersambut. Gua sih gak tahu perasaan Bisma seperti apa. Hanya saja, perlakukan dia ke elo gak bisa lo biarin begitu saja. Lo punya harga diri dan sepatutnya dicintai dengan benar dan layak. Bukan begini.”

Air mata Adelia menetes perlahan. Ucapan Milly tak keras, lembut dan penuh perhatian seperti bisanya. Hanya saja, ada nyeri yang seketika menyerang hati Adelia hingga gadis ini merasa tertampar telak di ulu hati.

“Sorry, Del. Gue gak bermaksud untuk—“

“Lo gak salah,” sela Adelia terisak. “Terima kasih untuk ingatkan gue tentang ini. Jujur, Bisma kelemahan gue, tetapi gue memang harus kuat ninggalin dia dan hubungan kami yang—entahlah.”

Hening menjeda di antara mereka sesaat, sebelum sebuah ketukan pintu terdengar. Milly beranjak dari kasurnya lalu membuka pintu. Tampak seorang penghuni rumah kos berkata, “Ada tamu buat Mbak Adel. Perempuan.”

Adelia melirik seraya mengernyit samar. Perempuan? Siapa yang mengunjunginya selarut malam ini? Ini memang baru jam delapan malam. Hanya saja, Adelia tak pernah menerima tamu sepulang kerja, di rumah kos pula.

“Del,” panggilan Milly membuat Adelia mengangguk, lantas mengambil kardigan tipis untuk menutupi daster tanpa lengan yang ia kenakan. “Jangan lupa cuci muka dulu.”

Adelia mengangguk lagi, lalu beranjak ke kamar mandi sebentar. Setelah itu, ia beranjak ke teras yang digunakan sebagai ruang tamu kos ini. Langkahnya terhenti saat matanya mendapati siapa yang duduk anggun menunggunya dengan wajah keras dan mata tajam penuh sinis.

“Ibu,” sapa Adelia seraya mendekati wanita nomor satu di perusahaannya. “Ada yang bisa Adel ban—“

Plak! Kalimat Adelia terputus saat pipinya merasa ada perih dan panas yang tiba-tiba menjalar. Belum cukup itu, tangan ibu Bisma secara kasar menarik salah satu sisi kardigan Adelia dan mata wanita paruh baya itu membeliak mendapati bercak-bercak pada kulit leher dan pundak asisten putranya.

“Kamu jalang yang menggoda anakku, ternyata. Jadi begini cara kamu bekerja, heh?”

Air mata Adelia menurun dengan deras tanpa bisa dicegah. Ia bingung bagaimana bisa ibu Bisma mendatangi tempat tinggalnya danmelakukan kekerasan padanya yang baru saja pulang bekerja di Bali bersama Bisma.

“Katakan apa yang kamu inginkan dari anak saya, hah?” Suara itu lantang berteriak tanpa malu-malu. Wanita ini mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu melempar tumpukan gambar tepat ke depan wajah Adelia yang masih lelah. “Berapa yang kamu inginkan?”

“Bu—bukan begitu, Bu,” sanggah Adelia erbata dan gugup bersamaan. Tangannya yang gemetar, memunguti satu per satu gambar yang ia sendiri tak sadar siapa yang mengambil saat ia dan Bisma sedang menikmati sore di pantai privat itu berdua.

Air matanya makin deras turun, tanpa isak dan raungan. Adelia bahkan tak lagi tahu harus marah atau malu dengan kejadian saat ini. Matanya yang buram menatap satu per satu gambar itu.

Saat ia dan Bisma tengah berendam di lautan. Kepalanya menengadah ke atas, sedang Bisma mencumbu leher hingga dadanya. Ia ingat kejadian itu. Ia ingat dan saat itu ia menikmatinya.

Saat ia duduk di bibir pantai menghadap matahari terbenam, lalu bisma duduk memeluk di belakangnya. Pria itu menjelajah tengkuk hingga punggung dan bebas menjajah serta meninggalkan jejak yang selalu berhasil membuat Adelia mendesah nikmat dan pasrah.

Saat Adelia berdiri di pinggir pantai, dengan Bisma yang memeluk sambil menguasai kedua dadanya dari belakang. Ia menoleh pada Bisma dan mereka berciuman dalam.

“Saya tidak sudi melihatmu bersama anak saya lagi dimanapun. Mulai sekarang, saya minta untuk tidak kembali lagi ke kantor kami dan hidup anak kami.”

“Tidak bisa, Bu,” tolak Adelia dengan wajah panik dan ketakutan. “Saya butuh pekerjaan dan ... jika harus meninggalkan kantor, saya harus menunggu dua bulan lagi agar bisa—“

“Pesangon tanda jasa karya, hem? Jadi, intinya kamu hanya ingin uang, kan? Klasik sekali.” Suara sinis sarat cemooh itu, rungu Adelia telan mentah-mentah.

Wajah ibu Bisma menatapnya penuh benci dan penghinaan. Adelia ingin membantah, bahwa semua itu Bisma yang meminta padanya, bukan ia yang menawarkan apalagi memohon.

“Bu ... tolong saya. Saya butuh—“

“Saya tidak akan memberikan apapun untukmu. Catat itu. Baik uang, apalagi Bisma. Saya beri waktu tiga hari hingga akhir bulan ini. Terima penghasilan terakhir kamu dari perusahaan, lalu pergi jauh dari anak saya. Atau—“ mata itu semakin tajam menghunus tatapan Adelia yang rapuh. “Saya kirim semua gambar-gambar itu ke rumah orangtuamu.”

“Jangan—jangan—“ pinta Adelia penuh permohonan. “Ibu saya lemah jantung. Tolong jangan sampai beliau tahu—“

“Jika anaknya sehina itu,” lanjut ibu Bisma menyela. Wanita ini membenahi letak tas di pergelangan tangannya, lalu meninggalkan Adelia yang berdiri mematung seraya meremas gambar-gambar itu dengan sisa tenaganya yang barus saja terkuras habis.

******


Something Like Your LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang