6. Hansara Iliansky (Ara)

16 2 0
                                    

Happy reading
Tapi vote ⭐ sama coment dulu yang banyak, hehe 😁

---------------------------------------------

"Kamu nanti pulang seperti biasa 'kan kak?" tanya perempuan setengah baya itu.

Tidak ada jawaban apapun dari perempuan berseragam putih abu yang kini tengah menyantap roti tawarnya dengan wajah datar terkesan malas.

Jelas sekali pertanyaan itu terlontar untuknya. Tidak ada siapapun diruangan itu kecuali mereka berdua. Ah—sepertinya tidak lagi saat seorang anak perempuan usia 6 menuruni tangga sambil berteriak selamat pagi dengan ceria.

"Kayya mau sarapan pakai selai apa hari ini?" kata wanita paruh baya yang kini tengah merentangkan tangannya untuk meraih tubuh gadis kecil itu.

"Mama, Kayya mau selai coklat kacang. Tapi—"

Wanita paruh baya itu langsung melepas pelukannya begitu saja lalu beralih ke meja makan. "Ada kok selainya. Mama bikinin dulu ya, Kayya duduk disamping kak Ara aja." katanya antusias.

Kayya terlihat hendak mengucapkan sesuatu dari bibirnya, sebelum akhirnya ia memilih diam dan menyandarkan tubuhnya di kursi meja makan dengan lesu.

Gerakan tangan wanita paruh baya itu terhenti saat suara gebrakan meja berdebum kencang. "Anda ingin meracuni adik saya dengan selai itu?" sentak Ara dengan nada dingin.

Suasana mencekam tiba-tiba saja tercipta disana. Wanita paruh baya itu tersentak cukup hebat diperlakukan seperti itu oleh anak gadis yang sudah satu tahun ini menjadi putri angkatnya.

Meirin, wanita paruh baya itu berusaha tertawa sumbar diatas keterkejutannya alih-alih mencairkan suasana di depan putri angkatnya—si bungsu. "Ara, mama hanya ingin—"

"Anda bukan mama saya!"

Deru napas Ara semakin menggebu tak teratur. Amarahnya memuncak setiap kali Meirin menyebut dirinya sebagai mama bagi Ara ataupun Aya—adiknya.

"Anda—" Ara menghunus tajam matanya kearah Meirin.

"Berhenti menyebut diri anda sebagai mama! Anda bahkan tidak pantas menyebut diri anda sebagai mama atas ketidaktahuan anda tentang kami berdua!" tukasnya dingin.

Ara meraih tasnya diatas meja makan, mengabaikan sarapannya. Ia tidak berselera melanjutkannya lagi. Ara bersimpuh didepan kursi yang Kayya duduki , mensejajarkan wajahnya dengan gadis kecil itu.

Tangan Ara bergerak mengusap kepala Kayya, "Kamu gak perlu takut untuk bilang apapun sama wanita itu. Tentang apapun, terutama yang membuat Aya sakit nantinya." katanya.

Tersemat nada sarkas disana, tapi Ara menyematkan senyum kecil untuk adiknya itu sebelum beranjak meninggalkan meja makan dan bergegas berangkat kesekolah dengan taksi online pesanannya.

Ara tidak akan mau menaikki mobil pribadi kecuali ketika pak Atma sopir— pribadi keluarganya menjemput sepulang sekolah, tanpa Meirin tentu saja. Selalu begitu, baginya terlalu menyakitkan jika harus satu mobil dengan Meirin dan Kayya dalam perjalanan yang lumayan membuatnya muak jika mereka bersama-sama.

- o0o -

"Han!"

Pekikan seseorang membuat Ara menoleh mau tak mau.

"Hansara Iliansky, astaga kenapa lo baru datang sih?! Pokoknya lo harus tau apa yang terjadi di koridor anak IPA 5. Ayo buru Han!" heboh gadis  berkuncir kuda yang kini menarik-narik tangan Ara agar ikut bersamanya.

Ara yang belum mencerna apa-apa mau tak mau mengikuti langkah cepat temannya itu, agak setengah berlari dan hampir membuat Ara terjatuh akibat tali sepatunya yang lepas.

"Dara—Dara hei! Dara stop!" kata Ara setengah membentak, mencoba membuat gadis itu setidaknya memperlambat langkahnya.

"Duh, kita harus cepat Han. Nanti lo ketinggalan, astaga!" balasnya frustasi.

Gadis bernama Dara itu lagi-lagi menarik tangan Ara agar ikut bersamanya, namun gagal karena Ara lebih dulu menyentak tangannya. "Kasih tau dulu ketinggalan apa? Gue gak mau ikut kalo cuma buat liat hal-hal gak penting!" kata Ara tegas.

Dara nampak semakin frustasi, ia tau Ara akan menolak mentah-mentah ajakannya jika tau maksud dan tujuan dibalik aksi tarik-menarik ini. Tapi..ini benar-benar amat sangat penting bagi Dara dan Ara— mungkin.

"Ini penting Han, pokoknya ikut aja yuk!" katanya, menarik tangan Ara lagi.

Kini, Ara mulai pasrah. Ia tidak lagi memberontak, menurut untuk mengikuti kemana Dara akan membawanya. Awas saja jika hanya untuk menyaksikan hal tidak penting!

"Ayo pel lagi, pel lagi yang bersih ya!"

"Trus siram bro, itu kecapnya tuangin juga. Jangan-jangan oli bekas yang gue suruh bawa aja tuh!"

"Buru-buru! Mumpung masih pagi gak akan kena tegur."

"Eh, lo siang sore malam juga gak akan ada yang tegur kali bro. Guru juga takut sama lo, haha!"

Suara gaduh semakin terdengar saat kedua gadis itu hampir sampai dikoridor kelas IPA 5. Gema tawa beberapa siswa laki-laki amat memekakkan telinga dan salah satu dari mereka, Ara tau betul siapa pemiliknya.

Seharusnya, Ara berusaha lagi menghentikan langkahnya saat mengetahui siapa pemilik suara itu. Tapi yang dilakukan justru sebaliknya, ia malah membiarkan langkahnya terayun mengikuti Dara. Gadis itu bahkan sudah mensejajarkan langkahnya dengan Dara. Tidak! Sudah sejak tadi seperti itu sebenarnya.

Kedua gadis itu serentak menghentikan langkahnya saat tiba di koridor kelas IPA 5 yang membuat Dara heboh pagi-pagi begini. Benar saja! Ara tepat sasaran, tentang siapa pemilik suara-suara memekakkan itu. Suara yang sejak dua minggu ini amat memuakkan untuk didengar dengan gendang telinganya.

Mungkin dulu, Ara akan senang jika mendengar suara itu walau hanya melalui ponselnya. Ia tak segan-segan tersenyum semeringah saat suara itu menggodanya atau melontarkan kalimat penenang kala hatinya sedang tidak bersahabat.

Tidak lagi sekarang. Ara pastikan itu, ia membenci suara itu. Ah—ralat, membenci pemiliknya juga. Suara ataupun pemiliknya kini sama-sama membuatnya mual ingin muntah, membuat darahnya mendidih bukan main jikalau tawanya menggema seperti saat ini ataupun seperti kejadian dua minggu lalu.

Tidak! Ara tidak ingin lemah lagi sekarang. Tidak akan pernah. Tolong garis bawahi! Ia bukan gadis lemah yang akan menangis hanya karna pemilik suara itu. Kini hatinya lelah mantab.

Ara melangkah maju mendekati kegaduhan itu, menatap kearah sana dengan wajah datar sedingin es miliknya. Langkahnya sempat terhenti, menelisik lebih detail sambil memastikan ia tidak salah lihat.

Yang di bully Danil, laki-laki?

Mengapa laki-laki itu diam saja? Ayolah, tubuhnya bahkan lebih bagus daripada si brengsek Danil.

Baru saja Dara akan membuka suaranya, namun kata-kata yang terlontar dari Ara justru membuat suara Dara teredam begitu saja. Bukan, tidak hanya Dara sepertinya. Seluruh siswa dikoridor bahkan nampak menghentikan kegiatannya setelah suara dingin nan menusuk milik Ara menggema di koridor itu.

"Setelah ini—pembelaan diri yang gimana lagi yang mau lo buat... Taralio Danil?"

- o0o -
.
.
.
.
.

Vote vote, coment coment!!

Aku butuh antusias kalian seperti biasanya :)

Jangan pelit ya, sedih loh liatnya aku :((

Salam, Secret our 🔥

SECRET OUR [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang