Janji dari Rehan

0 0 0
                                    

"Senja!" Rehan berteriak memanggil nama sahabatnya tepat di depan pintu rumah Senja.

Menjemput dan mengantar Senja saat bersekolah merupakan kewajiban utamanya. Bukannya Senja yang memaksa atau meminta, namun dirinya sendiri yang menawarkan pada Senja. Ralat, bukan menawarkan, tetapi memaksa Senja untuk menerima tawarannya.

"Eh, ada Nak Rehan," sapa Ameera sambil berjalan mendekati Rehan yang mematung di depan pintu rumahnya.

Rehan segera meraih tangan Ameera dan menciumnya. Cowok itu sangat dekat dengan bunda sahabatnya itu, bahkan dia sudah menyayangi Ameera seperti ibu kandungnya sendiri.

"Masuk, Nak! Senja-nya masih sarapan di dalam," jelas Ameera sembari mempersilahkan sahabat anaknya masuk ke dalam rumah.

"Iya, Tante."

"Kamu sudah sarapan?" tanya Ameera sambil berjalan masuk ke dalam rumah, dan diikuti Rehan di belakangnya.

"Sudah kok, Tan," jawab Rehan sopan.

"Beneran? Atau malu aja kalo disuruh sarapan di sini?" goda Ameera.

"Beneran kok, Tan. Malahan Bunda sendiri yang masakin."

"Bunda kamu enggak kerja hari ini? Tumben masakin sarapan buat kamu?"

Bunda Rehan adalah seorang wanita karir. Dia jarang di rumah, bahkan jika di rumah pun dia jarang mengobrol dengan suami atau putranya. Sejak kecil Rehan diasuh oleh pembantunya, dia tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang dewasa bersama pembantunya, bukan ibunya.

"Iya, Tan. Makanya saya sarapan di rumah, kan Bunda jarang-jarang masak di rumah," jelas Rehan dengan menyembunyikan raut wajah bahagianya.

"Oh iya," balas Ameera singkat dan langsung mendudukkan badannya di depan meja makan. Di depannya, Senja sedang melahap makanannya dengan nikmat.

"Makan, Han." Senja menawari sahabatnya untuk makan bersama.

"Tadi aku udah makan, kok."

Selesai sarapan, Senja langsung bergegas ke dalam kamarnya untuk mengambil tas sekolahnya.

***
"Senja berangkat dulu, Bun," pamitnya pada bundanya sembari mencium tangan bundanya.

"Hati-hati, Nak!" Ameera sambil mengusap rambut Senja dengan penuh kasih sayang. "Belajar yang rajin!"

"Iya, Bun."

Setelah Senja menyalimi tangan bundanya, Rehan pun juga menyalimi tangan Ameera.

"Berangkat, Tante," pamitnya pada Ameera.

"Titip Senja ya, Nak!"

"Iya, Tan."

Setelah berpamitan, mereka berdua berjalan mendekati sebuah motor yang terparkir di depan gerbang rumah Senja.

Rehan menaiki motornya, dan Senja mengikuti apa yang dilakukan oleh Rehan.

Motor trail berwarna hitam yang ditumpangi oleh sepasang anak remaja itu melaju kencang di atas jalanan beraspal. Deru knalpot yang dikeluarkan itu hampir tak terdengar oleh orang lain, karena sebelum memakainya Rehan memodifikasinya sebaik mungkin agar Senja nyaman ketika diboncengnya.

***
"Semuanya minggir dulu dong! Pasangan baru mau liwat," teriak seorang gadis yang seusia Senja dengan suara cempreng.

Rehan hanya menatapnya jengah. Cowok itu selalu risih jika melihat teman sekelasnya itu. Dandanan norak dengan seragam super ketat itu hanya membuat matanya gatal saja, ingin rasanya mengusir gadis centil itu namun Senja selalu melarangnya untuk berbuat kasar kepada siapa saja.

"Apa gue bunuh aja, Han?" tanya Dimas ---sahabatnya dengan berbisik di dekat telingan Rehan.

"Gak perlu," jawab Rehan datar.

"Emang elo enggak risih apa?"

"Gue sih risih, tapi mau gimana lagi, ada Senja di dekat gue. Nanti kalo gue berbuat macam-macam, bisa-bisa pisau melayang!"

Mendengar penjelasan dari sahabatnya itu, Dimas hanya menahan tawanya saja. Rehan selalu bersikap lembek jika bersama Senja, namun sebaliknya jika tak ada Senja. Dia bisa saja menjadi cowok kejam nan beringas jika ada sesuatu yang menganggu Senja.

Sesil --gadis yang menyindir Senja tadi berjalan mendekati Rehan. Tangannya dikaitkan dengan tangan Rehan, meski cowok itu menolaknya berkali-kali namun dia tetap memaksanya.

"Istirahat nanti kamu enggak sibuk, 'kan?" tanya Sesil dengan nada manjanya pada Rehan.

"Sibuk," singkat Rehan dengan nada datar dan bersikap cuek.

"Sibuk apa? Kamu 'kan bukan anak OSIS," cerca Sesil terus-menerus ke Rehan.

Rehan mengibaskan tangannya dengan kasar. Dia menolehkan kepalanya ke samping, dan menatap Sesil dengan tajam.

"Gue peringatin sekali lagi sama elo. Jangan pernah deketin gue lagi, karena gue enggak pernah suka sama elo!" ucap Rehan dengan suara lantang, peringatannya itu ia tujukan kepada Sesil.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Rehan mendekat ke Senja yang masih berdiri mematung itu. Tangannya ia kaitkan pada tangan Senja yang berkeringat itu. Karena tahu jika Senja sedang takut, ia mengelus tangan Senja dengan lembut untuk berniat menenangkan sahabatnya itu.

"Ke kelas dulu, ya?" tanyanya dengan lembut pada Senja yang masih mematung itu. "Enggak perlu takut, itu tadi hanya peringatan saja!" imbuhnya untuk menenangkan sahabatnya melalui kata-kata.

Senja hanya membalasnya dengan anggukan pelan saja.

Sesudah mendapat persetujuan dari Senja, Rehan menggandeng tangan Senja dan berjalan menuju kelasnya.

"Apa tadi enggak terlalu kasar buat Sesil?" tanya Senja tiba-tiba di saat mereka berdua hampir sampai di depan kelasnya.

Tiba-tiba Rehan berhenti, begitu juga dengan Senja.

Rehan melepaskan tautan tangannya dengan Senja. Tangan kanannya meraih kepala Senja, lalu mengusapnya dengan lembut sembari bibirnya menyunggingkan senyuman yang tulus.

"Kamu enggak perlu khawatir, Sen. Aku bakal lakuin apa saja buat ngelindungin kamu, jadi kamu enggak perlu takut selama ada aku di sisi kamu!" ucapnya tulus pada Senja sambil menatap mata gadis itu yang berkaca-kaca.

Satu tetes, dua tetes. Air mata Senja berlinang membasahi pipinya. Gadis itu terharu mendengar perkataan sahabatnya yang diucapkan dengan tulus itu.

"Kamu enggak perlu lindungin aku, Han!"

"Kenapa? Kamu masih ragu sama aku?" Rehan bertanya karena merasa curiga dengan sikap Senja itu.

Senja menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku enggak mau kamu lindungin dengan cara kekerasan. Selama ini aku tahu jika kamu udah sering pake cara yang kasar buat lindungin aku, dan kamu enggak perduli pada siapa kamu melakukannya."

"Aku perempuan, Sesil perempuan. Jadi aku lebih tahu gimana perasaan Sesil ketika kamu bersikap kasar padanya. Jujur, aku juga enggak suka cara dia ngedeketin kamu, tapi aku enggak suka sikap kamu menolak semua perlakuannya."

"Sen..."

"Please, jangan kasar lagi sama perempuan, dan... berhenti berkelahi lagi!" potong Senja sembari mengusap air matanya.

Rehan langsung memeluk Senja. "Jangan pernah raguin perasaan aku sama kamu," ucap Rehan di sela isakannya.

"Kamu masih ingat ucapan aku saat di telaga dulu, 'kan?" Senja memastikan sesuatu pada Rehan, dia tak mau jika hubungan persahabatannya dengan Rehan melibatkan perasaan cinta.

"Aku janji sama kamu buat enggak pernah suka sama kamu."

Senja hanya tersenyum tipis ketika mendengar janji dari sahabatnya itu. Saat ini perasaannya mulai kacau. Seseorang yang dicintainya pergi meninggalkan dia, namun seseorang yang tak pernah ia cintai selalu ada di sisinya dan menjaganya dengan sebaik mungkin. Terkadang dia pernah menanyakan perasaannya, kemana hatinya berlabuh?

Purnama di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang