Menatap Purnama

1 0 0
                                    

Seorang gadis sedang duduk di teras rumahnya dengan ditemani sebuah ponsel dan earphone. Dia menikmati heningnya malam dengan sebuah lagu yang ia setel di ponselnya, serta angin malam yang menerpa wajahnya dan berhasil menerbangkan rambutnya. Kepalanya mendongak ke atas, matanya tampak layu ketika melihat sebuah bulan yang berbentuk lingkaran sempurna.

"Purnama, apakah kamu masih ingat ketika kita bersama dulu? Apakah kamu masih mengingatku, sahabat lamamu yang sering usil kepadamu? Tak ingatkah kamu dengan teman-temanmu yang di sini? Apa kamu di sana baik-baik saja?" lirihnya sembari menyeka air mata yang baru saja luruh membasahi pipinya. "Oh iya, Rehan sekarang udah besar. Dia juga sering usil ke aku. Kapan-kapan kamu ke sini ya, temui aku dan lainnya!"

"Andai saja aku bisa memutar kembali waktu, aku hanya ingin bersama kamu dan bermain sama kamu. Aku enggak mau dewasa, karena menjadi dewasa itu menyakitkan. Kita harus dipaksa mandiri, kita diharuskan untuk menjadi pemikir keras, dan yang terpenting kita enggak boleh cengeng. Tapi terkadang orangtua hanya tak tahu saja bagaimana kerasnya perjuangan anak dalam menghadapi kejamnya dunia."

Air mata Senja semakin deras bagai banjir bandang yang siap menerjang manusia. Berkali-kali dia menyeka air matanya, namun air matanya masih bisa terjatuh dan membuat ponselnya menjadi basah, meski tak sebasah terkena air hujan.

Mencintai dalam sepi
Dan rasa sabar mana lagi
Yang harus kupendam dalam mengagumi dirimu

Lirik lagu tersebut sangat menyohok hati Senja yang terdalam. Karena lirik tersebut sangat mewakili perasaannya pada seseorang, atau lebih tepatnya orang lama yang kembali singgah di hatinya.

"Senja," panggil seseorang yang baru saja keluar dari dalam rumah.

Cepat-cepat Senja mengusap air matanya, dan menoleh ke belakang.

"Kamu ngapain di luar rumah malam-malam begini, Nak?" tanya seorang wanita dewasa yang sedang berdiri di depan Senja.

"Senja enggak ngapa-ngapain Bunda," jawabnya dengan suara pelan.

Wanita dewasa yang dipanggil Senja dengan kata Bunda itu langsung berjalan mendekati Senja, dan duduk di samping Senja.

"Kalo kamu ada apa-apa langsung cerita ke Bunda, Nak! Meski Bunda bukan Mama kandung kamu, Bunda sangat menyayangi kamu seperti anak kandung Bunda sendiri. Ingat itu baik-baik, Senja!" Wanita itu menasihati Senja sambil mengusap kepala Senja pelan dan penuh kasih sayang.

Senja menghamburkan dirinya ke dalam pelukan wanita tersebut.

Bunda Senja pun membalas pelukan anaknya dengan hangat dan lembut. Tak terasa air matanya luruh karena merasa terharu dengan sikap anaknya yang menurutnya sangat penuh dengan kejutan tersebut. Tangannya membelai punggung Senja lembut. Hatinya tak berhenti mengucap rasa syukur karena telah memberikannya suami yang penuh tanggung jawab, dan seorang anak yang sangat mencintainya itu.

"Jangan pernah tinggalkan Bunda ya, Senja! Bunda sayang sama Senja," ucapnya dengan suara serak karena tangisnya.

"Senja juga sayang sama Bunda. Senja enggak mau ninggalin Bunda juga," balas Senja yang masih memeluk bundanya dengan erat, seperti tak mau melepaskannya.

Ameera --Bunda Senja tersenyum tipis dan penuh dengan ketulusan. Baginya, Senja adalah harta berharga yang tak mau ia lepaskan dengan mudah.

Begitu pun dengan Senja, meski Ameera bukan ibu kandungnya dia tetep mencintai Ameera dengan sepenuh hati. Dulu, gadis itu pernah kehilangan ibunya yang meninggalkan dia di saat bayi dan ayahnya. Meski begitu, hatinya tak pernah menutup kemungkinan untuk mencinta perempuan yang beda dengan gelar yang sama, seorang ibu.

"Senja jangan pernah menyamakan Bunda dengan Mama, ya! Bunda sama Mama itu beda, mau bagaimana pun Mama kamu itu adalah orang yang telah melahirkan kamu. Sejahat apa pun Mama, dia adalah orangtua yang tetap mencintai anaknya dimana pun dia berada. Bunda hanyalah orang asing yang tak sengaja bertemu Senja dan menyayangi Senja seperti anak kandung Bunda." Ameera sembari melepas pelukan Senja dengan lembut.

"Apa karena itu Bunda enggak pengen punya anak lagi?"

"Maksud kamu?" Ameera bingung, karena selama ini dia tak pernah memberitahukan pada orang lain tentang alasannya yang tak ingin memiliki anak lagi.

"Alasan Bunda tak ingin punya anak lagi karena Bunda menganggap Senja anak kandung Bunda?" Senja menatap mata Ameera dalam, dia ingin menemukannya di dalam mata Ameera.

Karena merasa Senja sedang mencari sebuah jawaban dari sorot matanya, dia menundukkan kepalanya. "Bukan itu, alasan Bunda tak ingin punya anak lagi itu tidak ada hubungannya dengan Senja kok. Malah Bunda pengin suatu saat nanti kamu bisa bermain dengan adik kamu yang menggemaskan."

Senja tak percaya dengan ucapan bundanya kali ini, wanita itu selalu berhasil membuat Senja percaya padanya namun kali ini kepercayaan Senja tak berpihak pada ucapannya. Tanpa menjawab, Senja hanya menghela nafasnya.

Ameera tertawa sembari mengacak-acak rambutnya dengan gemas. "Kamu itu dibilangin orangtua bukannya percaya malah bersikap tidak sopan, ya!"

"Ihh, Bunda! Senja itu baru saja keramas loh, ya kali rambutnya langsung diacak-acak gitu!" Senja pura-pura bersikap jengkel pada bundanya.

Ameera hanya tertawa melihat kelakuan Senja yang menggemaskan itu. Putrinya itu tak pernah menjadi gadis dewasa di depannya, selamanya Senja hanyalah gadis kecil nan menggemaskan baginya.

"Emang rambut Senja itu almari apa? Harus diacak-acak gitu ketika nyari baju!" Senja mengerucutkan bibirnya dengan kesal.

Tawa Ameera semakin keras, tangannya memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu keras tertawa. Dan hanya Senja yang berhasil membuatnya tertawa dengan begitu tulus dan lepas itu.

"Bunda ke dalam dulu," pamit Ameera sembari beranjak berdiri. "Kamu terusin melamun aja ya, nanti kalo udah bosan langsung tidur aja!" Ameera sambil memicingkan matanya pada Senja.

"Langsung tidur? Jadi Senja tidur di teras dong?"

"Maksud Bunda ke dalam dulu, bukan langsung tidur di teras. Kamu masuk ke rumah, terus tidurnya di kamar gitu!" Ameera menepuk dahinya dan kembali mengeluarkan suara tawanya.

"Siap, Bunda!" Senja dengan bangkit dan memberi sikap hormat pada Ameera.

Ameera hanya membalasnya dengan gelengan kepala saja. Setelahnya, dia masuk ke dalam rumah.

Selepas kepergian Ameera, Senja kembali menatap pada bulan yang berbentuk lingkaran sempurna itu, atau orang lebih akrab memanggilnya dengan bulan purnama. Setelah berbicara dengan bundanya, hatinya terasa lega dan tak ada beban yang ia pendam selama ini. Ameera selalu berhasil membuatnya merasa lega, dan terkadang membuatnya tertawa di waktu tersulitnya. Baginya, dia adalah bulan sabit yang selalu menggantikan purnamanya ketika ia menghilang.

Purnama di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang