Chapter 2 Si Mata Empat

9 1 0
                                    

Beberapa hari berlalu, ia berjalan memasuki perpustakaan. Ia melangkah menuju salah satu rak di ujung ruangan itu. Dengan teliti, tanggannya menunjuk tiap buku hingga menemukan buku yang dicari. Ditariknya keluar buku itu dari barisan dan menyadari ada sepasang mata yang pernah ia temui. Selang beberapa saat, ia baru menyadari bahwa mata itu miliknya! Lelaki misterius yang membuat rasa tertentu dihatinya!

Wajahnya terkejut dan memerah. Rupanya lelaki itu juga sama terkejutnya! Buru-buru ia mendekap buku itu didadanya dan berlari keluar perpustakaan.

Ia bersembunyi disalah satu sudut tangga menuju lantai 2. Pipinya semakin memerah saat mengingat kejadian yang barusan. Jatungnya berdegup kencang, lebih-lebih karena ia tadi berlari.

"Oh Tuhan... Bagaimana ini?" sambil menepuk keras pipinya.

Ia sangat cemas karena menampilkan wajah yang buruk saat terkejut tadi.

Huft... Hah...

Beberapa kali ia menarik napas untuk menenangkan diri. Setelah cukup tenang, ia melangkah menuju perpustakaan lagi karena buku itu belum didaftarkan ke daftar pinjaman. Baru saja berbalik badan ....

Brak!

"Kalau jalan lihat-lihat dong! Dasar mata empat!"

"Masa orang sebesar ini gak kelihatan sih?!"

Belum puas Lia memaki, ia juga menendang buku yang berserakan. Ia hanya bisa menunduk dan bilang "Maaf, gak sengaja".

Lia adalah wanita yang sangat populer dikalangan lelaki sekolah ini. Bagi kaum hawa sendiri, ia dikagumi karena paras yang bergitu cantik. Namun, di balik itu semua, Lia memiliki tabiat yang aneh untuk orang yang dikatakan rupawan.

Lia terus saja memarahinya. Bahkan, dua orang yang berjalan dengannya ikut memanas-manasi suasana.

Akan tetapi, salah satu temannya tiba-tiba menepuk pundak Lia dan berkata "Cukup! Cukup! Lihat tuh siapa yang di sana". Tak jauh dari mereka berempat, lelaki itu berjalan mendekati mereka.

Sikap Lia langsung berubah!

"Kamu gak apa-apa kan? Sini aku bantu ambil bukunya" ucap Lia lembut.

Lelaki itu hanya terheran dengan peristiwa di depannya. Hanya tatapannya saja yang sedari tadi memandang ia yang berusaha merapikan bukunya dan berlalu begitu saja.

Sudah agak jauh lelaki itu rupanya, Lia pun membanting buku itu lagi ke lantai.

"Tsk! Ayo guys kita cabut. Daripada membusuk di sini kaya si kutu buku itu!"

Lia dan komplotannya pun kabur meninggalkannya di lorong.

***

Esoknya, ia bercerita tentang kejadian yang telah ia alami.

"Aaa..." Ia berteriak lalu menjatuhkan tangan dan kepalanya di atas meja.

"Kamu kenapa sih?" tanya sahabatnya.

Sambil menoleh malas, ia berkata "Kemarin aku menabrak Lia".

"Ya terus?!" lanjut tanya sahabatnya.

"Kamu tahu kan dia tuh siapa?" balasnya.

"Siapa sih yang gak kenal dia? Cewek paling cantik di sekolah yang suka sama Airon. Kemarin aku dimarahin terus pas Airon lewat, semua berubah 180o jadi baik!" lanjutnya.

Sahabatnya pun menimpali penjelasan itu dengan berkata "Kan dia emang gitu, si muka dua!" dengan nada nyinyir tajamnya.

"Kayanya aku mau mundur pelan-pelan aja deh dari Airon".

Mendengar jawabnya, sahabatnya itu tiba-tiba menggenggam erat pundaknya. "Kamu tahu pepatah Shakespeare, cinta tidak terlihat dengan mata tetapi dengan pikiran, dan karenanya Cupid bersayap digambarkan buta. Dan cinta harus berani menerima resiko!" dengan nada serius.

Matanya pun berkaca-kaca dan berusaha berkata "Terus aku harus gimana?" dengan raut muka yang memelas.

Seketika keadaan hening. Ia dan sahabatnya pun mulai saling memandang. Lalu, ia dikejutkan dengan satu gebrakan keras dari sahabatnya. "Pesta itu!" teriaknya keras sembari menunjuk wajahnya.

***

Let The Air RunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang