Prolog

19 9 6
                                    

Seorang gadis kecil sedang memainkan kedua bonekanya seakan-akan hidup, sempat bingung melihat orang dewasa sedang gundah di depan ruangan besar. Tetapi dia kembali sibuk dengan dunianya sendiri. Wajar saja, gadis itu masih berusia tiga tahun dan belum paham dengan situasi saat ini.

Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi dari dalam ruangan tersebut. Orang-orang di sekitarnya langsung mengeluarkan perasaan leganya. Baru saja gadis itu hendak bertanya, seorang suster keluar dengan membawa kereta dorong. Beberapa orang melihat sekilas isi kereta dorong tersebut. Membuat gadis kecil penasaran.

"Ara, ayo masuk ke dalem."

Ara, nama gadis itu, menggeleng lalu kembali memperhatikan suster yang semakin menjauh.

"Ya udah. Om sama Tante mau ke dalam dulu. Ara jangan kemana-mana. Tio, jagaiin Ara."

Pemuda di samping Ara terlihat asyik memainkan ponselnya hanya memberikan dehaman. Akhirnya para orang dewasa mulai memasuki ruangan asal suster tadi.

Ara pun, masih asyik melihat sang suster yang semakin menjauh. Meski diperintahkan bagaimana pun, ketika anak kecil mulai penasaran, dia akan mengikuti instingnya. Ketika orang-orang sudah memasuki ruangan tersebut, Ara berjalan mengejar suster tadi.

Kaki kecilnya berusaha untuk menyejajarkan dengan langkah besar suster. Saat hampir memasuki ruangan yang ada di depannya, badannya tiba-tiba terangkat membuat Ara berteriak kaget.

"Tenang, Nak. Om ngga bakal culik kamu."

Ara berhenti teriak lalu melihat orang yang mengangkatnya. Jas putih yang dikenakannya sanggup meyakinkan Ara untuk mempercayai orang tersebut.

"Om Doktel, Dedek!" sahut Ara sambil menunjuk ruangan yang hendak dimasuki.

Meski sedikit cadel, Dokter itu paham apa yang dimaksud Ara. Dirubah posisi Ara menjadi duduk di gendongannya.

"Kamu ngga boleh masuk ke sana. Di sana banyak dedek bayi yang masih lemah. Nanti mereka sakit," jelas sang Dokter.

"UWAAA! DEDEK ALA!"

Seketika Ara berontak mengetahui jika dia tak bisa masuk. Tak ayal, Dokter pun harus menjadi sasaran amuk dari balita di tangannya. Sambil terus mencoba menenangkan, Dokter berjalan ke samping dimana bisa melihat ruangan di dalamnya dari balik kaca transparan.

"Hey, hey, coba lihat ke situ."

Ara menghentikan teriakannya dan menoleh ke arah yang ditunjukkan Dokter. Matanya kembali berbinar melihat suster yang sama sedang mengurus seorang bayi yang berada di inkubator.

Tangan Ara mengarah ke bayi tersebut palu berkata, "dedek Ala!"

Sang Dokter ikut melihat salah satu bayi yang di tunjuk Ara dan terkejut. Ukurannya cukup kecil dibandingkan bayi-bayi yang lainnya. Dokter menyimpulkan jika Ara tak mengetahui keadaan adik barunya itu.

"Ala," panggil Dokter.

"Bukan Ala! A-La!"

Pipi Ara mengembung karena Dokter tersebut salah memanggil namanya. Sesaat, Dokter berpikir. Mencoba memahami ucapan Ara.

"Iya, Ara," kepala Ara mengangguk senang, "berarti Ara udah jadi kakak, ya."

"Kakak?" tanya Ara yang tak paham.

"Iya. Kakak. Sosok yang menolong dan menjaga adiknya. Harus bantu adiknya kalo kesusahan. Ara bisa jadi kakak buat dedek bayi?"

Kepala Ara mengangguk mantap lalu menjawab, "bica!"

"Bagus. Ara harus tepatin janjinya, ya. Sekarang ayo kita ke resepsionis. Nanti Om beliin kue buat Ara."

o-----o

SIBLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang