Chapter 03

13 8 1
                                    

Radit yang baru saja pulang dari latihan badminton menemukan kakaknya sedang tiduran di sofa masih mengenakan seragamnya. Sepertinya Ara juga baru pulang. Radit menaruh tasnya di samping sofa lalu duduk tepat di atas kaki Ara. Sore yang melelahkan untuk Radit.

"Oi! Bangun!"

Ara langsung memukul Radit dengan bantal berkali-kali. Sedangkan yang dipukul tak peduli dan menyenderkan badan ke sofa.

"Dibilangin bangun!"

Karena adiknya tak kunjung bangun, Ara memilih untuk bangun dan menarik kakinya. Tetapi, pukulannya kepada Radit tak berhenti.

"Ih, Kak. Maaf atuh," ucap Radit sambil mengambil bantal dari Ara.

"Maaf doang, ngga minggir-minggir," Ara langsung mendorong Radit agar menyingkir dari kakinya.

"Kalian belum mandi?" tanya bunda keheranan melihat anak-anaknya masih mengenakan seragam masing-masing.

"Nanti, Bun," jawab keduanya kompak.

"Ngga ada nanti-nanti," sahut bunda, "cepet mandi!"

Keduanya langsung menurut dan menuju kamar masing-masing. Baik Ara dan Radit mengambil handuk masing-masing dan menuju ke kamar mandi.

Sekedar info, di lantai dasar terdapat ruang tamu, ruang keluarga, kamar orangtua, dapu, suang makan, dan satu kamar mandi. Sedangkan, di lantai dua rumah mereka hanya terdapat dua kamar yang merupakan kamar Ara dan Radit, satu kamar mandi, serta balkon.

Dengan struktur seperti itu, tentu saja ada situasi dimana salah satu dari kakak beradik itu harus bergantian. Namun, keduanya yang saling mementingkan diri sendiri tak mungkin mengalah.

Sudah pasti, selalu terjadi pertikaian ketika menggunakan kamar mandi.

Seperti saat ini. Keduanya bergegas keluar kamar dan berlari menuju kamar mandi. Karena kamar Radit lebih dekat dengan kamar mandi, membuatnya lebih diuntungkan dan berhasil sampai lebih dulu.

Ketika pintu ditutup, Ara mengerang kesal. Dengan begini, Ara harus menunggu Radit selesai mandi atau menggunakan kamar mandi bawah. Ara terlalu malas untuk turun kebawah. Jadi dipilihlah opsi pertama.

Skor dari pertandingan mereka hari ini adalah 1-0.

"Jangan lama-lama," peringat Ara.

Radit menjawab, "diusahakan."

Ara menunggu di depan pintu. Karena jika kembali ke kamar, Ara akan sibuk memainkan ponsel dan tak mandi-mandi. Lalu, pintu kamar mandi terbuka.

"Tumben cepet."

"Katanya jangan lama-lama," sahut Radit kesal.

"Oh, iya."

Ara pun langsung masuk ke kamar mandi. Pintu langsung ditutup begitu saja. Radit langsung ke kamarnya sambil nyinyir pelan agar tak terdengar Ara.

Keduanya memilih menghabiskan waktu di kamar setelah mandi sampai terdengar suara mobil yang sangat mereka kenal. Ara dan Radit langsung turun untuk menyambut ayah mereka yang baru saja pulang.

"Ayah," sapa Ara maupun Radit. Langsung menyalimi ayah mereka.

Mata kakak beradik itu tak bisa lepas dari kantung plastik yang dibawa ayah. Tentu saja hal tersebut ditangkap oleh sang ayah.

"Giliran urusan makanan aja cepet. Nih, bawa kuenya ke dalem. Potong buat Ayah sama Bunda juga."

Ara dan Radit kegirangan dan langsung mengambil kue dari tangan Ayah. Keduanya berjalan ke dapur untuk memotong kue.

"Tunggu, Kak!"

Tangan Ara yang hendak memotong kue berhenti. Menatap Radit bingung.

"Biar aku aja yang motong. Ngga adil kalo Kak Ara yang motong."

"Ngga," tolak Ara, "kalo kamu yang potong malah berantakan gegara motongnya kegedean."

"Ngga, ya! Itu sih Kakak! Aku ngga pernah motong berantakan," ucap Radit tak terima.

"Jadi mau kuenya ngga?"

"Mau," jawab Radit cepat.

Ara langsung memotong kue. Tak mempedulikan protes Radit tiap kali memotong kue. Tak ada habisnya menuruti adiknya itu.

"Tuh, kan, punya Kakak kuenya lebih gede!" Radit memprotes sambil membandingkan porsinya dan punya Ara.

"Ini udah adil!"

"Ngga. Aku mau yang itu!"

Radit mau mengambil kue bagian Ara. Kali ini Ara langsung memakan setengah kuenya. Tak membiarkan Radit mendapatkan kuenya. Senyum kemenangan ditunjukkan Ara sambil mengunyah, berbeda dengan Radit yang merajuk kesal.

Dengan begitu, skor berubah menjadi 1-1.

o-----o

SIBLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang