Chapter 04

12 8 0
                                    

"Kakak! Kakak!!"

BRAKKK!

Radit mendobrak kamar Ara yang membuat kakaknya itu terkejut. Siapa yang tak terkejut ketika belajar tiba-tiba pintunya dibuka seperti itu. Sebagai bukti, buku latihannya sudah terdapat garis pulpen panjang.

"Buka pintunya ngga bisa pelan-pelan?!" sinis Ara.

Menyadari kesalahannya, Radit keluar dan menutup pintu. Lalu, Radit kembali membuka pintu lebih pelan dari sebelumnya. Ara sendiri tak bisa berkomentar apa-apa.

'Punya adek gini amat', batin Ara.

"Kak!" Radit memanggil lagi.

Ara menghela napasnya kemudian berkata, "kenapa?"

"Tolong bantuin bilang ke bunda, dong."

Kedua alis Ara bertautan. Ada yang ganjil dari permintaan Radit. Bisa Ara lihat jika Radit memasang mata penuh pengharapan hanya untuk meminta bantuan.

"Bilang apaan?"

"Bilang buat beliin kanvas sama cat akrilik. Besok harus dibawa."

Ara menjatuhkan pulpennya, terkejut dengan ucapan Radit. Lebih terkejut daripada Radit mendobrak pintu kamarnya. Tak habis pikir dengan adiknya itu.

Singkatnya, Radit benar-benar sudah gila! Ini sudah pukul setengah sembilan dan Radit baru bilang sekarang! Bagaimana bisa adiknya itu melakukan kesalahan yang sama setelah diberi wejangan dari bunda mereka?!

"Ngga! Gila kamu! Mana mau Kakak bilang gitu ke bunda!" Ara berteriak kesal, mengingatkan Radit tentang kejadian yang sama persis seperti sekarang.

"Aku ngga mau dimarahin bunda! Kalo sama Kakak, pasti bunda ngga marah banget." Radit mencoba bernegosiasi.

"Mau Kakak yang bilang pun, udah pasti kamu dimarahin habis-habisan nanti!" balas Ara, "kemarin-kemarin kemana aja? Ngga mungkin tugasnya dadakan."

Radit melirik ke arah lain, menghindari tatapan Ara. Radit bergumam, " ... lupa."

Dalam hati Ara sudah menyerah. Tak kuasa dengan tingkah adiknya itu.

"Pokoknya, kakak ngga mau! Kalo mau nyari mati, sendiri aja sana."

Ara kembali berkutat pada mejanya. Tak mempedulikan rengekan Radit yang meminta bantuan. Membiarkan adiknya menghadapi amukan bundanya.

Melihat Ara yang tak ada niatan membantu, Radit langsung keluar kamar Ara. Jika kakaknya tak menbantunya, dia akan menarik kakaknya secara paksa.

"BUNDA! KAKAK BILANG GILA SAMA NYURUH MATI!"

Teriakan Radit sukses membuat Ara menghentikan sesi belajarnya. Dengan secepat yang ia bisa, Ara mengejar Radit yang berlari menuruni tangga.

"Radit! Ara! Jangan lari-lari di tangga!"

Bunda yang sedang menonton tv langsung menengok ke tangga saat mendengar langkah kaki kencang menuruni tangga. Terheran-heran melihat Ara yang menarik kaos Radit. Dengan ukuran badan Radit yang lebih besar dari Ara, sudah pasti membuat sang kakak terseret.

"Jangan main-main di tangga! Bahaya! Kalo salah satunya jatuh terus guling-guling gimana?"

"Bunda! Tadi kakak–"

"Radit bilang kalo besok harus bawa canvas sama cat akrilik ke sekolah, Bun!"

Pada akhirnya, Ara harus mengabulkan permintaan Radit. Lebih baik dibandingkan Radit yang mengadu duluan. Setidaknya, ucapannya takkan menjadi masalah besar karena bunda akan berfokus ke Radit.

"Radit, bener yang dibilang kak Ara?"

Wajah bunda sudah berubah merah, menahan emosi. Kedua saudara itu sadar jika mereka baru saja membuka kandang singa.

"I-iya," ucap Radit sepelan mungkin.

"Radit, ke sini."

Tanpa pikir panjang, Ara langsung mengambil kesempatan untuk kabur. Kabur demi kebaikannya.

"Besok Ara ada kuis. Ara ke kamar lagi."

"Iya."

Jawaban singkat bunda cukup untuk Ara segera kembali menaiki tangga. Dan tak menghiraukan tatapan meminta tolong dari Radit. Ara hanya akan bantu mendoakan kebaikan Radit dengan penuh suka cita.

"Jadi Radit," bunda kembali membuka suara, "kenapa baru bilang sekarang?"

o-----o

SIBLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang