Chapter 01

18 8 0
                                    

Perut Ara berbunyi ketika menuruni anak tangga. Gadis remaja itu langsung meringis mengetahui jika dirinya belum makan. Bukan tanpa alasan dia melewatkan makam siang. Hanya di akhir pekan dia bisa bermain game online sepuasnya. Terutama di saat seperti ini, ketika hanya menghitung bulan menjelang kelulusannya. Dia butuh istirahat juga.

Kakinya berjalan cepat menuju dapur, menghampiri kulkas. Saat dibuka, salah satu teh kotakan yang baru dibelinya kemarin hilang. Perasaannya mulai tak enak. Tangannya meraih laci atas dan tak menemukan dua bungkus snaknya yang dibeli bersamaan dengan teh kotak. Sudah bisa Ara tebak siapa pencurinya.

"RADIT!" teriak Ara yang pasti terdengar oleh seisi rumah.

Sedangkan yang dipanggil masih asyik melihat acara di televisi dengan satu bungkus keripik di pangkuannya. Bahkan terlihat remahan di sekitar bibir pemuda itu.

"Kamu ngambil snak Kakak lagi?!" teriakan Ara membuat Radit menutup telinganya.

"Ngapain teriak-teriak, sih? Emangnya hutan?"

Sahutan Radit membuat amarah Ara meningkat. Agar tidak kelepasan, Ara mengatur napasnya kemudian dilanjut menghitung satu sampai sepuluh.

"Kamu ngambil snak yang ada di laci?" Ara melunakkan suaranya atau adiknya itu akan terus mengelak.

Wajah Radit menunjukkan ketidaksetujuan dan menjawab, "ngga cuma snak, teh yang ada di kulkas sama coklat juga --AW! KAK, SAKIT!"

Kesabaran Ara sudah habis. Dia harus melakukan kontak fisik dengan telinga Radit agar tidak mengamuk.

"Bukannya kamu udah dapet jatah coklat dari ayah?! Kenapa masih ngambil punya Kakak?! Kenapa?! Huh?!"

Tangan Ara melepas jewerannya ketika melihat semua bagian telinga Radit sudah berubah jadi merah. Ada rasa puas melihat itu. Berharap bekasnya sudah hilang saat bundanya pulang.

"Aku kira Kakak ngga mau makan. Udah dua hari dianggurin. Lama-lama basi nanti," elak Radit.

"Makanya biar ngga basi Kakak taruh coklatnya di kulkas. Jangan biasain! Bilang kalau mau minta apa-apa!"

"Emangnya kalo aku minta Kakak mau kasih?"

"Ngga juga."

"Makanya aku langsung ambil aja."

Kali ini, Ara menjewer telinga Radit yang satunya. Dilanjut dengan terikan kesakitan oleh pemuda tersebut. Sudah tak peduli jika diomeli oleh bunda.

"Aduh," Radit langsung mengelus telinganya yang sudah dilepas, "jadi cewek bar-bar banget. Pantes ngga punya pacar."

"Apa?!"

"N-ngga. Kak Ara cantik."

Dalam hati, Radit sudah mengutuk sebanyak mungkin pada kakaknya. Saat ini dia tak bisa melakukan apa-apa karena bunda sedang pergi. Tak ada yang menolongnya.

"Kalo mau apa-apa itu bilang dulu. Ngerti?" Ara kembali bertanta, namun tak ada jawaban dari Radit.

"NGERTI?!"

"Ngerti, Kaaakk," jawab Radit dengan sengaja memanjangkan bagian terakhirnya.

"Ini, aku balikin."

Radit mengulurkan keripik yang sejak tadi didekapnya. Agak ragu bagi Ara untuk mengambil. Begitu kantung besar itu sudah berada di tangannya, ada yang aneh. Rasanya terlalu ringan.

Ketika dilihat, hanya tersisa remah-remahnya saja. Sang pelaku sudah beranjak dan kabur dengan membawa satu kotak teh Ara. Meninggalkan sofa dalam keadan kotor akibat remah keripik dan bungkus cemilan yang berserakan.

Harusnya dia mengetahui tabiat Radit, itu yang dipikirkan Ara saat ini.

"RADIITT!!"

o-----o

SIBLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang