2. My Past [2]

871 113 17
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

***

Keinginan yang begitu sederhana tetapi sangat bermakna. Namun, kala itu aku tak tahu kalau mewujudkan keinginan itu dalam hidupku, tak pernah sesederhana apa yang aku bayangkan.

Tidak Bolehkah Aku Bahagia?
Rani Septiani

***

Aku tersenyum miris saat mengingat bahwa apa yang aku harapkan pada saat berusia 6 tahun itu tak terwujud.

Perlahan tapi pasti, aku membuka mata. Awalnya semua tampak buram hingga pandanganku semakin jelas. Suara petir yang bersahut-sahutan menyapa indera pendengaranku. Ternyata di luar sedang turun hujan. Kamar ini berwarna putih dan aroma obat-obatan menyapa hidungku. Aku melihat ke sisi ranjang. Di sana Ibu terlelap dengan tangan yang menggenggam tanganku. Ada jejak-jejak air mata di pipinya. Pandanganku menyapu sekeliling. Tak aku temukan sosok Ayah di sini. Padahal aku berharap, Ayah ada di sini menemaniku. Apakah Ayah nggak khawatir sama Kakak? Siapa perempuan itu ya? Dia udah rebut Ayah dari aku dan Ibu. Aku benci perempuan itu!

Air mataku luruh. Padahal hari ini aku ulang tahun yang ke-6 tahun. Ayah janji waktu itu akan ngajak aku jalan ke Ancol, tapi aku nggak mau. Karena aku pengen ke Singapura gara-gara temen di sekolah nunjukkin foto liburan dia di sana. Apa Ayah marah sama Kakak? Yang Kakak mau sekarang Ayah ada di sini. Kakak nggak akan minta liburan lagi, nggak akan minta ini itu lagi. Kakak cuma pengen Ayah dan Ibu selalu sama-sama dan nemenin Kakak.

"Aaaaaa! Gue benci semuanya! Gue capek!"

Aku terbaring di lantai yang dingin dengan poisi menyamping ke kanan. Sama seperti sikap orang-orang terhadapku. Dingin.

"Kenapa gue dilahirin ke dunia ini? Kalau gue cuma ngerasain sakit tanpa bahagia? Kenapa?!"

"Orang-orang selalu bilang. Bahagia dan sedih itu satu paket. Kalau gue ngerasain sakit maka gue akan ngerasain bahagia juga. Tapi apa buktinya? Gue cuma ngerasain sakit, tanpa pernah ngerasain bahagia!"

Aku memegang kepala yang terasa berdenyut. Jika menangis terlalu lama, maka ini yang akan aku rasakan. Aku berusaha bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah. Tubuhku lelah, tadi pagi aku hanya makan sepotong roti dan segelas susu. Dan tidak ada makan juga minum hingga malam ini.

Setelah mencuci wajah, aku turun ke lantai bawah dan menuju ke dapur. Setelah mengambil segelas air putih dan brownies dari kulkas, aku menuju meja makan. Lagi-lagi air mataku menetes. Dulu, dapur adalah tempat favoritku bersama Ayah dan Ibu. Setiap hari minggu, kami selalu masak bersama dan membuat kue. Aku rindu Ayah dan Ibu. Kalian dimana? Apa kalian udah nggak sayang atau lupa sama Kakak?

Aku kembali ke lantai atas. Sepi dan sunyi sudah biasa menemani hari-hariku. Sejak lulus SMP, saat itu usiaku sekitar 15 tahun, aku sudah hidup sendiri. Jadi, sudah terbiasa dengan keheningan.

Pasti orang akan bertanya-tanya dari mana aku dapatkan rumah yang masuk kategori mewah ini. Sering dituduh macam-macam karena hanya diam di rumah tapi memiliki rumah mewah. Sudah biasa aku dengar itu dari tetangga. Biarkan mereka mau berpikiran apa. Aku tidak peduli, selama mereka tidak mencampuri hidupku. Maka aku tidak peduli apapun yang mereka katakan tentangku. Sesekali memang perkataan itu akan masuk ke hatiku. Terluka? Itu pasti. Tapi seiring berjalannya waktu, semua itu ibarat makanan sehari-hari. Telingaku sudah kebal dengan semua kata-kata itu.

Setelah tiba di kamar, aku langsung menuju kasur. Mataku terasa sangat ngantuk. Perlahan aku memejamkan mata.

Kruyukk

Aku memegangi perut yang terasa lapar. Aku ingin makan nasi tetapi aku lupa kalau belum belanja bulanan. Beras dan persediaan makanan sudah habis.

Akhirnya aku mengambil hoodie dan mengikat rambut panjangku. Karena jika tidak diikat nanti rambut ini akan kusut terbawa angin.

Aku melirik jam dinding ternyata sudah pukul 10 malam. Tetapi aku sangat ingin makan nasi goreng spesial di dekat pasar. Pulang pergi membutuhkan waktu 20 menit saja. Jadi aku pergi saja. Aku mengambil kunci motor matic kesayanganku dan bergegas menuruni anak tangga.

Di tengah perjalanan tiba-tiba motorku berhenti. Aku menepuk dahi. "Gue lupa isi bensin. Terus ini gimana?"

Akhirnya aku mendorong motor itu untuk mencari SPBU. Namun, tak aku temukan. Hanya ada pedagang bensin eceran saja. Tak apa, aku sudah tidak sanggup mendorong motor ini. Setelah membayar, aku memasukkan uang kembalian ke dalam sling bag.

Sreet

Brugh

"Aww." Aku tersungkur dengan lutut membentur trotoar. Aku masih terdiam akibat syok. Kejadiannya begitu cepat.

"Astaghfirullah. Mbak itu lengan kanannya berdarah," ucap pedagang itu membuat aku melirik lengan kananku yang mengeluarkan darah cukup banyak. Satu hal yang paling tidak bisa aku tangani adalah darah. Aku lemah dengan darah. Tubuhku melemas saat melihat darah itu mengalir di lengan kananku.

Aku menangis, "Tolong. Tolongin gue." Aku berkata sembari menangis dengan tangan yang sudah dingin dan gemetaran.

Sementara orang-orang yang berlalu lalang hanya memperhatikan tanpa ada niatan untuk membantu. Kenapa mereka semua?

Rasa sakit dan perih mulai terasa di lengan kananku. Aku tidak berani menutupi luka itu dengan tanganku. Lututku lemas sehingga aku tidak bisa kemana-kemana. Rumah sakit atau klinik pun jaraknya cukup jauh.

"Ya Allah. Hamba yang penuh dosa ini. Hamba yang lalai ini. Hamba yang tidak pernah menjalankan perintah dari-Mu. Hamba ingin berdoa kepada Engkau. Tolong bantu hamba--"

"Astaghfirullah. Mbak ini tangannya berdarah. Maaf saya bantu bersihkan lukanya."

"Mbak yang baju merah, saya minta tolong bantuin Mbak ini untuk duduk di atas trotoar ya,"titahnya pada orang-orang yang menontoniku.

Tunggu. Sehina itukah aku? Sampai dia enggan untuk langsung membawaku ke pinggir.

Aku mendengus sebal pada perempuan itu. Tadi saat aku meminta tolong, tidak ada satupun yang mau membantu.

Dia membersihkan lukaku dan mengobati lukaku dengan obat-obat yang tidak aku ketahui apa namanya. Yang aku tahu, pasti obat itu untuk luka. Aku masih memejamkan mata karena merasa ngeri dan menahan sakit.

"Alhamdulillah, sudah selesai Mbak." Suara yang begitu merdu menyapa indera pendengaranku.

Aku membuka mata dan menoleh untum melihat luka di lengan kananku. Dan tatapanku beralih pada ia yang mengobatiku.

Deg

Tubuhku terasa kaku. Dunia seolah menjadi sunyi. Dan lidahku terasa kelu untuk mengucapkan terima kasih.

***

Selamat Hari Sumpah Pemuda

Mari kita berjuang menggapai cita-cita dan membahagiakan orang tua. 😍💕

Siapa ya kira-kira orang yang membantu Kakak? Kita panggil Kakak dulu ya karena namanya belum diketahui hehe

Ada yang nungguin cerita ini kah? 😆

Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama. Jangan lupa shalat tepat waktu yaa.

Bolehkah Aku Bahagia? | TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang