"Bos.'' Nanon menoleh saat ia mendengar suara panggilan salah satu anak buahnya. "215 sudah tiba.'' lapornya.
(TN : untuk kalian yang lupa, Nanon selalu memanggil korbannya dengan angka agar ia tahu berapa orang yang menjadi korbannya. Di AU Ohmnanon, korban Nanon bernomor 134. Selama 4 tahun korban Nanon sudah sampai nomor 215)
Nanon yang tadinya tersenyum membaca pesan dari sang suami langsung menunjukkan wajah seriusnya setelah mendengar laporan anak buahnya. "Kerja bagus.'' Nanon berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke depan meja kerjanya dimana sudah ada seseorang duduk bersimpuh di atas lantai dengan dua orang yang menjaganya. "Kau tidak jago bersembunyi ternyata, 215.''
Pria yang duduk bersimpuh tersebut langsung mendongakkan kepalanya. "Bos! Jangan panggil saya dengan angka! Saya punya....''
"Ssttt...'' Nanon menutup bibirnya dengan jari telunjuknya, menyuruh pria tersebut untuk diam. "Kau tahu sekali saya menentukan nomor, itu tidak akan diubah...'' ucap Nanon sambil tersenyum manis membuat wajah pria tersebut semakin pucat. "Kita memang penjahat. Kita membunuh, kita memanipulasi, kita bermain curang. Vihokratana sudah seperti itu sedari dulu bukan? tapi apa kau lupa sejak zaman Bapak kita punya sopan santun? Kita tidak mencuri, kita tidak membunuh anak kecil, dan kita....'' Nanon berjalan mendekati pria tersebut, secara perlahan merendahkan tubuhnya hingga mata Nanon bertatapan dengan mata mangsanya "... tidak memperkosa orang.'' Nanon kembali tersenyum menutup kalimatnya.
Pria tersebut kembali menundukkan kepalanya. Ia sudah tahu jika pemimpinnya sudah tersenyum seperti ini. Ia akan mati malam ini. "Oh Andra... Papa sayang kamu...'' ucapnya sambil meneteskan air mata.
Nanon berdiri lalu melihat pucuk kepala pria yang sudah menjadi anak buah Bapaknya sejak Nanon berusia 15 tahun. "Kau tidak lupa kalau aku juga tidak membunuh seorang ayah dan ibu, bukan? Aku tidak akan membunuhmu. Aku juga tidak akan memaksamu keluar dari kelompok. Aku hanya akan menghukummu.'' Nanon membalikkan badannya lalu menepuk pundak salah satu anak buahnya. "Kebiri dia, jangan dikasih obat bius.'' perintah Nanon.
Pria yang masih duduk bersimpuh di bawah terkejut mendengarnya. "Bos! Jangan!!'' protesnya namun Nanon tidak mendengar. Ia mengambil earpods berwarna hitam dari sakunya lalu memasangnya di kedua telinganya. Jemari tangannya memainkan layar ponsel, mencari lagu opera kesukaan Ohm dan memutarnya dengan volume penuh agar Nanon tidak mendengar suara teriakan yang sebentar lagi akan terjadi. Nanon mengambil cerutu dari atas mejanya dan menyalakan api untuk cerutu tersebut. Nanon menikmati pemandangan malam dengan lagu opera dan cerutu dalam diam. Ia sangat tidak sabar untuk pulang.
***
Kamar Ohm dan Nanon sangat gelap saat Nanon membuka pintu kamarnya. Nanon mengganti bajunya dengan baju santai lalu langsung naik ke atas tempat tidur, badannya secara otomatis mencari kehangatan dari tubuh sang suami. "Errm... udah pulang?'' Ohm terbangun karena merasa ada yang memeluknya.
Nanon menganggukan kepalanya. "Maaf ya bikin bangun.''
"Gak papa..'' Tangan kanan Ohm menarik badan Nanon agar semakin dekat dengan dirinya. Ohm mencium kepala Nanon, menghirup rambut Nanon yang sudah aromanya sudah berbeda dengan tadi pagi. "Kamu ngerokok?'' tanya Ohm.
"Sebatang cerutu aja kok, minggu ini baru sekali.''
"Tumben, stress banget ya?''
Nanon mendongakkan kepalanya, dagunya ia letakan di atas dada Ohm. "Hari ini aku menghukum salah satu anak buahku.'' cerita Nanon dengan mata memelas. "Aku gak nyangka dia melanggar salah satu peraturanku, aku sedih...'' Nanon meletakkan kepalanya di atas dada Ohm, mendengarkan suara jantung suaminya agar ia merasa lebih tenang
"Sedih karena kehilangan anak buahmu?''
"Sedih masih ada aja pria brengsek di kelompokku. Aku kurang keras mendidik mereka kah?'' tanya Nanon.
Ohm mengelus rambut Nanon lembut. "Gak kurang kok, manusia memang begitu kan? Kita gak bisa mengatur mereka bersikap seperti apa...'' Nanon terdiam mendengar kalimat Ohm. Sebenarnya Ohm salah karena menurut Nanon manusia bisa dikendalikan, hanya saja Nanon tidak mau berkomentar. "Sekarang anak buahmu dimana?''
"Tentu saja kupulangkan. Dia seorang ayah, aku tidak akan membunuhnya.''
Mata Ohm yang sudah terpejam awalnya kini membuka matanya. Bibirnya membentuk senyuman senang melihat Nanon yang bermanja di dadanya. "Aku heran sebenarnya sama kamu kenapa kamu gak mau bunuh seorang ayah atau seorang ibu...''
"Aku gak mau seorang anak kehilangan ayah atau ibu karena aku. Rasanya gak enak, aku pernah mengalaminya.'' Nanon bangun dari tidurnya lalu duduk sambil memamdang ke bawah, menatap manik hitam milik Ohm yang terlihat bercahaya di gelapnya kamar. "Aku juga heran sama kamu kenapa kamu masih mau bersamaku padahal kamu tahu pekerjaanku apa...''
Ohm ikut bangun dari tidurnya. Ia duduk dan menyenderkan punggungnya ke tembok. "Aku udah bilang dari awal...'' tangan kanan Nanon kini memegang dagu Nanon. "Kamu itu nagih, Non. Gak habis-habisnya tiap kali sama kamu tuh aku pasti mau lagi dan mau lagi.'' dari dagu kini tangan Ohm mengelus pipi Nanon. "Kamu memang orang bahaya tapi kamu manis... kenapa sih kamu bisa semanis ini?'' tanya Ohm sambil mencubit pipi Nanon.
"Kalau aku bilang aku pake susuk, kamu kecewa gak?''
"Engga, justru aku mau terima kasih sama dukunnya udah berhasil bikin kamu jadi manis gini.'' Ohm menarik wajah Nanon kemudian bibirnya mengecup pelan bibir Nanon.
Nanon tersenyum mendengar kalimat Ohm. Ohm mungkin tidak sadar, alasan kenapa Ohm bisa bersama orang berbahaya seperti dirinya karena Ohm sendiri adalah orang yang berbahaya. Ohm hanya belum menyadari dimana letak bahayanya.
Suara ponsel Ohm berbunyi di saat Ohm hendak membuka baju Nanon. Tak lama, ponsel Nanon juga berbunyi.
"Halo, Win?'' Ohm bertanya pada orang yang menelponnya.
"Ada apa?'' Nanon juga bertanya pada orang yang menelponnya namun dengan nada kesal.
Ohm dan Nanon terdiam mendengar suara sang penelpon. Mata mereka saling bertemu setelah telepon dimatikan. "Kita pergi sekarang?'' tanya Nanon.
"Jangan, besok pagi saja. Win bilang Abuelo dan Kakek akan ikut. Marc akan dititipkan ke siapa?''
"Chimon saja.'' Nanon menekan nomor telpon seseorang kemudian menunggu telepon diangkat. "Kao? Bisa jemput Marc? Aku dan Ohm mau pergi jadi Marc akan dititipkan ke Abang dulu. Ini perintah, bukan permintaan ya.'' Nanon langsung menutup teleponnya tanpa menunggu reaksi Kao. Pandangannya kini beralih ke Ohm yang sedang menatap kosong ke layar ponsel. "Hei...'' tangan kiri Nanon mengusap pipi Ohm, membuat Ohm kini memandang ke arah Nanon. "Oke?'' tanya Nanon yang khawatir dengan keadaan Ohm.
Ohm tidak menjawab. Ia hanya kembali mencium Nanon hingga terlentang di atas tempat tidur. "Gak, Non... aku gak baik-baik aja. Rasanya aku mau langsung ke tempat Bright tapi kamu pasti gak akan suka, bukan?''
"Kau sangat mengerti aku, Kak.'' Nanon tersenyum mendengar kalimat Ohm. "Menangislah... aku tahu kau sedih.'' tangan Nanon kini meraba leher Ohm seakan bersiap mencekik leher Ohm. "Jika tidak... aku yang akan membuatmu menangis.''
"Haha...'' Ohm tertawa kecil ''Kau juga sangat mengerti, Manis...'' Ohm membiarkan tangan Nanon bermain di tubuhnya. "Aku memang sedih sekarang... tolong buat aku menangis...'' pinta Ohm.
"Dengan senang hati...''
Nanon memang seorang pria dan ayah yang manis. Senyumannya membuat Ohm jatuh cinta berkali-kali, namun ia juga seorang pembunuh yang suka membuat Ohm berteriak nikmat di kehidupan malam mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertemuan
Novela JuvenilBook 3 of Starlight Dimana Godt butuh pasangan agar bisa pulang dan rela membayar Earth, pianis muda yang tasnya tertukar dengan tas milik anak Godt di Bandara. "Jadilah suamiku, akan kubayar 10 jt.'' "Kau pikir aku murahan?'' "30jt.'' "Deal.''