Aksel sekarang sudah berada di depan rumah Mizan. Laki-laki dingin itu masih ragu, akan masuk atau tidak ke dalam rumah bertangga 2 tersebut.
"Ngapain nggak masuk?" Dika menatap aneh kakaknya.
"G-gue ragu ..."
Dika menghela nafasnya. Sudah menduga pasti akan seperti ini. Kakaknya itu sok-sokan memang.
"Dah ayok masuk. Masa mau balik. Sayang donk bensin gue, kak."
Dika menarik tangan kakaknya dan menekan bel rumah milik Minho. Tadinya mau ngetuk, tapi karena ada bel tidak jadi. Malu lah nanti kalau diledek, "sudah ada bel rumah tinggal tekan aja tidak bisa." Mau taruh di mana muka Dika.
Cklek
"Oh, kalian dah dateng." Alan membuka pintu.
"Di mana kakak lo?" tanya Dika to the point.
Alan menatap malas ke arah Dika. Sempat berpikir itu laki-laki mau bertamu atau main ke gunung. Celana yang dipakai aja cuma jeans pendek. Mau pamer kaki mungkin.
"Di dalem, ayo masuk."
Alan masuk ke dalam, diikutin Aksel dan Dika di belakangnya.
ıllıllı The Fudan ıllıllı
"Lo duduk aja di sini. Gue panggilin bang Airel."
Alan pergi dari hadapan kedua bersaudara yang saling menatap itu. Karena faktanya mereka tidak mengenal siapa itu Airel. Yang mereka kenal cuma Mizan.
"Kak, lo kenal Airel?"
Aksel menggeleng keras. "Gue kesini buat ketemu Mizan. Bukan buat ketemu si Airel-Airel itu."
"Bang, sana bicara sama Aksel."
Alan mendorong sepupunya ke arah Aksel. Untung tidak jatuh. Bisa hilang harga dirinya.
"Lo, ikut gue." Dika ditarik menjauh oleh Alan dari pertemuan dua insan itu.
"Bangsat emang tuh anak," cibir Mizan.
"Lo Airel?"
Mizan menoleh ke arah suara.
"Gue Mizan bukan Airel."
Laki-laki berparas bak patung itu mengambil tempat duduk di sofa persis di sebelah Aksel.
"Tapi kata—"
"Nama panjang gue Airel Mizan Alano. Gue lebih suka dipanggil Mizan. Gue benci dipanggil Airel."
Aksel mengerutkan dahinya. "Kenapa?"
Mizan menghela nafasnya dan mulai menjelaskan.
"Airel itu panggilan dari orang tua gue. Orang tua gue aja nggak inget anaknya di rumah. Buat apa gue make nama Airel. Mangkanya gue make nama Mizan. Airel sama Mizan itu beda jauh."
Aksel menatap iba ke arah Mizan. Dia reflek memeluk Mizan. Laki-laki dingin itu bisa merasakan apa yang terjadi pada kehidupan Mizan.
Aksel sendiri tidak memiliki orang tua. Orang tuanya sudah meninggal dan membuatnya harus tinggal berdua saja dengan Dika.
Meski hanya berdua. Paman mereka lah yang membiayai hidupnya dan Dika. Karena paman mereka yang mengambil ahli perusahaan, mengingat Aksel dan Dika masih sekolah.
"Lo harusnya bersyukur mereka masih ada. Dan lo jangan benci mereka. Sayangi waktu lo sama mereka sebanyak-banyaknya. Karena belum tentu lo bisa liat mereka lagi kapan hari."
Mizan merasakan hangatnya pelukan Aksel. Laki-laki berparas bak patung itu memilih untuk tidak berdebat melainkan memeluk erat Aksel.
"Gue tau lo kesepian. Tapi seenggaknya Alan masih mau nemenin elo 'kan? Meski lo nyebelin kalo kata dia." Aksel terkekeh.
"WOY JAN NGADI-NGADI LO, NO!" sahut Alan dari dapur.
"Udah ish, lo ganggu drama picisan aja." Dika menatap malas gebetannya.
"Tapi—"
Chup
"Diem atau gue cium lagi."
Alan membatu, masih tidak percaya jika Dika menciumnya. Garis bawahi menciumnya, oh ingatkan Akan nanti untuk minta pertanggungjawaban.
"Nama lo?" Mizan melepas pelukan eratnya.
"Liano Aksel Gantara. Alan itu manggil nama pemberian ortu gue, Liano."
"Kalo gitu mulai sekarang. Lo panggil Gue Airel dan gue manggil lo Liano."
"Kita ada konteks apa manggil kek gitu? Ada-ada aja. Udah kek biasanya aja. Gue juga kesini mau maafin kelakuan lo 3 hari yang lalu."
Mizan menggeleng. "Dan gue ketemu lo buat nembak lo, Lian."
"Mau jadi pacar gue?"
Hai!!Bagaimana kabarnya?
Jangan lupa tekan bintang yah!!
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Fudan [knowjin]
FanfictionCrackpair!𖠵⃕⁖🦢ꦿꦶ⃨ຳི⟡ Kisah Aksel, seorang fudanshi standart yang harus berurusan dengan si wanted sekolah bernama Mizan. Minho, dom! Hyunjin, sub! bxb! gasuka menjauh! © Original Story By Lumierenay, 2020