D-7/Him

1K 89 14
                                    

“So, until that day comes. Just stay with me.”

***

Bagaimana rasanya berdiri di altar?

Menjadikan mu sebagai pusat dunia bagi banyaknya orang yang hadir,

Bersanding bersama seseorang yang akan menjadi bagian hidupmu untuk selamanya.

Mengucap sumpah setia hingga maut memisahkan,

Mengenang kembali segala manis juga pahit hingga sampai pada ujung penantian.

Perjalanan yang tak sebentar, hingga hari yang dinanti-nanti akhirnya datang.

Di depan sana, dua orang mempelai telah siap untuk memulai prosesi pernikahan. Hanya ada raut bahagia yang terpancar dengan semu rona pipi serupa buah ceri.

Dan rasa gugup akan momen pengucapan janji pernikahan merupakan hal yang menegangkan bagi keduanya kini.

“Aku deg-degan,” ucapnya yang mendapat belaian dari sang calon pendamping, menenangkan.

Hingga kalimat sakral berupa ‘Aku bersedia’ lolos terucap dengan lantang serta sungguh-sungguh. Mengesahkan keduanya sebagai pasangan yang diberkati hari itu.

Menyematkan lingkar cincin pernikahan di jari manis tangan kanan masing-masing, gelak tawa serta bahagia mengisi seluruh sudut ruang tanpa terkecuali. Bahagia? Sangat.

“Namjoon, we did it!” ucap Seokjin ditengah ramai manusia.

Menatap binar mata lelakinya, kedua tangannya erat menggenggam bucket bunga berisi bermacam warna juga aroma. Namun Seokjin tetap menyukai tangkai kecil dari daisy yang mencuat di sela-sela nya.

Peluk hangat yang selalu menjadi candu tiap kali bertemu, membawa beratus pasang kaki saling beradu pada lantai untuk berdansa. Menikmati setiap ritme bernada romantis dari benda bernama piano.

Yoongi memainkan instrumen lagu bertema pernikahan dengan sangat indah, membuat debar kagum pada setiap tamu yang berniat singgah. Namun Jung Hoseok tak akan semudah itu menyerah, ia lantas turut ikut berada disisinya. Menyanyikan beberapa bagian lagunya, sembari tak hentinya berkata aku turut bahagia.

“Namjoon...” panggil Seokjin sedikit menengadah menatap mata naga yang selalu ingin untuk ia puja.

I know sweety, bahagia ya?” jawab Namjoon, seolah tahu apa yang hendak dikatakan.

“Bahagia banget, makasih untuk bunganya.”

“Aku bahkan bisa dapetin satu kebun bunga kalau kamu mau, jadi nggak perlu rebutan kaya tadi.”

“Tapi aku mau ini, biar—”

“Iya, sayang. Tunggu selesai kuliah, ya?”

Pernikahan Kak Jiwoo bersama sang suami membawa Namjoon dan Seokjin pada hari ini.

Perjalanan subuh Seokjin tempuh agar dapat menghadiri undangan ketika satu minggu sebelumnya harus ia habiskan untuk mengejar seluruh deadline tugas kuliah dengan gila. Namjoon memberi pengertian, tak apa jika tak dapat hadir namun Seokjin tetaplah Seokjin.

Mengenakan setelan jas warna senada, Namjoon menjemput Seokjin tepat di pelataran rumah.

“Sejak kapan kamu bisa bawa mobil?” Seokjin tertegun beberapa detik. Bukan, bukan ia tak mempercayai betapa hebat Namjoon setahun belakangan, ia hanya tak tahu jika kesan yang ditimbulkan akan membuatnya terpana sebegini nya.

“Aku udah pernah bilang, aku pengin bisa berkendara selain sepeda. Biar aku kelihatan keren, buat kamu.”

“Iya, makasih? Tapi?”

“Nanti telat, yang. Kamu mau bahas cara aku dapat SIM bisa sampai nanti sore.”

Dan dibawanya Seokjin melesat melewati jalanan ramai terlampau mulus. Namjoon mengendarai mobilnya dengan sangat baik.

Secepat itu waktu berlalu. Jika kemarin Seokjin baru bertemu Namjoon perkara bekal makan, hari ini mereka justru sama-sama menghadiri acara pernikahan.

“Sayang, masih ngantuk ya?” tanya Namjoon mengusap surai coklat Seokjin yang tak sengaja terkantuk kaca mobil.

Disisipkan nya bantal bewarna biru disisi agar kepala Seokjin tak lagi mengenai kaca, kekasihnya pasti lelah.

Namjoon sebentar lagi lulus kelas dua belas, bersama mimpi-mimpi yang siap ia libas. Meski sesungguhnya jalan didepan tak pernah memberi puas.

Suara Hoseok menginterupsi di bait terakhir, membawa kembali orang-orang yang menikmati dansa untuk memberi atensi pada pemilik acara. Memberi ucap terima kasih pada sahabat juga kerabat, serta doa untuk yang berhasil menangkap rangkai bunga, ditutup dengan riuh tepuk tangan agar berjodoh hingga menua bersama, selamanya.

“Namjoon, aku mau tidur lagi boleh?”

“Boleh, sayang. Nanti sampai rumah aku bangunin ya.”

Percakapan keduanya ketika memasuki mobil, memakai seat belt juga merebahkan sedikit kursi samping pengemudi agar tidurnya sedikit lebih nyaman.

“Namjoon..” panggil Seokjin sedikit mengarah ke samping untuk melihat Namjoon yang sibuk membalas beberapa pesan dari Bunda, berpesan agar tak perlu mampir ke lain tempat, memberi titah supaya Seokjin lekas istirahat.

“Masih jauh, sih. Tapi kita bisa sampai nikah juga nggak, ya?” lanjut Seokjin saat sebelumnya hanya mendapat gumam sebagai jawaban.

“Aku nggak bisa janji apapun, karena janji itu sendiri selalu berdampingan sama ingkar nya.”

“Kamu juga nggak yakin dong?”

“Yakin, sayang. Tapi daripada janji, aku mau kasih cara yang lain biar kamu nggak kepikiran terus.”

“Contohnya?”

“Habis lulus, aku bisa langsung kerja tanpa kuliah kalau kamu mau. Nanti kita rawat tanaman Bunda sama Ayah sampai jadi hutan beneran.”

Lalu gelak tawa keduanya memenuhi percakapan-percakapan selanjutnya dengan Namjoon tak kunjung menyalakan mesin mobil, menanti agar Seokjin terlelap lebih dulu.

Jika di reka ulang kembali, tak banyak yang tahu jika Namjoon telah menaruh hati lebih dulu untuk Seokjin. Sejak pertama kali bertemu di kediaman Yoongi, memerhatikan anak lelaki yang duduk diam menikmati majalah anak-anak edisi terbaru.

Anak kecil memang tak selalu tahu apa itu jatuh cinta, tapi mereka tahu bagaimana meletakkan perasaan bernama sayang pada seseorang.

Namjoon selalu mencari alasan agar dapat menemui sosok yang pertama kali ia lihat, memastikan dirinya manusia atau salah satu jelmaan Tuhan bernama malaikat, sebab sosok elok yang terlalu sempurna.

Meski harus terpisah sementara sebab perkerjaan orangtua, ia tetap selalu memuja sosok Seokjin pada setiap doa juga harapannya. Sederhana. Namjoon hanya ingin lebih dekat dengannya.

Terima kasih pada Yoongi yang selalu memberi kabar soal si pujaan. Pada Hoseok yang selalu menyampaikan salam tak berbentuk kata, bukti gelang manik bewarna hitam nyatanya tak pernah lepas pada pergelangan Seokjin sejak pertama kali ia lihat.

“Kamu satu-satunya, dan akan begitu hingga akhir. Terima kasih.”

Dan kecup hangat pada dahi menjadi saksi, bahwa Seokjin tak pernah benar-benar berada dalam mimpi.

2 0 2 0 [ NAMJIN ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang