Mama Sasti bilang akan mengajak Mayra belanja sore ini sepulang sekolah. Salah satu hal yang mengusir kegabutan Mama adalah dengan belanja. Katanya ini merupakan hadiah karena Mayra menunjukkan sikap kooperatif dalam hal pindah sekolah. Mayra senang. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak nge-mall bersama mamanya. Ia terlalu sering keluar main dengan teman-temannya. Menikmati masa SMA katanya.
“Kamu kan mau sekolah di aliyah. Pasti pas kegiatan kamu pake jilbab. Nanti Mama beliin baju-baju sama jilbab baru.” Mama dan Mayra berjalan menuju mobil. Mereka berdua sudah siap untuk pergi.
Isi lemari pakaian Mayra kebanyakan kaos dan celana. Sedikit dia mempunyai rok, jilbab, apalagi gamis. Mayra punya gamis cuma pas hari raya. Sekarang, dia mengenakan kaus lengan pendek berwarna merah muda dengan celana jeans longgar semata kaki, juga sepatu sneakers. Mayra tidak suka berpakaian neko-neko, ia lebih suka gaya santai.
“Mama tau style hijaber-hijaber gitu, kan?” Mayra curiga mamanya tidak paham soal outfit ala-ala selebgram hijaber. Biarpun Mayra berhijab, tapi dia ingin tetap terlihat swag. Mayra juga tidak yakin jika dia sudah bersekolah di aliyah, apa harus pakai jilbab kalau kemana-mana.
“Ya paham, dong. Nih, Mama udah googling, liat-liat instagram juga.” Mama Sasti menunjukkan layar ponselnya. Biar pun serusia 45 tahun, tapi Mama Sasti tidak ketinggalan mode. “Kamu nggak lihat penampilan mama. Udah kayak Zaskia Mecca.” Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Mama memamerkan penampilannya yang sebenarnya Mayra sudah lihat dari tadi. Tunik warna hijau army, dipadukan celana kain putih, dan gaya hijab pejabat yang ditali ke belakang, sukses membuat Mama Sasti terlihat lebih muda dari usianya. Meskipun begitu, cara bicaranya masih sama, khas ibu-ibu yang doyan ngomelin anak, plus dengan gaya medhok.
“Bentar bentar, masa bajunya ijo, kerudungnya ijo juga, ora cocok kayaknya ya,” kata Mama sambil bercermin di spion mobil. Mama Sasti mempermasalahkan bajunya yang berwarna hijau army dan kerudungnya berwarna hijau muda.
Mayra memutar bola matanya sambil mendesis. Apanya yang nggak cocok, sih, protes Mayra dalam hati. Paling malas kalau kebiasaan mamanya kumat. Setiap mau keluar, Mama terkadang overthinking dengan penampilannya. Ini yang membuat Mayra malas keluar sama Mama Sasti dan lebih senang main sama teman-temannya. “Udah cantik, Mama. Ya ampun,” Kata Mayra jengah.
“Mama mau ganti dulu ah.” Mama lalu ngibrit masuk ke dalam.
Mayra membuang napasnya kasar. “Jangan lama-lama, Ma,” ucapnya dengan malas.
Saat menunggu mamanya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti di depan gerbangnya. Kaca depan turun lalu muncullah sesosok kepala.
“Ngapain lo kesini?!” Mayra buru-buru menghampiri Jovial. Si Jovial malah keluar dari mobil, ia masih memakai seragam. “Gue kan pernah bilang jangan ke rumah gue.”
“Gue cuma pengen ke rumah lo aja, kok.” Jovial menunjukkan senyumannya.
“Terus kalau udah kesini, lo mau apa, ha? Mau apa?” tanya Mayra dengan tangan dilipat di depan dada.
“Emangnya nggak boleh main ke rumah lo?”
“Nggak boleh! Nggak boleh ada cowok ke sini!” kata Mayra berdusta. “Cepetan pergi sebelum nyokap gue tau. Cepet cepet cepet, sana sana,” usir Mayra sambil mendorong Jovial supaya masuk ke mobilnya.
“May, Mayra, Mayra, gue mau ngomong sesuatu," sergah Jovial.
“Ya udah cepet mau ngomong apa," kata Mayra, bola matanya berputar malas.
“Gue nggak akan ngelepasin lo meskipun lo pindah sekolah. Gue akan terus berusaha buat dapetin lo,” ujar Jovial dengan percaya dirinya. “Gue macarin cewek-cewek itu cuma buat pelampiasan gue doang. Gue nggak serius sama mereka. Gue janji, dapetin lo gue tobat, May.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Modus Taaruf Mayra
Teen FictionMayra menyukai Fatih, tetangganya sendiri, entah sejak kapan. Awalnya dia mengalami krisis PD karena dia yakin Fatih si anak baik tidak akan menyukai Mayra si cewek pecicilan. Namun, karena ulah Mayra yang suka bolos, dia dipindahkan oleh orang tuan...