Hari kedua menjadi murid kalem tanpa pecicilan.
Mayra masih diantar-jemput mirip anak SD. Orang tuanya masih ingin memastikan anak mereka tidak berulah dan mempermalukan mereka di sekolah baru. Padahal Mayra sudah menunjukkan sikap kooperatif untuk dipindahkan di MA Al Khawarismi. Dalam semalam ia berubah menjadi anak yang penurut, bisa bangun pagi, dan berangkat sekolah tidak mepet. Saat sudah menjejakkan kaki di sana, ternyata ada banyak hal yang belum Mayra bayangkan. Aisha kemarin sempat bercerita kalau bolos tiga hari selama setengah semester akan langsung ditendang alias dikeluarkan tanpa nego-nego. Jadi rupanya karena ini Mama Sasti dan Papa Winarno memindahkan Mayra disini. Masih banyak peraturan-peraturan lain.
“Jangan digitu-gituin, May,” kata Aisha kemarin saat mereka berdua berjalan menuju masjid untuk solat duhur. Aisha buru-buru membenarkan jilbab Mayra yang ujung depannya diangkat dan ditaruh di atas bahu. Mayra merasa sangat gerah, keringat mengucur deras membasahi lehernya.
“Emangnya kenapa?” tanya Mayra dengan polosnya. Ia merasa hal itu tidak salah karena ia melihat orang-orang berjilbab atau berhijab atau berkerudung entah apa namanya, melakukan hal yang sama. Malah mereka menali kedua ujungnya di belakang.
“Kalau di sini harus menutupi dada,” jelas Aisha.
“Biasanya gue liat hijaber-hijaber juga gitu kok.”
“Iya sih. Tapi perintahnya di surat an-Nisa harus menutupi dada. Intinya nggak boleh kelihatan lekuk tubuh.”
“Oooo gitu ya.” Mayra mengangguk-angguk.
Sesampainya di rumah, Mayra cepat-cepat mandi. Rasanya gerah sekali. Apa orang-orang yang memakai kerudung super panjang seperti mukena atau bahkan yang memakai cadar tidak kegerahan?
Sekarang Mayra sedang menunggu jemputan di depan sekolah. Sudah delapan kali Mayra menghubungi papanya tapi tidak ada jawaban. Kalau Mayra pulang naik ojol nanti papanya terlanjur ke sini, sampai rumah diomelin. Serba salah kalau diantar-jemput begini.
Motor-motor dan sepeda-sepeda yang semula berjubel ingin segera keluar gerbang kini sudah sepi. Hanya ada satu-dua orang yang keluar gerbang. Mereka yang menunggu jemputan seperti Mayra sudah dijemput ojol atau kendaraan pribadi, tinggal Mayra yang berdiri di situ memandangi jalanan sambil berharap mobil papanya segera datang. Lama-lama ia dongkol setengah mati. Sudah tau banyak kerjaan masih kekeh menjemput Mayra. Itulah Papa Winarno.
Dalam kekesalannya, secara tak sengaja Mayra melihat Fatih yang melintas di depannya. Cowok jangkung itu sedang menuntun sepedanya. Bannya terlihat kempes. Tanpa rasa sungkan Mayra menegurnya, “Fatih!”
Fatih langsung menoleh dan mendapati Mayra berdiri di trotoar depan sekolah sambil tersenyum.
“Mau pulang?” tanya Mayra basa-basi.
“Iya nih, May. Tapi sepeda gue kempes, bocor kayaknya.” Fatih melihat ban sepedanya. “Mau gue bawa ke bengkel di situ,” tunjuk Fatih dengan dagunya.
Tiba-tiba sebuah ide brilian melintas di otak Mayra. “Pulangnya bareng gue aja gimana?” Demi apa Mayra berani memberi tawaran kepada Fatih, gebetannya! Ia sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan barusan. Padahal kemarin Mayra masih merasa gugup kalau bicara dengan Fatih.
“Nggak usah, May, nggak pa-pa. Palingan cuma sepuluh menitan nambal bannya.”
“Gue nggak keberatan kok. Dari pada lo kesorean, kan?” Mayra masih berusaha membujuk Fatih. “Gue juga lagi nungguin bokap tapi dari tadi telpon gue nggak diangkat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Modus Taaruf Mayra
Teen FictionMayra menyukai Fatih, tetangganya sendiri, entah sejak kapan. Awalnya dia mengalami krisis PD karena dia yakin Fatih si anak baik tidak akan menyukai Mayra si cewek pecicilan. Namun, karena ulah Mayra yang suka bolos, dia dipindahkan oleh orang tuan...