Salah satu hal yang disukai Mayra di MA Al Khawarismi selain Fatih, adalah gado-gado Bu Min. Pantas kalau murid-murid rela mengantre, apalagi murid cewek yang sedang berhalangan sehingga tidak solat dhuha saat istirahat. Kata Aisha, bumbu kacangnya jos. Manis asinnya pas, kekentalannya pas, dan tidak pelit bumbu. Sayurnya juga banyak macamnya. Untuk memperpendek antrian, para konsumen mengambil sendiri isian gado-gado yang berjejeran di meja panjang. Bu Min hanya perlu menuangkan bumbunya. Mengambilnya juga bebas berapa banyak, tapi harganya tetap.
“Gimana? Enak, kan?” tanya Aisha pada Mayra yang sedang menikmati gado-gado.
Mayra mengangguk dengan mulut penuh salad lokal itu.
Nikmatnya makan gado-gado ini. Selain karena rasany enak, mengambilnya juga butuh perjuangan panjang. Mayra rela mengantri panjang seperti antrian sembako dengan perut yang sedari tadi keroncongan.
“Gilak,” kata Mayra setelah menelan, “ini enak banget. Mo nangis.” Dia menyuapkan kembali sesendok penuh sayur dan potongan telur rebus. Kayak selebgram lagi endorse makanan.
“Biasanya, pas makan siang udah abis,” kata Aisha.
“Pokoknya, gado-gado Bu Min tuh bikin nagih,” kata Dini. Mereka tidak berdua, tapi bertiga dengan Dini, teman dekat Aisha. Dini satu kelas dengan Mayra dan Aisha, orangnya tidak sekalem Aisha dan supel. Mereka bertiga mulai akrab akhir-akhir ini. “Kerupuknya ajib bener.” Dini mengambil kerupuk yang ada di piring, merematnya, lalu menaburkannya di atas gado-gado. Gado-gado tiga piring dilengkapi dengan empat piring kerupuk. Sensasi perpaduan renyah kerupuk, lontong, dan sayur begitu memanjakan lidah.
Suasana kantin pujasera Al Maidah sangat ramai. Kursi-kursi penuh dengan mereka yang belum sarapan atau sekedar beli makanan ringan. Para ibu kantin sedang sibuk melayani pesanan. Beberapa dari mereka berteriak karena tidak sabaran dengan pesanannya yang belum jadi, menambah bising suasana kantin.
“Hai, semua. Sorry ganggu kalian makan.”
Mayra, Aisha, dan Dini kompak menoleh ke arah Jordi yang berdiri di samping meja mereka.
“Kenapa, Jor?” tanya Aisha.
Jordi tidak sendirian. Ia datang bersama seorang murid cewek dengan tangan dilipat di depan. Gayanya mirip orang penting sekolah.
“Gue ada perlu sama Mayra,” ujar Jordi.
Mayra menelan makanannya. “Gue?”
“Soal formulir ekskul yang waktu itu.”
“Ya ampun!” Mayra menepuk jidat, “gue lupa.” Ekspresi Mayra jadi merasa bersalah.
Mayra benar-benar lupa soal formulir ekstrakulikuler yang dikasih Jordi waktu itu. Kertas itu masih tersimpan rapi di dalam tas, belum dibaca, belum diapa-apakan. Bahkan ekstrakulikuler mana yang harus diikutinya, ia belum tau. Untung hari terakhir pengumpulannya masih besok. Jadi Mayra masih mempunyai waktu untuk berpikir.
“Ini yang lo rekomendasiin buat masuk jurnalistik?" celetuk teman Jordi yang entah siapa namanya Mayra tidak tahu. Nada bicaranya terdengar sinis. Ia menatap Mayra dengan tatapan meremehkannya. Seolah Mayra tidak pantas untuk masuk ekskul jurnalistik-jurnalistik itu.
Jordi mengangguk.
“Besok gimana? Besok, kan hari terakhirnya? Gue janji bakal ngasih ke elo,” mohon Mayra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Modus Taaruf Mayra
Teen FictionMayra menyukai Fatih, tetangganya sendiri, entah sejak kapan. Awalnya dia mengalami krisis PD karena dia yakin Fatih si anak baik tidak akan menyukai Mayra si cewek pecicilan. Namun, karena ulah Mayra yang suka bolos, dia dipindahkan oleh orang tuan...