Penawaran Khusus

18 0 0
                                    

              "Waktu istirahat 25 menit. Emang sih agak lama dari sekolah lain, soalnya banyak murid di sini yang sholat dhuha. Jadi waktu istirahatnya lebih lama." Aisha, sekretaris kelas Samawa alias 11 IPA 2 itu sedang menjelaskan mengenai peraturan MA Al Khawarismi di sela-sela pergantian jam.

                Mayra yang duduk tepat di belakangnya mendengarkan dengan seksama sambil mengangguk-angguk. Dalam waktu yang singkat, Mayra merasa nyaman dengan Aisha. Karena keramah-tamahan cewek berkacamata itu, rasa sungkan Mayra lama-lama hilang.

                “Apa bener kalo cewek cowok nggak boleh ngobrol, ya? Terus kalau ketemu guru apa harus salam? Kalau nggak bisa bahasa Arab nggak pa-pa, kan?” Mayra menghujani Aisha dengan pertanyaan.

                Aisha menanggapinya dengan sabar nan kalem. “Oke, gue jawab satu-satu. Jadi sama aja kayak sekolah lain, cewek sama cowok boleh ngobrol. Ya kali nggak boleh.” Keduanya tertawa kecil. Mayra menertawakan pertanyaan konyolnya. Benar juga, masa iya tidak boleh ngobrol. “Tapi,” lanjut Aisha, “harus ada batas-batanya. Nggak boleh pegangan. Sama nggak boleh sok cantik, pokoknya harus biasa aja. Terus kalau ketemu guru cukup senyum atau menundukkan kepala. Dan soal bahasa Arab, karena ini adalah madrasah aliyah, jadi ya harus bisa. Soalnya nanti ada ujian listening, writing, sama conversation pake bahasa Arab.”

                “Aduh gimana, dong. Gue kan belum pernah belajar bahasa Arab,” kata Mayra dengan nada khawatir.

               “Tenang tenang. Nggak susah kok. Gue yakin lo pasti bisa.” Karena Mayra bukan berasal dari sekolah agama, jadi Aisha paham betul kekhawatiran Mayra tentang bahasa Arab. "Lo kalo ada perlu tanya gue aja, May." Cewek berkacamata itu kemudian menghadap ke depan karena guru sudah datang.

                Awalnya Mayra takut tidak punya teman, maklum ini pertama kali dia pindah sekolah. Untung saja ada Aisha yang sangat ramah dan berbaik hati menawarkan bantuan. Dia mengenalkan nama-nama murid di kelas sambil menunjuk mereka satu persatu. Tak ketinggalan pula mengenai tata tertib madrasah, meskipun sebenarnya sudah ada dalam buku acuan madrasah yang didapatkan Mayra saat di ruang kesiswaan sebelum memulai pelajaran. Mulai dari jam masuk sampai pulang, cara berpakaian dan cara bergaul, hingga sistem pembelajarannya.

                Mayra berharap dirinya tidak kesulitan beradaptasi di sini, walau sepertinya tidak mudah. Dari hal yang paling basic, yakni seragam. Ini pertama kalinya Mayra bersekolah memakai jilbab. Mayra tidak bisa memamerkan rambut ombre merahnya karena harus tertutupi. Jilbab putih itu ditempeli bedge yang harusnya ditempel di bagian depan baju. Yakni bendera merah-putih di sebelah kiri serta lambang sekolah dan nama di sebelah kanan. Butuh effort yang besar untuk membentuk jilbab yang rapi dan anti kusut, dilengkapi bumbu-bumbu dramatis dan kehebohan akibat jari Mayra tertusuk jarum. Juga sepatu, harus memakai fantofel, dilarang memakai sneakers. Padahal Mayra paling anti sama yang namanya fantofel karena bikin kaki tidak bebas. Tapi tidak masalah, asalkan dia bisa lebih dekat dengan Fatih, semua halang rintang Mayra terjang. Ehe.

                Penjelasan mengenai madrasah dilanjutkan saat istirahat. Aisha mengajak Mayra untuk solat dhuha di masjid. Entah kapan terakhir kali Mayra solat dhuha, dia tidak ingat. Boro-boro solat sunah, solat wajib saja kadang hanya untuk menggugurkan kewajiban. Diajak kepada kebaikan begini, jiwa kebar-bar-an Mayra bergetar.

                Dalam perjalanan menuju masjid, Aisha tak bosan-bosannya menjelaskan tentang kompleks MA Al Khawarismi. Gayanya mirip seperti tourguide yang menjelaskan bagian-bagian Candi Prambanan.

                “Jadi tuh kalau kita lurus terus belok kanan, itu wilayah kelas sepuluh. Terus lagi wilayah kelas sebelas, terus sebelahnya kelas dua belas. Jadi urut, sepuluh sebelas dua belas.” Aisha menjelaskan dengan tangannya. “Nah, kalau ngiri itu ada lapangan buat olah raga. Ada lapangan basket, futsal, voli, sama tenis. Ruang-ruang ekskul juga di situ, sama kantin juga. Masjidnya masih lurus mentok belok kanan.” Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju masjid. “Kapan-kapan gue ajak keliling, deh.”

Modus Taaruf MayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang