Desa Dukuh Barus tampak sepi, sejak kematian kepala desanya akibat suatu penyakit aneh. Ki Janggir, kepala desa yang malang itu, dihinggapi penyakit yang tak dapat disembuhkan. Seluruh tubuhnya kembung. Kemudian ketika pecah, keluar cairan nanah bercampur darah!
Keadaan seperti ini berlangsung sejak satu bulan belakangan ini. Bahkan disusul kematian beberapa penduduk desa lain. Kebanyakan kematian mereka hampir sama dengan kematian Ki Janggir. Yaitu diserang penyakit aneh yang selama ini belum pernah dikenal.
Ada yang percaya kalau wabah penyakit itu disebabkan oleh kutukan. Akibatnya, sebagian besar penduduk Desa Dukuh Barus mengungsi ke tempat lain. Saat ini, yang tinggal di desa itu hanya para orang tua dan mereka yang tidak mempunyai sanak saudara di tempat lain, serta orang-orang yang berada di bawah lindungan Nyai Dukun Sirah.
Wanita tua itu adalah dukun sakti yang telah banyak membantu para penderita penyakit aneh. Orang-orang berlindung dibawah ketiak Nyai Dukun Sirah inilah yang senantiasa membujuk penduduk lain, agar tidak perlu mengungsi.
"Nyai Dukun Sirah orangnya baik, Kang Suminta. Lagi pula di bawah lindungannya kita akan aman!" tegas seorang pemuda, meyakinkan sebuah keluarga yang hendak meninggalkan desa ini.
Seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun kepala keluarga di rumah ini yang dipanggil Suminta kelihatan mendengus sinis. Sudah banyak cerita yang didengarnya tentang wanita tua itu. Dan kebanyakan, adalah cerita buruk.
"Gondo! Kau masih termasuk saudaraku. Jangan kau bujuk aku untuk mendukung wanita gila itu! Dia penipu! Mungkin, dialah sebenarnya yang menyebarkan penyakit didesa kita ini. Lalu dengan cara menyembuhkan orang-orang yang sakit, wanita tua itu mengeruk harta mereka sampai ludes!" tegas Suminta.
"Jangan berkata begitu, Kang Suminta! Nyai Dukun Sirah punya seribu telinga. Kalau dia mendengar, kau akan celaka sendiri!" ujar laki laki bernama Gondo.
"Huh! Aku tidak takut! Desa ini sudah seperti neraka. Semua orang pergi mengungsi. Untuk apa aku berlama-lama di sini?!" dengus Suminta.
"Apakah kau tidak kasihan pada Jumadi putramu itu? Dia tengah sakit. Jangan-jangan...," tukas Gondo.
"Apa?! Kau ingin mengatakan anakku akan mati bila aku tidak datang memohon pertolongan wanita sial itu?!" cibir Suminta dengan mata melotot garang.
"Aku tidak berkata begitu. Tapi...," desah Gondo, terputus.
"Sudah! Lebih baik kau angkat kaki dari rumahku! Kau sama saja dengan yang lain. Menjadi budak penyihir gila itu! Pergi! Ayo, cepat pergi!" bentak Suminta garang.
Melihat gelagat yang tidak baik, Gondo segera angkat kaki. "Aku hanya memperingatkanmu. Tapi bila kau tidak percaya, maka boleh tanggung sendiri akibatnya."
Pemuda itu masih sempat memperingatkan Suminta, ketika tubuhnya telah rnenghilang dibalik pintu.
"Phuih! Aku tidak butuh nasihatmu!" dengus Suminta, kesal.
Sepeninggal Gondo, seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun tergopoh-gopoh menghampiri Suminta dari belakang. Wajahnya kelihatan pucat dan bibirnya gemetar.
"Jumadi...! Jumadi anak kita, Kang. Dia.., dia...?!" kata wanita yang rupanya istri Suminta, terbata-bata. Ditariknya lengan suaminya agar buru-buru mengikuti ke kamar belakang.
"Ada apa dengan Jumadi, Warsih?!" tanya Suminta, kaget.
"Dia muntah-muntah dan mengeluarkan darah!" kata wanita itu.
"Apa?!" Suminta terlonjak kaget. Segera dia menghambur ke kamar putranya.
Warsih tidak dapat menahan diri. Begitu masuk kamar, dia langsung menangis tersedu-sedu sambil memegangi sebelah tangan bocah laki-laki berusia delapan tahun yang terbaring di tempat tidur.
Bocah bernama Jumadi itu tampak menggelepar sambil menggerung-gerung kesakitan. Tubuhnya penuh keringat. Kulitnya pucat dan menggembung. Suminta berusaha sekuat tenaga menenangkan putranya dengan segala macam cara. Namun bocah kecil ini tidak juga kunjung diam. Dia malah berteriak-teriak, merasakan sakit yang hebat. Jumadi melenguh panjang dengan tubuh kejang, lalu lunglai tak bergerak-gerak lagi.
Warsih kontan memekik, seraya memeluk tubuh putranya. Tangisnya berderai tidak tertahankan. Sementara, Suminta hanya bisa menunduk lesu dengan wajah penuh duka. Putranya telah meninggal di hadapannya. Dan dia tidak mampu berbuat apa pun untuk menolong!***
Setelah kematian anak Suminta, keadaan Desa Dukuh Barus semakin kisruh. Suminta yang menjadi ketua desa ini, berusaha menenangkan orang-orang yang mulai resah oleh ganasnya wabah penyakit. Di samping itu, kehadiran Nyai Dukun Sirah mampu mengobati mereka yang menderita penyakit, menjadikannya sebagai wanita tua yang memiliki pengaruh hebat.
Orang-orang mulai berdatangan kepadanya dan menaruh hormat. Tapi secara tidak sadar mereka masuk ke dalam jerat, karena Nyai Dukun Sirah meminta bayaran tinggi. Sehingga tidak jarang, penduduk desa ini terpaksa harus menjual hewan ternak. Bahkan menggadaikan sawah ladangnya.
Munculnya pengikut Nyai Dukun Sirah yang terus bertambah, juga semakin membuat resah. Pada mulanya, mereka terdiri dari orang-orang desa ini. Tapi lambat laun, pengikutnya sama sekali bukan penduduk desa ini. Mereka berbuat sewenang-wenang, dengan merampas apa saja yang dimiliki keluarga si penderita yang berobat pada Nyai Dukun Sirah, yang tidak mampu bayar.
Tentu saja hal ini menimbulkan ketidaksenangan penduduk lain. Namun mereka tidak berani berontak. Sebab siapa saja yang ketahuan menentang Nyai Dukun Sirah, bisa dipastikan nyawanya tidak akan selamat. Sehingga secara diam-diam, banyak penduduk desa ini yang mengungsi.
Sementara di rumah Suminta sendiri, suasana semakin bertambah panas saja. Rupanya, kematian anaknya yang bernama Jumadi, membuat Suminta terus memikirkannya. Apalagi, setelah diyakini kalau Nyai Dukun Sirahlah otak semua ini.
"Keparat! Aku akan buat perhitungan pada iblis durjana itu!" dengus Suminta, geram.
"Kang, mau ke mana?! Kang Suminta!" teriak Warsih kaget, melihat suaminya keluar dari kamar ini dengan langkah lebar-lebar.
Wanita itu seperti bisa menduga apa yang akan dilakukan suaminya. Makanya, dia segera mengejar. Dan dugaannya memang benar. Suminta tampak menyambar golok yang terselip di dinding ruangan tengah, lalu bergegas keluar rumah.
Warsih terus berusaha mengejar. Dan dia bermaksud mencegah niatnya sambil menjerit- jerit dengan suara cemas. Namun Suminta yang telah di bakar amarah tidak mempedulikannya lagi. Tujuannya sudah bulat seperti tekad di hatinya. Nyai Dukun Sirah harus mampus di ujung goloknya, demi membayar nyawa putranya!
Suminta tiba di halaman depan rumah Ki Janggir, yang kini ditempati Nyai Dukun Sirah, sejak kematian kepala desa itu.
"Nyai Dukun Sirah! Keluar kau! Wanita iblis, keluar! Kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu atas kematian anakku! Keluaaarrr...!"
Dari dalam rumah, tak lama berlompatan beberapa sosok pemuda anak buah Nyai Dukun Sirah menyambut kedatangannya.
"Mau apa kalian?! Minggir! Aku hanya berurusan dengan setan betina itu. Minggir kataku!" gertak Suminta, garang.
"Urusan dengan Nyai Dukun Sirah, adalah urusan kami juga. Kang Suminta! Jangan cari gara-gara. Pulanglah segera!" sahut salah seorang.
"Bukankah kau Sitok, anak Ki Sadin? Heh?! Jangan coba halangi aku! Wanita iblis itu telah membunuh anakku. Suruh dia keluar! Akan kucincang tubuhnya!"
Setelah berkata begitu, Suminta langsung menghambur hendak memasuki rumah itu. Namun para penghadangnya telah membuat pagar betis.
"Kang Suminta! Pulanglah! Dan jangan cari keributan!" teriak pemuda bernama Sitok kembali. Nadanya kali ini lebih keras.
"Kurang ajar! Kiranya kau sama saja dengan iblis wanita itu! Ayo! Siapa yang berani menghalangiku, boleh mampus di ujung golok ini!" geram Suminta sambil mengayun-ayunkan golok di tangannya.
Tindakan Suminta ternyata tidak membuat para penghadang menjadi takut. Mereka malah semakin kesal dan gusar.
"Kurang ajar! Dikasih hati malah minta jantung. Bunuh saja!" dengus salah seorang penghadang Suminta.
Kata-kata itu seperti sebuah aba-aba. Dengan tiba-tiba, mereka menyerang. Dan hanya dalam sekejap, Suminta mulai keteter.
Kemampuan ilmu olah kanuragan Suminta memang sangat rendah. Sedang saat ini, para pengeroyok seperti kesurupan setan. Mereka tidak peduli pada Suminta yang makin terdesak.
Cras!
"Akh...!"
Suminta memekik kesakitan, begitu sebuah senjata merobek perutnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perut. Namun sesaat kemudian, dua kali bacokan golok menyambar pinggang dan dadanya. Sekali lagi, Suminta menjerit panjang. Dia berusaha berdiri. Namun darah yang mengucur deras, membuat keseimbangan tubuhnya mulai goyah.
"Kaaang...!" Sementara itu Warsih yang persis tiba di tempat ini kontan menjerit kaget melihat keadaan suaminya. Wanita itu menghambur, dan langsung memeluk suaminya sambil menangis keras. Tubuhnya ikut bersimbah darah. Suminta yang tersungkur ke tanah. Masih sempat Suminta berkata lirih. Namun suaranya tercekat dikerongkongan. Lalu tubuhnya mengejang, dan nyawanya melayang. Warsih kembali menjerit menyayat.
Pada saat itu di pintu depan berdiri seorang wanita tua berbaju hitam dekil. Tangannya memegang tongkat yang ujungnya terdapat sebuah tengkorak kepala manusia. Di bawah tengkorak, bergantung lonceng kecil berjumlah tujuh buah. Bibirnya menyungging senyum.
"Bawa wanita itu ke dalam..." ujar wanita tua itu, pada para pemuda yang mengeroyok Suminta.
"Baik, Nyai...!"
Para pemuda anak buah wanita tua itu segera memberi perintah lagi pada kawannya. Maka tiga orang pemuda lain bergerak menghampiri Warsih seraya mencekal kedua tangannya. Warsih berusaha berontak sambil memaki-maki geram. Namun ketiga pemuda itu sama sekali tidak peduli. Dengan kasar mereka membawa Warsih ke dalam lewat pintu samping.
KAMU SEDANG MEMBACA
153. Pendekar Rajawali Sakti : Pemuas Nafsu Iblis
ActionSerial ke 153. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.