BAGIAN 5

196 13 0
                                    

"Jadi, kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Badin, berusaha meyakini.
"Ya...," sahut Rangga sambil mengangguk.
"Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi?"
"Rasanya itu terlalu berlebihan." sahut Rangga, merendah.
"Lantas, bagaimana kau sampai berada diwilayah kekuasaan Ki Jembor?" tanya Badin.
"Aku sebenarnya tertarik dengan cerita orang, yang mengatakan kalau di daerah ini terjadi wabah penyakit. Kemudian aku mencoba mencari keterangan, sampai akhirnya ditawan oleh Ki Jembor. Sengaja aku tak melawan, agar mudah memperoleh keterangan," jelas Rangga.
Namun Badin diam saja. Dan dia tersenyum pahit. "Dan ternyata, aku mendapat kepastian darimu, kalau wabah penyakit dan segala malapetaka yang terjadi di desa ini adalah ulah wanita yang kau sebut Nyai Dukun Sirah," lanjut Rangga.
"Apakah kau sungguh-sungguh hendak membantuku melawan Nyai Dukun Sirah?" tanya Badin ingin memastikan.
Rangga mengangguk
Badin kembali tersenyum. "Ketika kulihat mereka membawamu, kukira kau adalah kawan-kawan mereka. Tapi aku penasaran. Dan kuikuti kalian. Belakangan baru kuketahui kalau mereka ingin memperdayaimu. Kemudian kucari akal untuk mengalihkan perhatian mereka...," jelas Badin seperti bicara pada diri sendiri.
"Jadi kau yang membuat kekacauan itu?"
"Ya. Kubakar ruangan dapur. Lalu aku bergerak ke atas, bermaksud membebaskanmu. Sepanjang hidupku rasanya itulah perbuatanku yang paling hebat. Tapi nyatanya, kulihat kau sebenarnya mampu membebaskan diri sendiri."
"Tidak usah terlalu dipikirkan. Aku sebenarnya hanya berpura-pura saat hendak diperdaya. Aku memang sudah curiga. Maka kuputuskan untuk membiarkan diriku tertawan."
Badin kembali tersenyum pahit. Ada satu ganjalan yang masih tertahan di lubuk hatinya. Terutama ketika dirinya dituduh pengecut oleh Marni, kekasihnya.
"Ada suatu kenyataan yang begitu pahit kurasakan. Sehingga aku tidak punya keberanian untuk menolongnya...," tiba-tiba Badin bergumam.
"Siapa yang kau maksud?"
"Marni, kekasihku. Dia ditangkap oleh anak buah Nyai Dukun Sirah. Sampai sekarang, jeritannya masih terngiang. Sehingga membuat hatiku pilu. Aku memang pengecut, dan sama sekali tidak berguna!" desis Badin geram. Kembali tangannya menghantam dinding gubuk ini untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
"Kita masih bisa menyelamatkannya, Badin," sahut Rangga hendak menggugah semangat kawan barunya.
Badin tersenyum pahit mendengar kata-kata itu. "Peristiwa itu terjadi kira-kira dua minggu lalu. Saat ini aku tidak tahu, apakah Marni masih hidup atau tidak. Oh! Seandainya pun dia hidup, tentu amat menderita! Anak buah Nyai Dukun Sirah pasti mempermainkannya setiap saat! Bajingan...!" Badin kembali menggeram.
"Kita akan mencari tahu, apakah Marni masih hidup atau tidak. Aku akan membantumu!" tegas Rangga.
"Betulkah...?" Badin memandang pemuda itu sejurus lamanya dengan wajah penuh harap.
Rangga mengangguk mantap. Namun wajah Badin yang mulai berseri kembali redup. Bahkan berganti dengan kedukaan.
"Kenapa? Kau tidak suka kita mencari tahu keadaan Marni?"
"Selama ini, aku berkeliaran seorang diri. Dan sejauh ini pula, kuketahui bahwa anak buah Nyai Dukun Sirah amat rakus dan biadab. Mereka mempermainkan seorang wanita seenaknya saja. Bahkan menggilirnya satu persatu, kemudian dijadikan sebagai pemuas nafsu iblis!" jelas Badin dengan wajah geram.
"Biadab! Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal!" desis Rangga ikut-ikutan geram.
Mereka terdiam sejenak. Di luar, udara pagi mulai merasuk ke dalam gubuk sejak tadi. Namun kini tidak sedingin tadi, sejak di ufuk timur matahari mulai muncul. Suara burung pun berkicau mulai riuh terdengar.
"Bagaimana cara kita mencari tahu soal Marni?" tanya Badin.
"Kita akan memaksa Ki Jembor, atau siapa pun yang berada di sana untuk memberitahukannya!" sahut Rangga tersenyum.
"Jadi, kita ke tempat Ki Jembor lebih dulu?"
"Ya!"
"Dengan kejadian tadi, anak buahnya tentu akan melapor. Dan setelah mendengar namamu, tentu Ki Jembor akan mengirim urusan untuk memberitahukan Nyai Dukun Sirah...."
"Tidak apa-apa. Nah, kita berangkat sekarang!" ujar Rangga.
Rangga bangkit. Dan Badin segera mengikuti. Langkahnya terasa ringan. Isi dadanya seperti mau meledak oleh semangat untuk menumpahkan sakit hati serta dendam yang selama ini dipendamnya.

***

Warga Desa Dukuh Barus yang tidak mengungsi mulai terlihat satu persatu. Dan itu pun hanya para pemuda serta laki-laki yang hendak ke sawah dan ladang masing-masing. Sedang para wanita dan anak-anak lebih banyak mengurung diri di rumah masing-masing.
Tidak seperti biasanya, hari ini anak buah Ki Jembor tidak berkeliling desa untuk menarik upeti, atau mencari gara-gara pada penduduk. Namun begitu, Rangga dan Badin tetap menghindari jalan-jalan desa. Mereka menempuh jalan di pinggiran hutan, lalu menuju sebuah rumah panggung berukuran besar dan sangat bagus terbuat dari kayu dan papan yang di sana-sini terdapat ukiran indah.
Rumah ini semula milik kepala desa. Namun sejak kedatangan Ki Jembor serta anak buahnya, rumah ini diambil alih. Kepala desa itu mati dibunuh. Sedang para pembantunya kabur entah ke mana ketika kerusuhan terjadi. Rangga manggut-manggut mendengar penjelasan Badin sepanjang perjalanan ke tempat ini.
"Agaknya kau sudah lama berada di sini?"
"Hanya disini aku bisa leluasa bersembunyi dari intaian kaki tangan dukun wanita itu. Ki Jembor itu tolol. Kepandaiannya paling lemah dibanding anak buah Nyai Dukun Sirah yang lain..."
"Kalau begitu, mereka telah mengetahui kehadiranmu sampai kau harus dikejar-kejar?"
"Aku pernah membunuh beberapa orang anak buahnya. Kebetulan, saat mereka berjalan berdua atau seorang. Selama ini telah lima orang yang binasa di tanganku!" jelas Badin.
"Nah! Bukankah itu menunjukkan kalau sebenarnya kau bukan pengecut?"
Badin tersenyum lebar. "Tapi mereka kujatuhkan secara tidak jujur."
"Bagaimana caranya?"
"Aku mengendap-endap dari belakang. Kudekati salah seorang, lalu kupukul dari belakang sampai tulang lehernya patah. Dan ketika yang seorang lagi menoleh, kuhantam lagi dadanya dengan balok kayu besar sampai roboh. Atau kadang kadang ke kepala mereka kuhujamkan batu besar...," jelas Badin.
Rangga tersenyum mendengar cerita kawan barunya. "Kenapa kau merasa itu tidak jujur? Dalam perjuangan membela kebenaran, maka segala cara yang kira-kira memungkinkan boleh dilakukan."
"Hanya sayang, tujuan semulaku bukan membela yang benar. Tapi, balas dendam karena mereka mempermainkan Marni. Mereka memperlakukan Marni sesuka hatinya. Mereka...." Badin tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah, Sobat. Kau akan mendapat kesempatan untuk mencari Marni. Kalaupun tidak, kita telah berjuang membela yang benar...," bujuk Rangga.
Badin tidak langsung merasa tenang. Dia masih diam, tidak menyahut. Sejurus lamanya, baru kepalanya berpaling. Wajahnya masih murung, namun menurut saja ketika Rangga mengajaknya terus berjalan mendekata tempat yang dituju.
Bekas rumah kepala desa itu dijaga ketat dan berlapis-lapis. Tujuh orang berdiri di halaman depan dengan mata tajam memandang kesekelilingnya. Masing-masing lima orang di kiri dan kanan juga ikut berjaga-jaga. Empat orang lain berada di atap rumah. Dan tidak kurang jumlahnya yang berjaga di beranda depan.
"Bagaimana...?" tanya Badin seraya ikut bersembunyi di balik semak-semak.
Rangga berpikir sejenak. Matanya terarah pada kandang kuda yang berada di sebelah kiri rumah itu. Wajahnya berseri, ketika melihat kuda hitamnya masih berada di tempat itu.
"Suiiit..!"
"Hiiieee...!"
Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Serentak, kuda hitam bernama Dewa Bayu yang berada di kandang meringkik keras seraya menyentak tali kekang yang melilit di salah satu balok. Kedua kakinya terangkat tinggi. Lalu tubuhnya berbalik, dan menendang pintu kandang dengan kedua kaki belakang.
"Heh?! Apa itu...?!"
Mereka yang berada di tempat itu terkejut, segera mengalihkan perhatian ke kandang kuda.
Dewa Bayu sendiri keluar dari kandang sambil meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya berkali-kali. Kemudian hewan itu lari dan berputar-putar di sekitar halaman tempat ini.
Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Rangga. Tubuhnya berkelebat cepat, dan menyelinap lewat samping kanan. Lalu dia melompat ke atap, langsung melumpuhkan salah seorang penjaga tanpa menimbulkan suara yang berarti. Sementara Rangga berusaha menerobos ke dalam, Badin memperhatikan dari tempatnya semula tanpa beranjak.
Para penjaga rumah itu, berusaha menjinakkan Dewa Bayu, namun tidak berhasil. Hewan itu malah semakin liar sambil mendengus-dengus garang. Bahkan beberapa kali menendang lewat kedua kaki belakangnya, atau juga mengangkat kedua kaki depan sambil meringkik keras.
Keributan itu menarik perhatian Ki Jembor. Dengan diikuti dua orang anak buahnya, dia bergegas keluar. Namun baru saja keluar dari pintu, sesosok tubuh pemuda berbaju rompi putih telah mencegatnya.
"Eee...!" Ki Jembor terkejut Darahnya kontan tersirap ketika mengetahui siapa orang yang menghadangnya.
"Kita bertemu lagi, Ki Jembor! Mudah-mudahan kau tidak cepat lupa padaku..!" ujar pemuda itu sambil tersenyum kecil.
"Kurang ajar! Ringkus dia...!" sentak Ki Jembor geram. Tanpa pikir panjang lagi, dia memberi perintah pada dua orang anak buahnya.
"Yeaaa!"
Srang!
Bet! Bet!
Kedua orang itu segera mencabut golok, langsung menyerang. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah bergerak lincah menghindan serangan. Tubuhnya melejit keatas sambil berjumpalitan. Dan bersamaan dengan itu, dicengkeramnya kedua pergelangan tangan lawan-lawannya yang menggenggam golok.
Cras! Bret!
"Aaa...!"
Senjata di tangan anak buah Ki Jembor saling menyambar satu sama lain masing-masing kearah leher dan perut mereka sendiri. Tidak cukup sampai di situ. Kedua kaki pemuda berbaju rompi putih ini terus menghantam dada mereka. Kedua orang itu terjungkal roboh seraya memekik kesakitan.
Mendengar keributan itu, mereka yang berada diluar segera mengalihkan perhatian. Sementara mereka berbondong-bondong kedalam untuk melihat keadaan majikannya.
Set! Wut!
Pemuda berbaju rompi yang tidak lain Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti, tersenyum sinis melihat anak buah Ki Jembor menyerbu ke arahnya. Dua bilah golok yang tergeletak dilantai, dihantam dengan sebelah kaki. Seketika, golok itu melayang menyambar dua orang lawan yang berada paling depan.
Creb!
"Aaa...!"
Kedua orang itu tersungkur ke depan. Golok di genggaman mereka terpental ke arah si Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga tidak menyia-nyiakannya. Kakinya kembali menghantam. Maka kedua golok itu melayang hampir bersamaan.
Crap!
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan panjang. Dua lawan lainnya kembali tersungkur dengan golok tertancap di dada.
Melihat itu, Ki Jembor tidak tinggal diam. Kemampuannya dikerahkan sekuat tenaga. Lalu dihantamnya Pendekar Rajawali Sakti dengan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
"Heaaa...!"
Rangga terkesiap, namun masih mampu menghindari hantaman dengan melompat ke samping dan terus bergulingan.
"Hup!"
Jder!
Sehingga pukulan Ki Jembor luput dari sasaran, dan hanya menghantam dinding hingga jebol.
"Yaaat!"
Ki Jembor langsung melompat mengejar, setelah mencabut goloknya. Dia mendesak Rangga dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Bet!
Rangga melompat ke samping. Lalu tubuhnya kembali melejit ke atas saat beberapa orang anak buah Ki Jembor menyergapnya. Setelah berjumpalitan beberapa kali, Rangga mulai balas menyerang dengan satu tendangan dari belakang.
Des!
"Ugkh...!"
Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke depan. Namun begitu, Rangga berhasil merampas goloknya sebelum ikut terjatuh. Dan dengan senjata itu, ditangkisnya golok lawan yang hendak menebas lehernya dari depan serta samping kiri dan kanan.
Trang! Bret!
"Aaa...!"
Golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambar perut ketiga lawannya. Mereka terjungkal dengan luka menganga lebar. Rangga tidak berhenti sampai disitu. Dia terus mengamuk hebat, menghajar siapa saja yang berada di dekatnya.
Bret! Cras!
"Aaa...!"
"Kurang ajar! Kau akan mampus di tanganku, Keparat!" geram Ki Jembor geram melihat anak buahnya satu persatu dibabat Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah.
"Huh!" Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus dingin.
Trang!
Golok ditangan Rangga kembali menangkis senjata Ki Jembor. Dan bersamaan dengan itu, sebelah kakinya menghantam perut Ki Jembor menghindar dengan gesit. Tubuhnya bergerak kesamping, lalu berputar. Segera dia balas menyerang sambil menyabetkan golok ke perut. Namun Pendekar Rajawali Sakti keburu melompat keatas. Bahkan telah siap melakukan tendangan kilat kebatok kepala.
Wuuut!
"Uhhh...!"
Ki Jembor cepat-cepat menjatuhkan diri, sehingga luput dari serangan. Namun begitu jantungnya sempat berdegup kencang. Wajahnya tampak pucat karena tidak mengira kalau pemuda itu mampu melakukan tendangan begitu cepat.
"Yeaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti melayang meski tendangannya luput dari sasaran, namun telapak kakinya cepat menjejak di dinding. Seketika tenaga dorongan itu digunakan untuk kembali berputar, lalu melakukan tendangan kembali saat Ki Jembor baru saja bangkit. Maka....
Des!
"Akh...!" Ki Jembor tak mampu mengelak. Pelipisnya langsung terjahar telak. Orang itu terhuyung-huyung kesamping sambil mendekap pelipis kirinya.
"Heaaa!"
Anak buah Ki Jembor tentu saja tidak membiarkan begitu saja melihat majikan mereka celaka.
Set! Set!
Tap!
Beberapa bilah golok langsung melayang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga mampu berkelit, meski dengan susah payah karena ruangan yang sempit. Tiga bilah golok berhasil ditangkap dan dua buah kembali ke arah para pengeroyoknya. Akibatnya...
"Aaa...!"
Dua orang yang paling dekat dengan Rangga memekik setinggi langit dan ambruk dengan golok tertancap di dada.
"Hiiih!" Golok ketiga dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti ke arah Ki Jembor sambil mendengus geram. Ki Jembor cepat menangkis gesit.
Trang!
"Yeaaa...!"
Bersamaan dengan itu, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat kearah Ki Jembor, melakukan serangan gencar.
Trang!
Satu sambaran golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti berhasil ditangkis Ki Jembor. Namun pemuda itu langsung melanjutkan dengan sodokan keras lewat tendangan kaki kanan ke arah ulu hati.
Duk!
"Akh...!" Ki Jembor mengeluh tertahan dengan wajah berkerut menahan rasa sakit hebat.
"Hup!"
Rangga cepat melompat ke atas melewati kepalanya Ki Jembor masih berusaha menghalangi dengan ayunan golok. Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti menangkis.
Plak!
Dan tiba-tiba Rangga menangkap pergelangan tangan Ki Jembor, langsung menelikungnya ke belakang. Bahkan golok ditangannya cepat bergerak mengancam leher Ki Jembor.
"Siapa yang berani maju, maka kepala majikan kalian ini menggelinding!" bentak Pendekar Rajawali Sakti mengancam anak buah Ki Jembor yang bergerak hendak mengancamnya.
Wajah Ki Jembor tampak pucat ketakutan. Keringat dingin mulai membasahi tubuh. Golok di tangan pemuda itu telah menempel di leher. Sedikit saja bergerak, maka putuslah lehernya!

***

153. Pendekar Rajawali Sakti : Pemuas Nafsu IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang