Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun bangkit, langsung meraih cangkulnya. Lalu ditinggalkannya tempat ini dengan langkah gontai tersaruk-saruk, setelah seharian bekerja di sawah. Pemuda itu dikenal bernama Badin.
Kini pemuda itu mendaki sedikit pada dataran yang agak tinggi. Di situ terdapat hutan kecil yang biasa dilalui penduduk desa untuk ke sawah. Rumahnya agak ke pinggir. Sehingga bila melewati jalan biasa, akan memakan waktu lama dan berputar, maka diputuskannya untuk mengambil jalan memotong.
Dia berbelok ke kanan. Dan di sini, pepohonan lebih lebat dan semak belukarnya pun lebih banyak. Sesaat tengkuknya merinding ngeri dan bulu kuduknya berdiri. Menurut cerita orang kampung, tempat ini banyak dihuni makhluk halus.
Tapi hari belum terlalu gelap. Dan mungkin setan-setan itu masih enggan keluar dari sarangnya. Lagi pula, di ujung hutan ini terdapat sebuah desa yang cukup ramai, yaitu Desa Dukuh Barus. Dia tinggal berbelok ke kiri sekali lagi, dan tidak lama akan sampai di rumah.
Duk!
"Uh, sial! Apa ini...?" gerutu Badin kesal, ketika kakinya tersandung sesuatu.
Dia mengamati dengan seksama. Dan seketika wajahnya tampak kaget. Pemuda itu coba memastikan. Digulirnya sesosok tubuh yang tertelungkup di dekatnya.
"Astaga! Apa yang terjadi dengannya?! Kenapa orang ini bisa berada di sini?!" seru Badin kaget.
Tidak terasa, bulu kuduk pemuda itu kembali meremang. Darahnya tersirap deras, serta jantungnya berdegup kencang. Sesaat kepalanya celingukan memandang keadaan di sekelilingnya.
Ketakutannya yang semula berusaha ditepis, kini semakin menjadi-jadi. Di depannya tergeletak sesosok mayat wanita yang seluruh kulitnya menggelembung. Bahkan sebagian telah meletus mengeluarkan nanah bercampur darah yang menebar bau tidak sedap. Pikiran pemuda itu berkecamuk, dan menduga yang bukan-bukan.
"Apakah ini perbuatan penunggu hutan...?" tanya Badin dalam hati.
Kakinya tersurut mudur ke belakang. Lalu dengan cepat dia memutuskan untuk kembali ke jalan yang biasa dilalui dengan berlan-lari kencang sambil berteriak-teriak.
"Tolong...! Tolooong...!"
Suara pemuda itu bergema. Sementara ketakutan hebat terus bergolak di hatinya. Beberapa kali kakinya tersandung akar pohon, namun tidak dipedulikannya. Dia terus kabur tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun begitu mendekati perkampungan penduduk, hatinya tercekat. Seketika larinya dihentikan. Di depan sana, terdengar jeritan yang sama. Bahkan lebih memilukan hati. Beberapa orang kabur. Sementara yang lain mengejar. Ada jerit tangis anak-anak yang tercampur jeritan dan pekikan kematian wanita.
Pemuda itu bersembunyi di balik pohon besar, mengamati dengan seksama. "Oh! Apa yang terjadi! Apakah mereka kawanan perampok...?" gumam Badin dengan napas tersengal.
Jeritan itu semakin membuatnya pilu. Namun pemuda ini tidak mampu berbuat apa-apa. Semangatnya semakin ciut melihat pemandangan yang terjadi di depannya.
Namun dengan tiba-tiba Badin tercekat. Tampak seorang wanita muda tengah diseret-seret oleh tiga orang pemuda lain sambil terkekeh-kekeh kegirangan. Wanita muda itu berusaha meronta. Namun ketiga pemuda itu mencengkeramnya kuat-kuat. Dua orang memegang kedua tangannya, sementara yang seorang memeluknya dari belakang. Wajah Badin yang bersembunyi di balik pohon itu berkerut menahan geram. Api amarah memercik dalam hatinya. Dan tanpa sadar, dia mendengus kasar.
"Kurang ajar! Apa yang mereka lakukan terhadap Marni...?!"
Tanpa sadar, pemuda itu melompat seraya mengayunkan cangkul. "Bangsat terkutuk! Mampuslah kalian semua...!"
"Heh?!"
Ketiga pemuda yang tengah menyeret wanita itu terkejut mendengar teriakan seseorang. Namun mereka cepat bergerak menghindar, melihat serangan. Bahkan mereka langsung mencabut golok yang terselip dipinggang.
"Setan alas! Mau cari mampus dia rupanya!" desis salah seorang dari ketiga pemuda itu.
Mereka terpaksa melepaskan cengkeramannya pada gadis yang dipanggil Marni. Kini, pemuda itu langsung mencengkeram tangan gadis ini.
"Kang Badin! Oh, syukurlah kau cepat datang...!" seru Marni dengan wajah gembira seraya memeluk Badin yang telah menolongnya.
"Marni, awas! Jangan jauh-jauh dariku!" ujar Badin memperingatkan.
Badin melepaskan pelukan Marni, ketika melihat ketiga pemuda itu telah melompat menyerang. Namun Badin cepat mengibaskan tangannya, untuk menangkis.
Trak! Trak!
"Yeaaa...!" Begitu habis terjadi benturan senjata. Badin balas menyerang. Cangkul di tangannya berubah menjadi senjata yang mematikan. Dan membuat ketiga pemuda pengeroyoknya bertambah geram dan penasaran
"Kurang ajar! Lebih baik kau menyerang, Keparat! Kalau tidak, kau akan celaka sendiri!" desis salah seorang pemuda yang bercelana pendek dengan wajah berkerut geram.
"Huh! Aku tidak takut pada kalian! Siapa pun yang coba menyentuh kekasihku, dia harus mampus di tanganku!" balas Badin tidak kalah geram.
"Hm... Jadi, gadis itu kekasihmu? Bagus! Kami akan merebutnya. Dan akan kau lihat pemandangan mengasyikkan di depan matamu, setelah kau sekarat!"
"Langkahi dulu mayatku, bila kalian hendak berbuat tidak senonoh padanya!" dengus Badin.
"Baik! Kau boleh mampus sekarang!"
Setelah itu, pemuda bercelana pendek ini memberi isyarat pada kedua kawannya. Dan kini, mereka segera merubah siasat. Ketiganya mengitari Badin yang telah bersiap menyambut dengan cangkul.
Marni yang berada di belakang Badin mulai kecut hatinya. Wajahnya tampak pucat. Dalam pandangannya, ketiga pemuda itu tidak beda dengan hewan-hewan buas yang siap menerkam mangsa.
"Yeaaa...!"
Dua orang menerkam disertai bentakan nyaring. Yang seorang dari depan, dan seorang lagi dari samping kanan. Sementara orang ketiga berusaha meringkus Marni.
"Setan!" maki Badin. Pemuda itu memegang cangkul dengan kedua tangan, lalu menangkis serangan yang datang dari kanan. Tubuhnya langsung berputar setengah lingkaran ke kiri dengan tubuh membungkuk sedikit. Langsung disabetnya salah seorang lawan dengan mata cangkul.
Trak! Tak!
Dua orang yang mengeroyok tersentak. Golok mereka nyaris terpental dihantam cangkul Badin. Rencana mereka gagal, sebab Badin mengetahuinya. Sehingga dia lebih merapatkan diri pada Marni. Bahkan ketika seorang lawan yang berada di sebelah kanan berusaha mencuri kesempatan untuk menarik Marni, ujung cangkulnya menyodok ke perut.
Des!
"Akh...!" Orang itu menjerit kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang.
"Heh?!"
"Hiiih!"
Kedua pengeroyok tercekat. Dan Badin tidak menyia-nyiakan kesempatan di saat mereka lengah. Ujung cangkulnya cepat menghajar keduanya sekaligus. Yang seorang cepat mengelak dengan melompat ke belakang. Namun yang seorang lagi bernasib sial. Karena...
Krak!
"Aaakh...!" Cangkul Badin telah menyerempet dada orang itu, dan merobek kulit tubuhnya. Orang itu memekik setinggi langit. Beberapa tulang rusuknya patah. Darah tampak mengucur deras ketika tubuhnya terjungkal ke belakang, dan langsung menghantam sebatang pohon.
"Heaaa!" Sekali lagi Badin melihat kesempatan baik dan tidak mau disia-siakannya sedikit pun. Melihat lawan yang seorang lagi berusaha bangkit, dia telah melompat menerjang. Kedua kakinya tepat menghujam ke dada.
Des!
"Aaakh!"
Kembali orang itu dibuat terbanting keras sambil menjerit kesakitan.
"Ayo Marni! Kita harus kabur secepatnya dari sini!" seru Badin seraya menarik lengan Marni.
"Tapi, Kang...! Ayah dan ibuku...," sergah Marni.
"Jangan pikirkan mereka dulu! Ayo, selamatkan dirimu!"
Badin tidak mempedulikan alasan kekasihnya. Diseretnya Marni dan kabur dari tempat ini, sebelum ketiga lawannya bangkit dan mengejar atau memanggil kawan-kawannya yang lain.
"Kang! Mau ke mana kita? Ayah dan ibu...! Mereka..., mereka...," ujar Marni bingung, seraya menoleh ke belakang beberapa kali.
"Sudah! Jangan pikirkan mereka! Kau bisa celaka! Kita akan kabur sejauh-jauhnya dari desa ini!" ujar Badin.
"Tapi, Kang! Orang-orang desa tengah dilanda bahaya. Bukankah sebaiknya Kakang menolong mereka?"
"Aku tidak bisa, Marni! Mana mungkin? Jumlah mereka sangat banyak. Lagi pula, mereka amat ahli ilmu kanuragan!"
"Tapi, Kakang! Bukankah kau pun memiliki kepandaian hebat? Kau murid Padepokan Cagak Layung. Seharusnya kau ikut membantu yang lain menghadapi mereka. Bukannya malah kabur dan menyelamatkan diri sendiri!" sanggah Marni dengan wajah bersungut-sungut.
"Marni! Aku tidak bisa."
"Huh! Aku tidak suka melihat kekasihku seorang pengecut! Sementara pemuda-pemuda lainnya berjuang melawan mereka, kau malah melarikan diri!" umpat Marni, semakin kesal.
"Marni! Sudah kukatakan, itu tidak mungkin. Jumlah mereka banyak. Sia-sia saja melawan..."
"Aku tidak peduli! Aku tidak sudi ikut denganmu!" sentak Marni. Gadis itu tiba-tiba melepaskan cekalan Badin. Dan tubuhnya langsung berbalik meninggalkan pemuda itu.
"Marni, tunggu! Tungguuu...! Kau tidak boleh kembali ke sana'" teriak Badin berusaha mengejar.
Namun gadis itu tidak menghiraukan teriakannya. Dan terus saja berlari menembus semak belukar dan kegelapan malam.
Badin tercekat, begitu kehilangan jejak Marni. Tapi mendadak terdengar jeritan Marni. Dia segera memburu. Namun langkahnya terhenti, ketika melihat tujuh orang lelaki bertubuh besar tengah menyergap Marni.
Badin menarik napas panjang. Dia berusaha menahan gemuruh di hatinya mendengar jeritan Marni yang ketakutan bercampur gelak tawa laki-laki yang meringkusnya. Dia memalingkan muka, dan terduduk lesu. Pikirannya kalut dan tidak menentu. Antara keinginan menyelamatkan Marni dari cengkeraman mereka, dan rasa takut di hati melihat jumlah lawan yang tidak sepadan. Tidak ada yang bisa diperbuatnya selain mengutuk geram, dan memukul-mukul batang pohon dengan kepalan tangan. Dari kejauhan masih terdengar jerit Marni, penuh ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
153. Pendekar Rajawali Sakti : Pemuas Nafsu Iblis
AçãoSerial ke 153. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.