3 | Sistem

30 6 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


IA lebih suka seni ketimbang olahraga.

Karena dalam seni, ia lebih bisa mengekspresikan diri. Hasil gambarnya memang tidak sebagus Johannes Vermeer* -jelas. Tapi setidaknya ia mahir di bidang tersebut.

Punggungnya didorong seseorang. Sudah seratus persen yakin itu ulah Putra ataupun Elang. Dan benar, Putra mendahuluinya sebelum berujar, "Ayook, Taar! Kalah lo sama keong."

Kemudian suara Elang, "Duh, lemot lo, Tar. Duluan!"

Rata-rata kawan-kawannya sudah sampai di putaran keempat, sedang dirinya baru akan tiba di putaran ketiga. Napasnya putus-putus saat lanjut berlari kecil. Memutuskan untuk berhenti sebentar, Tara membungkuk dan memegangi kedua lutut. Dari ekor mata ia melihat beberapa anak lain yang menyalip dirinya. Tapi persetan. Ia tidak punya target untuk jadi yang tercepat, hanya ingin selesai.

Dan manakala murid-murid lain sudah duduk berselonjor kaki maupun berbaring di tepi, Tara masih harus berlari lagi satu putaran.

"Ayok, Tarrrrrrr! Waduh, suwene," seru Pak Wi sambil menepuk-nepuk tangannya. Timbul tawa dari mulut sebagian para siswa MIA II.

Akhirnya, batin Tara. Ia mengambil tempat di samping Abhi yang menjulurkan kedua kaki. Pemuda itu tersenyum kecil dan menepuk punggungnya. "Hebat, Sob! Lo udah bisa selesai nggak lama setelah gue, Tar."

"Iya. Alhamdulillah, lah. Thanks, Bhi."

"Iya."

"Diet, makanya. Masa cowok kok punya tubuh kayak gitu. Emang cita-citamu nanti jadi apa?" Pak Wi menyilangkan lengan. Suara baritonnya bukan cuma mengalihkan atensi Tara, tapi seluruh siswa. Alisnya terangkat satu terhadap cowok yang baru saja hadir.

'Emang cita-citamu nanti jadi apa?'

Memang apa cita-cita gue?

"Seniman, Pak," jawab Tara. Sedikit mengenang profesi yang didamba semenjak kecil. Tapi respons yang ia dapat rata-rata adalah tertawaan. Pandangannya mengedar dengan alis menyatu. Memang apa yang aneh dengan cita-cita tersebut?

"Seniman?" Bibir Pak Wi mengerut. "Emang bisa dapet duit banyak dari jadi seniman? Cita-cita tuh mbok ya yang ada profit, yang juga bisa njagani buat masa tuamu mbesok. Dapet apa dari jadi seniman? Jual lukisan? Iya, dapet duit. Tapi nggak menentu. Nggak ada jaminannya juga buat masa tua."

"Nih, tanya sama teman-teman cowokmu, apa cita-citanya? Pasti tentara, polisi, pilot, atlet," sambungnya. Suaranya naik satu oktaf di kalimat terakhir. "Kamu...? Jadi seniman? Kerjaan apa itu? Zaman udah maju, loh, Le."

Tara mengangguk. Menampilkan deret giginya, nyaris terkekeh canggung.

Salah satu contoh betapa konservatif orang-orang di lingkupnya adalah ketika membahas soal cita-cita, mereka terlalu terpaku pada profesi guru dan dokter untuk perempuan, lalu angkatan bersenjata untuk laki-laki. Padahal, kita seharusnya bisa memilih untuk jadi apa pun yang diinginkan terlepas dari gender individu tersebut.

Tara ingat kedua sepupunya yang berhasrat menjadi arkeolog dan travel vlogger, ironisnya dipupuskan impiannya itu oleh anggota keluarga sendiri. Kerabat-kerabat yang kala itu berkumpul pada hari pernikahan Savina -anak pertama dari kakak ibu Tara- kontan tergelak mendengar cita-cita Lintang dan Delisa -sepupunya. Dan ia begitu yakin jika keduanya terpaksa mencoret hal itu dari future goals list dan menggantinya dengan pekerjaan yang sekiranya "lebih cocok" dengan standar masyarakat.

Lebaran kemarin, rambut Lintang yang biasanya dibiarkan berantakan, atau cuma disisir dengan tangan menjadi rapi oleh pomade. Tara tidak tahu apakah menjadi seorang pegawai kantoran mengharuskannya untuk selalu tampil necis, bahkan jika di luar jam kerja. Sedang Delisa sendiri yang pernah curhat ingin mengambil gelar magister psikologi setelah tidak diizinkan menjadi arkeolog ternyata sudah menyebar kabar pernikahan. "Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi, Del? Nanti juga bakal ngurus anak," kata salah satu tantenya yang sudah memiliki dua anak dan hendak menuju tiga. Delisa saat itu hanya tersenyum. Dan kerabat-kerabat mereka yang hadir sepertinya senang akan "pencapaian" Delisa dan Lintang : mendapat pekerjaan yang terlihat menjanjikan di usia 23, menikah di usia 25, dan akan punya dua anak di usia 30-an. Sangat sesuai dengan standar yang dibangun kokoh oleh masyarakat.

Tara sadar, bahwa dialah yang akan menjadi The Next Lintang ataupun The Next Delisa. Ia tidak ingin itu terjadi.

Tapi, memangnya siapa dia untuk membuat perubahan?

•••


*Pelukis asal Belanda. Salah satu karyanya adalah "Girl with a Pearl Earring".






















Perfeksi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang