Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"HALO, Princess Disney." Elang membungkuk sarkastik di depan meja Tara. Senyum liciknya tersungging seperti biasa.
Di tempatnya, Tara masih diam. Berlagak tak tahu-menahu pada eksistensi sosok itu.
"Elah, nangis ya lu? Dih, cowok model apaan! Baperan lo, Tar."
Kalimat Elang barusan diamini oleh tawa beberapa siswa di sekeliling. Salah satunya Panca yang menyahut, "Hadeh, main lo kurang jauh kali, Tar. Nggak tahu guyon ya?"
"Orang baperan mana tahu bercanda, Pan. Diambil pulpennya aja bakal nangis." Pulpen hitam yang tadi tergeletak kini sudah ada di genggaman Elang. Ia memutar-mutarnya sepelan mungkin. Menyadari tidak ada reaksi satupun dari si pemilik, buku catatan juga turut diambilnya.
Seringainya nyaris mencapai telinga ketika Tara memperhatikan buku dengan tulisan "FISIKA" yang tengah ia cengkeram.
"Balikin." Akhirnya Tara membuka mulut. Suaranya mencoba mengintimidasi, meski nyatanya ia gemetar.
"Ah, pinjem dulu, lah."
"Nanti aja kalau gue udah selesai nyatet semua."
Tangan Elang melambai. "Halah, dikit doang." Kemudian dia berbagi tatap dengan Panca. "Eh, Pan, katanya lo tadi mau pinjem, ya? Nih."
Buku sampul cokelat polos itu terbang menuju meja Panca yang tak cukup jauh. Dengan mudah hinggap di tangan Panca. Ia mengamati benda itu dengan tatapan merendahkan, senyumnya bukan bermaksud terima kasih. "Wah, Putra juga. Put, nih!"
"Ap-" Kendati tidak siap, Putra berhasil menangkapnya. Ekstrakurikuler basket sialan, batin Tara.
Buku catatannya mendadak jadi tongkat estafet. Lepas dan hinggap dari tangan satu ke yang lain, dan sesekali mampir ke lantai. Tara memperhatikan dengan bingung dan cemas. Ia berlari ke Elang, sedetik kemudian buku itu sudah ada di tangan Putra, lalu Panca. Febri dan Rizky yang tadinya tidak masuk dalam hitungan sekarang sudah turut andil dalam permainan yang hanya menghibur beberapa pihak.
"Aduh, kasihan banget nggak bisa dapetinnya," ujar Febri dengan cemberut palsu.
Tara, yang telanjur dilalap emosi, menghambur ke arah Febri. Dengan gegabah dia mencengkeram lengan Febri dan merebut bukunya. Febri yang belum bisa mencerna situasi tampak gagap hingga akhirnya terdorong ke meja belakangnya.
Dan perkelahian bermula. Namun dari banyaknya siswa, tak ada satupun yang berniat melerai. Malahan, para cowok makin memprovokasi keduanya untuk beradu jotos. Suara meja kursi terbanting ke lantai tak kalah nyaring. Febri hendak memberi Tara satu pukulan lagi di pipi ketika pundaknya ditarik oleh Cakra.
"Woi, woi.... Udah, Feb," ucap Cakra sembari berusaha menyeret Febri. Sedangkan Tara sendiri diamankan oleh Abhi.
"Yaa, kok dipisah, sih?" Putra yang paling antusias melihat peristiwa barusan memasang wajah kesal.
Tara ngos-ngosan dengan Abhi di sebelahnya. Mencoba menenangkan dengan kalimat "Udah, Tar" dan "Sabar...". Matanya berair. Ada bekas cakaran di pipi, leher, serta lengannya. Mengingat Febri punya kegemaran memelihara kuku sepanjang mungkin, setidaknya sampai ada razia oleh Bu Cika.
"Goblok. Lu tuh ketua, Put. Masa ada ginian nggak tanggap banget, malah nyuruh biar makin gelut?" ujar Dewinta.
Putra mengangkat bahu. "Ya kan seru. Kapan lagi ada tayangan MMA free plus live." Ia mengucapkan kalimat terakhirnya sambil memandangi cowok-cowok di sekitarnya, bagai meminta persetujuan. Mereka manggut-manggut dengan senyum lebar.
Semua atensi tertuju pada Tara dan Febri, sehingga tidak menyadari bahwa pintu kelas sejak tadi terbuka. Dan Bu Cika sudah berkacak pinggang, dan bertanya, "Ada apa ini barusan?"
•
BU CIKA meminta penjelasan dari para siswa XI MIPA 2. Dari tampang Tara dan Febri, ia sudah meyakini asumsinya benar. Dan ketika ia bertanya penyebab meledaknya emosi si dua siswa, Putra lebih dulu menjawab dengan kibasan tangan, "Ah, biasa, Bu. Cuma bercanda."
Tapi lewat matanya yang menyipit, Bu Cika memilih bertanya pada para siswi. Karena biasanya lebih tidak ada keberpihakan. Dan dengan itu, Tara dan Febri sama-sama diseret ke ruang BK.
Ruang dengan sofa oranye empuk, pendingin ruangan dan pengharum aroma lavender ini sepatutnya jadi ruang paling nyaman setelah ruang guru dan kepala sekolah. Namun anehnya, ketiga ruangan di sekolah itu menjadi momok bagi para siswa entah kenapa.
"Harusnya kamu lebih coba mengontrol emosi, Tara," ucap pria berkacamata persegi. Nadanya lembut. Tapi Tara justru tak suka dengan apa yang keluar dari mulutnya.
"Dan kamu, Febri, jangan bercanda berlebihan-"
Febri menegakkan punggung. "Tapi bukan cuma saya, anak-anak lain ikut juga, Pak."
Pak Rizwan mengangguk, membenarkan letak kacamatanya. "Iya, bilang ke teman-teman kelasmu. Banyak laporan seperti ini di kelas kalian, jangan sampai terulang."
Kini, ia bergantian menatap kedua cowok yang menampilkan ekspresi berbeda. "Intinya, Tara," ia menghentikan matanya di wajah Tara, "kamu itu cowok. Yang lebih kuat, oke? Lagian, nanti juga bukunya pasti dibalikin. Kalau misal kamu diejek atau apa, nggak perlu dimasukkan hati. Anggap angin lewat."
"Iya, Pak."
"Silakan kembali ke kelas. Jangan lupa sebelum pulang sekolah bersihkan musala."
Tara dan Febri sama-sama mengiakan. Febri lebih dulu menghela ke kelas, meninggalkan Tara jauh di belakang.
Mata Tara melesat ke poster dengan tema anti-bullying yang terpajang di sepanjang dinding. Beragam slogan tertulis di sana. Ia tahu semua itu omong kosong belaka.