BAB 3 CEMBURU

65 7 0
                                    

"Kamu apa-apaan sih, Kak? Mau bunuh diri?"

Aku melotot padanya, dia hanya nyengir kuda lalu bergegas naik ke boncengan.

"Yuk, jalan!"

Edi menepuk pundak, spontan aku tancap gas.

"Hari ini, kita bolos ya?" katanya dekat telingaku yang memakai helm.

Hati jadi berdebar, secara baru kali ini ia mengajak bolos sekolah. Dipikir-pikir, pelajaran hari kamis ini tidak ada yang penting. Jam pertama pelajaran adalah olahraga, jam kedua seni dan budaya sampai jam terakhir. Hmmm  ... Baiklah kalau begitu. Apa salahnya bolos sehari saja, tetapi mau kemana sepagi ini?

"Emang kita mau kemana?" tanyaku melihat dirinya lewat kaca spion.

"Kita ke laut aja, ya?"

"Laut mana?"

"Sudahlah, ikutin jalan dulu."

Aku menurut, memacu motor di tengah jalan yang mulai padat. Tidak menghiraukan lagi akan gang sekolahan yang sudah terlewat. Meski ada rasa takut bila ketahuan guru, bisa gawat tapi tetap nekat. Namun, aku menggunakan helm, mudah-mudahan selamat. Mereka pun tak mungkin melihat.

Sepuluh menit kami sudah sampai di pinggir pantai nan mempesona dengan pemandangan laut yang indah, asyik untuk mandi berenang di sana. Di tengah laut, ada sebuah pulau yang bernama bernama pulau condong.

Kami berdua duduk-duduk di sebuah pondok bambu yang biasa digunakan untuk bersantai sambil menikmati panorama laut. Hari ini bukanlah hari libur, apalagi masih pagi sebab itu suasana tampak sepi dan lengang. Kios-kios pedagang kerajinan dan juga makanan banyak yang tutup. Hanya beberapa saja yang buka.

"Kamu ngapain ngajak aku bolos sih, Kak? Apa kamu ada ulangan guru killer, ya? Atau enggak mengerjakan pr?" tanyaku polos.

Edi tertawa sambil mengacak rambutku.  Untung saja diikat pakai karet gelang, kalau tidak entah bagaimana rambut panjang ini bisa berantakan  ditiup angin laut.

"Ha-ha-ha, bukan lah. Aku mengajakmu kemari agar bisa lebih banyak waktu denganmu.  Anggap saja ini bayar hutang, karena malam minggu kemarin, aku tidak datang."

Pemuda tampan ini menatapku dari samping. Kemudian meraih jemari tangan dan meremas lembut. Namun, aku cepat menarik kembali.

"Kenapa?"

Edi mengkerutkan alisnya. Tampak ia terkejut dengan sedikit perubahan ku yang tak mau disentuh.

Aku hanya menarik napas dalam-dalam sambil meremas sendiri jemari ini.

"Kamu masih marah padaku?  Okey, aku minta maaf. Namum, tolong jelaskan padaku, kenapa kamu sms dan bilang aku pembohong?"

Kedua tangan pemuda ini melipat di depan dada bagai memohon. Kemudian aku menatapnya tajam.

"Aku mau tanya juga, ada hubungan apa Kakak dengan Fitri?"

Edi tampak kaget mendengar aku menyebut nama Fitri. Mimik wajahnya menjadi tidak sedap di pandang, perlahan dia menurunkan tangan yang dilipat tadi, kini beralih menggenggam erat pinggiran tempat duduk yang terbuat dari bambu. Ia memalingkan wajah ke arah laut.

TITIK NODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang