Bab 4 SALAH PAHAM

54 8 1
                                    

"Kok, diam? Kamu pacaran ya, sama Fitri? Dia satu sekolah lho, denganku?"

Aku memandang wajahnya dari samping dengan dada bergolak perasaan. Edi menoleh, lalu tersenyum simpul.

"Itu alasanmu mengatakan aku ini pembohong? Heh! Semudah itu kamu menilai seseorang tanpa tahu yang sebenarnya. Aku baru saja mengenal cewek itu dan kami bertemu di sebuah pesta ulang tahun pacar temanku," jelas Edi dengan mimik wajah serius.

"Kenapa Kakak tidak mengajak aku ke pesta itu?" tanyaku sedikit kecewa.

Edi memutar tubuhnya hingga menghadap padaku, sebelah kaki dinaikkan lalu dilipat. Dia menoel hidungku.

"Ih, merajuk. Begini ya, Sayang ... Aku tadinya hanya sebentar saja di pesta itu, karena ingat ingin apel ke rumahmu. Kupikir itu pesta yang enggak penting, makannya tidak mengajakmu. Namun, karena temanku mengajak ngobrol dan memperkenalkan aku pada Fitri, akhirnya kelupaan untuk ke rumahmu dan malam pun sudah larut. Jadi tidak mungkin datang ke rumahmu tengah malam, iya kan?" tuturnya panjang lebar.

"Kenapa Kakak tidak menelpon atau sms aku?  Berarti lebih penting mereka, dibandingkan aku?"

Aku memalingkan wajah ke lain tempat, menyembunyikan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Edi memegang pundak, ia meremas lembut. Hati ini berdesir, tapi tidak mau menoleh padanya. Perasaan ini campur aduk bagai gado-gado.

"Dengar Rena, aku tidak suka dengan wanita yang pemarah dan besar cemburu. Cinta itu butuh pengertian dan saling memaafkan. Aku juga butuh pergaulan dan tidak ingin dikekang oleh cinta.  Aku ingin banyak sahabat, tapi hanya satu pacar saja dan aku mencintaimu. Namun, bila kamu tidak menyukai gaya dan cara hidupku, yah  ... Lebih baik kita akhiri saja hubungan ini. Kita akan menjadi best friend."

Pemuda itu menghela napas panjang dan melepaskan tangan dari pundak ini. Aku hanya bergeming, air mata terus bergulir ke pipi. Hati dililit rasa sakit mendengar perkataan orang yang dicintai laksana petir menyambar di tengah terik matahari.

Edi bangkit, secepatnya aku meraih lengan putih bersih itu. Edi menoleh dengan alis mengernyit. Kemudian diriku ikutan bangkit dari duduk dan berdiri menghadapnya, kini memegang kedua jemari pemuda ini. Menatap wajahnya dalam-dalam.

"Maafkan atas keegoisanku, Kak. Mulai sekarang, aku akan belajar mengerti arti cinta yang sesungguhnya," ucapku pelan sambil menyunggingkan senyuman manis untuknya.

"Nah, gitu dong. Ini baru namanya pacar yang baik," ujar Edi mengacak rambutku dan memijit hidung lagi. Kemudian ia mendekap tubuhku erat-erat dan berbisik.

"Terima kasih, Sayang. Aku mencintaimu."

Aku mengangguk dan membalas, "aku juga mencintaimu, Kakak. Sangat  ... Sangat mencintaimu dan takut kehilangan."

Aku merasakan Edi mencium pucuk kepala ini. Hati menjadi damai dan bahagia. Desiran angin menerpa syahdu tubuh kami berdua, suara deburan ombak yang mengalun perlahan menjadi saksi bisu cinta yang telah terpadu. Oh, betapa indahnya alam ini.

****

Sejak saat itu, hubunganku dengan Edi berjalan lancar dan baik-baik saja. Hingga memasuki tahun kedua. Edi   sudah lulus STM dan diri ini naik ke kelas dua belas. Satu tahun lagi, akan lulus dan meneruskan kuliah.

Edi tetap menjadi pelatih karate dan aku mengundurkan diri karena pernah jatuh sakit, gara-gara ikut turnamen. Edi juga kuliah di Universitas Negeri di kota kami. Selain itu, dia juga lagi masa magang di bengkel mobil. Pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang dia dapat di sekolah dan kini memperdalam di bangku kuliah.

Namun, tidak selamanya cinta itu berjalan lancar, pasti ada batu sandungan. Tidak selamanya cinta itu akan berakhir bahagia dan menuju kursi pelaminan.
Pun cinta itu tidak harus saling memiliki.

Edi menghilang selama satu bulan. Tak ada kabar berita, hingga hati ini jadi merana. Tersiksa rindu bagaikan orang gila. Namun, aku harus menyadari cinta juga butuh kesabaran.  Kini dia datang tiba-tiba, dengan membawa berita duka.

"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak setia, aku ... aku sudah menghamili Fitri. Aku  ..., khilaf."

Dug!

Dadaku bagai dipukul godam besar, sakit, sesak dan melumpuhkan syaraf. Kepala begitu berat dan tubuh bergetar hebat. Refleks aku memberikan bogem mentah ke wajah Edi.

BERSAMBUNG

TITIK NODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang