Bab 12 MERASAKAN SAKIT HATI

43 5 1
                                    

"Ada apa, Mas?  Kok, kayak bingung gitu."

Aku juga jadi heran melihat sikapnya. Seperti ada yang dia sembunyikan. Kemudian tanpa pikir panjang segera melangkah masuk kantor yang lumayan besar ini.

"E, eh Mbak  ... Nanti, jangan masuk dulu. Biar saya panggil saja. Pak Jeno lagi ada tamu."

Lelaki berkulit gelap ini mencoba menahan langkahku untuk masuk. Lantas dia buru-buru masuk. Namun, feeling tidak enak lalu ikut masuk juga. Toh, aku calon istri mas Jeno, masa harus menunggu di luar.

Lelaki office boy itu mengetuk pintu kamar yang terletak di sudut ruangan. Tak lama pintu terbuka dan muncul sosok kekasihku.

"Ada apa, Met?" Lalu pandangannya tertuju padaku yang berdiri tak jauh dari si office boy. Ia tampak terkejut dan wajahnya menjadi pucat pasi.

"Ini Pak, ada yang cari. Katanya tunangan Bapak," jawabannya polos.

"Rena? Ngapain kamu ke sini?  Kok, enggak telepon dulu?"

Mas Jeno menarik tanganku untuk mengajak keluar kantor yang sepi ini. Aku tanpa rasa curiga menurut saja.

"Mau buat surprise, Mas. Aku ingin mengajakmu ke pantai malam minggu ini. Katanya ada pantai yang baru dibuka dan ramai pengunjung jika malam hari," kataku antusias sambil memegang kedua tangannya.

"Oh, ya?  Bagus lah kalau begitu. Nanti kita ke sana, ya."

Mas Jeno menanggapi tapi, matanya ke sana kemari, sepeti ada yang dicari. Raut wajahnya tampak gelisah.

"Kenapa Mas?  Kok, gelisah begitu? Oya, katanya ada tamu ya?  Maaf, jika mengganggu." Aku jadi tidak enak perasaan.

"Oh, eh. I-iya, ada tamu tadi. Kamu naik motor, ya?"

"Iya, Mas. Kok, kalau ada tamu, kenapa kendaraan cuma ada mobil Mas Jeno saja?"

Aku mulai curiga dan mencium hal yang tidak beres. Dia tidak menjawab, kemudian langsung melepas genggaman tanganku.

"Kamu tunggu di sini dulu ya, sebentar. Aku mau ngambil barang di kamar tadi. Kita pulang bareng saja, lagian sudah selesai juga kok."

Tanpa menunggu jawaban dariku, pria yang mulai mengetuk hati ini, sudah berlalu. Tak lama menunggu, Mas Jeno sudah keluar lagi. 

"Kita pulang yuk?  Biar aku naik motormu saja."

"Terus, mobil ini bagaimana?" tanyaku bingung.

"Biar saja. Nanti Slamet yang antar pulang, sudah biasa. Dia tinggal di rumahku juga," jawabnya santai lalu mengambil alih motor dia yang akan mengendarai.

Aku mengiyakan dan percaya saja. Kemudian kami sudah meninggalkan pelataran kantor tersebut tanpa aku tahu siapa tamu mas Jeno itu.

Singkat kata, aku dan mas Jeno sudah ada di tepi pantai yang ramai pengunjung, karena baru dibuka. Kami duduk-duduk di pasir putih yang bersih di antara pengunjung lainnya yang kebanyakan tidak aku kenal. Sambil memandang lautan di malam hari dengan menikmati jajanan yang dibeli tadi. Andai ada dua sahabatku Meliana dan Indri, tentu akan tambah seru.

"Dik, aku mau jujur sama kamu boleh enggak?" tanya  Mas Jeno bagai orang bodoh.

"Ya, tentu dong. Bukankah kita harus saling jujur? Selagi kita belum menikah, kejujuran itu penting Mas. Agar hubungan kita langgeng," ujarku sok tahu.

Lelaki di sebelahku ini menarik napas panjang lalu mengembuskan dengan berat.

"Tapi aku harap, Adik jangan marah ya?"

"Iya udah, ngomong saja Mas."

Aku menoleh dan menatap wajahnya dengan tersenyum. Padahal dalam dada ini, bergemuruh tiada menentu.

"Sebenarnya  ..., tadi yang di kantor itu adalah  ... Ninuk." Dia kini menatap padaku dengan sorot mata sayu.

"Apa?!"

Aku kaget luar biasa. Seketika saja dada ini terasa sakit dan sesak. Mata mulai tergenang air yang siap meluncur ke pipi.

"Mau apa dia?  Kenapa kalian di dalam kamar kantor? Apa yang kalian lakukan?  Sementara, kantor itu sepi tak ada orang lain hanya ada Mas office boy. Jangan-jangan  ...?"

Ah, tak bisa kubayangkan mereka berdua dalam kamar itu. Semakin terisak dan membenamkan wajah pada kedua lutut yang ditekuk, aku dekap erat-erat. Berharap rasa sakit hati ini bisa reda.

"Maafkan aku, Dik. Kami tidak melakukan apa-apa, dia juga baru datang pada saat itu. Sudah lah, jangan menangis ini di tempat umum," ujarnya.

Tak tahan, aku langsung bangkit dan berjalan cepat meninggalkannya dengan membawa derai air mata.

TITIK NODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang