Bab 10 MULAI CEMAS

35 7 0
                                    

Ninuk mengajak aku ke sebuah warung tenda pinggir jalan, yang menyediakan berbagai jajanan makanan enak seperti, bakso bakar, nugget, pempek Palembang, somay dan masih banyak lagi. Ada juga es doger dan minuman segar lainnya. Kami memesan pempek dan somay, minumannya teh botol saja.

"Inilah tempat aku dan Mas Jeno suka nongkrong dan makan bersama," katanya tanpa aku minta. Dia bicara seakan tak ada beban, entah apa maksudnya.

"Lalu, apa maksudmu mengajakku kemari?"

Aku menatap wajah oval dan glowing itu dengan penuh selidik. Ninuk tertawa kecil, giginya yang gingsul menambah manis parasnya.

"Iya, gak ada. Jangan takut, aku gak bermaksud jahat, kok. Hanya ingin tahu dan kenal dengan cewek yang sudah membuat kekasih hati berpaling dariku. Oh, ini toh yang namanya Rena, yang katanya pacarnya sudah meninggalkan dan nikah dengan cewek lain," ulasnya membuatku kaget.

"Darimana kamu tahu semua itu?" tanyaku heran.

"Hmmm  ... Adalah."

Obrolan kami terhenti sejenak, karena pesanan telah datang. Aku jadi tidak selera untuk memakannya.

"Berarti kamu mata-matain aku selama ini? Bukan kah, kamu dan Mas Jeno, sudah putus?"

Ninuk yang tengah mengaduk pempek ke dalam mangkuk kecil yang berisi kuah cuka warna coklat itu, hanya diam saja. Lalu mulai memakan pempeknya. Tampak sekali santai, tidak denganku yang mulai berdebar.

"Nyantai, Ren. Jangan tegang begitu dong, it's okay, aku gak kan ganggu kalian. Aku hanya ingin berteman saja dengan pacar mantanku dan menurutku  ... Kamu memang pantas dengan Jeno. Cowok itu enggak salah pilih. Ternyata kamu jauh lebih cantik dan kelihatannya baik."

Hah. Jujur aku kesal dengannya, enggak mengerti apa yang dia omongkan. Mau tidak mau akhirnya menyantap juga somay yang mulai menggoda perutku. Untuk menghilangkan jenuh bersama gadis ini.

"Katanya kalian mau married ya?" tanyanya lagi. Aku mengangguk.

"Hmmm  ... Sama aku juga bilang begitu tapi, tampaknya dia enggak sanggup menunggu dua tahun lagi. Aku kan, masih kelas 11 SMU. Ya, udah deh kami pun akhirnya jaga jarak. Namun, sebetulnya kami belum putus, sih."

Tiba-tiba aku tersedak somay, Ninuk buru-buru menyodorkan teh botol, lekas ku raih dan menyeruput.

"Makanya pelan-pelan atuh, Neng geulis." Ninuk tersenyum lebar.

"Jadi  ... sekarang mau kamu apa, Nuk?"

Aku jadi tidak sabar lagi, hati ini makin dililit rasa sakit.

"Tenang, aku enggak mau apa-apa kok. Aku ikhlas kamu sama Jeno. Cuma aku ingin kita akrab saja, jadi biar sudah putusan, tapi tidak menjadi permusuhan."

Ninuk menjelaskan dengan baik-baik. Seketika, hati ini bagai diketuk oleh ocehan gadis yang rambutnya dikuncir kuda. Benarkah ucapannya itu? 
Tidak semua wanita yang punya jiwa besar seperti itu untuk berbuat demikian. Contohnya aku, yang tidak mau berbaikan dengan Edi dan Fitri.

Cukup lama kami mengobrol dan menghabiskan makanan, kami berdua meninggalkan tempat itu. Ninuk tidak ingin diantar, dia bilang ingin menunggu jemputan temannya. Akhirnya kami berpisah.

****

Mas Jeno terdiam saat aku menceritakan pertemuan tadi siang dengan Ninuk. Dia tampak berpikir keras, memang begitulah cowok ini raut wajahnya selalu serius.

"Dia tahu dari mana, semua tentangmu? Apa Ninuk punya mata-mata di sekolah kamu?" tanya Mas Jeno, menatap padaku. Kami sedang berdiri menikmati indahnya suasana malam dari atas bukit di belakang rumah bibinya.

Aku mengangkat bahu, "enggak tahu. Aku aja bingung, Ninuk enggak mau menjelaskan."

Mas Jeno merengkuh bahuku, pandangan lurus ke depan, jauh di bawah tampak indah lampu-lampu di perkotaan yang terlihat kecil.

"Apa yang nanti Ninuk katakan, jangan diambil hati, ya? Dia juga sama kayak kamu, anak tunggal dan manja. Hanya saja, gadis itu tinggal bersama Ibu tiri dan Ayahnya sering keluar kota, hingga dia kurang perhatian dan kasih sayang," jelasnya. Aku hanya terpekur mendengarkan.

"Apakah dia nantinya enggak jadi boomerang buat hubungan kita, Mas?" tanyaku penuh kekhawatiran.

"Ya, aku berharap dia baik-baik saja. Toh, aku dan dia bubaran secara baik-baik. Jadi kuharap dia tidak mengganggu kita," jawabannya penuh keyakinan.

"Pokoknya, kalau kamu sudah lulus akan segera ku lamar. Biar kamu enggak meragukan lagi akan cinta dan sayangku ini."

Mas Jeno membalikkan tubuhku agar menghadapnya. Pandangan kami beradu, saling membisu sesaat sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajah kami berdua. Aku mencari kejujuran di bola matanya.

"Kamu mencintaiku, kan?"

Dia bertanya dan aku mengangguk.

"Cinta harus saling mempercayai, mengerti dan tidak mudah terpengaruh oleh keadaan apapun. Saling setia, menjaga dan jujur. Maka dari itu, aku pilih kamu, karena aku yakin kamu mampu untuk membinanya bersama."

"Tapi  ... Apakah aku mampu?"

Mas Jeno mengangguk dengan mantap. Ia belai lembut pipi ini.

"Seiring waktu, kamu pasti akan bisa dan mengerti akan arti cinta yang sesungguhnya."

Perlahan wajahnya mendekat ke wajahku, dada ini berdebar kencang dan tubuh menjadi panas dingin saat bibir itu mendarat ke bibirku.

"Ehem  ... Ehem  ..."

Seketika saja ada suara perempuan yang datang mendekat.

BERSAMBUNG

TITIK NODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang