Bab 1 Cinta Remaja

181 7 0
                                    


Part 1

Hari masih pagi saat aku berangkat menuju sekolah di SMK NEGERI 17. Sengaja berjalan kaki agar dapat melewati rumah sang kekasih yang bernama Edi Yudistira. Biasanya membawa motor matic ke sekolah. Entah mengapa hari ini aku ingin melewati rumahnya yang hanya beda Rt itu. Memang jarang juga lewat sana, jika ingin jalan tembus menuju jalan raya, ya harus melewati gang rumah Edi.
Namun, jalan raya itu bukanlah jalan menuju sekolahku.

Dengan jantung berdebar, aku berjalan terus hampir melewati pagar rumah yang mewah itu. Ups! Kenapa kok, hati ini senang ya, hanya melihat rumahnya saja yang tampak lengang. Mungkin penghuninya masih sibuk di dalam. Lalu berhenti sejenak dekat pagar tembok rumah dan melihat-lihat ke halaman rumah yang banyak banyak ditumbuhi bunga-bunga.

Jadi berkhayal, jika aku jadi menantu di rumah itu. "Eits! Kenapa aku punya pikiran sejauh ini? Pikirin sekolah dulu sampai lulus, sudah itu kuliah dan mengejar karier. Nikah mah urusan belakangan." Aku bicara sendiri. Jadi geli akan pikiran konyol ini. 

"Eh, ngapain kamu berdiri di situ?  Pake ngeliatin rumah orang, kayak mau maling saja. Anak mana kamu?"

Tiba-tiba seorang ibu-ibu menegur dari arah belakang punggung. Spontan terkejut dan berbalik menghadap ibu yang wajahnya jutek ini.

"Owh. Eng-eggak kok, Bu. Aku enggak ngapa-ngapain. Hanya mau melihat teman, dia sudah berangkat ke sekolah apa belum," jelasku agak gugup.

"Oh. Kenapa enggak masuk saja. Pakai ngintip sagala. Kamu temannya Edi apa Nuning, adiknya?" tanya ibu itu penuh selidik, persis polisi saja layaknya.

"Sial. Badanku kenapa gemetaran begini?" kata batinku.

"Eh, maaf Bu.  Aku harus ke sekolah."

Akhirnya, aku beranjak meninggalkan ibu kepo itu, daripada banyak pertanyaan. 

"E-e-eeh, tu anak. Ditanya malah kabur. Dasar anak jaman sekarang kelakuannya aneh-aneh."

Tak menghiraukan ibu itu ngomel, aku terus berjalan menuju jalan raya, biar naik angkot saja ke sekolah. Padahal jika naik angkot pun jalannya harus memutar arah. Dasar apes, inilah efek malam minggu kemarin Edi tidak datang apel ke rumahku.

****

"Rena, ke kantin yuk?" Ajak Meliana teman akrab di kelas, tapi tidak duduk sebangku. Justru duduk dengan teman cowok yang tengil, Iyan namanya. Nama lengkap Mardian. Tukang godain cewek-cewek di sekolah, seperti merasa ganteng sendiri.

Aku langsung saja mengikuti ajakan cewek berambut panjang yang sukanya di kuncir kuda ini. Tubuhnya agak pendek dari tinggi tubuhku dan sedikit gemuk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kantin.

"Eh, Rena tunggu!"

Indri sahabatku juga memanggil dan ikut ke kantin bersama kami.  Indri adalah cewek hitam manis, badannya gempal dan berambut pendek batas leher. 

Aku sendiri bernama Rena Mayarni. Banyak orang bilang diri ini cantik, wajah mirip artis India Rani Mukherje. Wajar saja, wong ibu hobi nonton film India sejak gadis sampai hamil diriku. Bahkan ibu bilang saat mengidam, ia kepingin memeluk Amitabh Bachchan. Hiks, ada-ada saja.

Setelah makan mie ayam dan minum es teh, kami bertiga bermaksud kembali ke kelas. Namun, di tengah lapangan voli, Cindy kakak kelas, datang menghampiri dengan tergopoh.

"Rena! Tunggu sebentar dulu." Panggil gadis berkulit putih dan tubuhnya tinggi ini, wajar bila dia jadi Mayoret grup drum band di sekolah. Kami bertiga menghentikan langkah.

"Ada apa, Kak Cindy?"

Aku menatapnya dengan memicingkan mata, karena silau cahaya matahari.

"Edi itu, pacar lu ya?"

Aku mengangguk, kemudian menatap dua sahabat di sebelah kanan dan kiri. Lalu menatap Cindy lagi.

"Iya, Kak.  Emang ada apa?" tanyaku dengan jantung dag dig dug.

"Maaf,  Ren. Gue cuma mau bilang dia tu, malam minggu kemarin jalan sama Fitri dan kami nongkrong di kafe, merayakan ulang tahunnya Mbak Nia."

DUGH!

Bagai ada yang menghantam hatiku. Terasa sakit dan ngilu.

"Lu jahat amat sih, Kak.  Begitu aja, lu sampaikan pada Rena. Gimana perasaan dia?  Coba Kak Cindy yang digituin," ujar Meliana agak sewot. Dia memang teman yang tegas.

"Gua bukan bermaksud mau memanasi atau membuat dia sakit hati, Mel. Justru gua kasihan, Rena tu, sudah dibohongi lelaki," jelasnya meluruskan masalah.

"Tapi bukan begini juga kali caranya. Ini sama saja mengadu domba," timpal Indri tak kalah sengit.

"Sudah! Sudah! Gua enggak apa-apa kok. Terima kasih banyak ya, Kak Cindy atas infonya."

KRING! KRING!

Bel tanda usai jam istirahat telah berbunyi. Cindy mengangguk, kemudian cepat berlalu dari hadapan kami bertiga setengah berlari menuju kelasnya yang di lantai dua. Memang lantai dua sekolah ini,  khusus anak kelas tiga SMK. Kami yang baru kelas dua, hanya di lantai bawah.

Kami lalu bergegas masuk kelas, karena ini jamnya guru killer.

TITIK NODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang