Bab 5 HARUS MOVE ON

51 9 3
                                    

"Pergi dari rumahku, Kak! Aku tidak mau melihat wajahmu lagi."

Aku langsung menghambur ke kamar, meninggalkan pemuda itu yang masih memegangi batang hidungnya yang sakit bekas ditinju tadi. Masa bodo, aku tak mau peduli  lagi.

BRAK!

Pintu kamar aku tutup dengan keras, langsung menjatuhkan diri ke atas pembaringan dan menangis. Lamat-lamat terdengar ibu bicara pada Edi.

"Sabar, Nak Edi. Rena memang begitu sifatnya, keras dan manja. Maklumlah anak semata wayang. Jadi, harus banyak bersabar untuk menghadapinya."

"I-iya, Bu.  Enggak apa-apa.  Aku pamit pulang, Bu.  Tolong sampaikan rasa maaf saya pada Rena. Besok-besok, saya kemari lagi."

"Iya, Nak. Hati-hati di jalan."

Terdengar motor Edi dinyalakan, kemudian meninggalkan halaman rumah. Semakin kencang aku menangis dengan wajah terbenam di bantal.

Aku memutuskan untuk memblokir nomor kontaknya dan melupakan kisah kasih cinta bersama dia.  Meskipun sulit melupakan cinta pertama, tapi harus mencobanya.

****

Dua bulan kemudian, aku masih belum bisa move on dari putus cinta karena di sekolah berita pernikahan Edi dan Fitri sudah tersiar. Mereka banyak membicarakan tentang hubungan kami yang berakhir karena orang ketiga.

"Kasihan, banget nasibnya. Ke sana-kemari selalu berdua, eh  ... Yang diajak married orang lain. Ha-ha-ha," ejek teman-teman geng Fitri, yang ada empat orang itu, di saat aku dan dua sahabat pulang sekolah menuju tempat parkir.

Yana menepuk-nepuk  bahu untuk menenangkan diri agar jangan terpancing emosi.

"Eh, Rena! Diundang enggak, lu?  Kalau diundang, kita datang rame-rame ya. Konvoi kita. Ha-ha-ha-ha," ledek mereka kembali.

Aku tidak menggubris, terus melangkah mendekati motor lalu naik dan tancap gas meninggalkan parkir sekolah sambil membonceng Yana. Indri mengikuti dari belakang dengan mengendarai motornya sendiri.

"Sudah lah, Ren.  Enggak usah dipikirin terus cowok model Edi itu. Masih banyak kok, cowok lain yang lebih baik dari dia. Lu, harusnya bersyukur lepas dari cowok b******k kayak Edi Yudistira. Masih untung, bukan lu, yang dihamili," ujar Yana menasehati. 

Kami tengah duduk-duduk di tepi jembatan yang di bawahnya adalah lintasan rel kereta api muatan batu bara, sambil makan cilok yang dibungkus plastik tadi dan minum teh kotak. Pulang sekolah, kami sengaja tidak langsung pulang ke rumah, tapi nongkrong dulu di tepi jembatan Tarahan ini untuk santai sejenak.

"Benar, tuh. Berarti Edi gak mau merusak masa depan lu, Ren.  Biarlah, si Fitri itu yang merasakan aib. Sekolah enggak tamat, gegara hamil duluan dan syukur aja Edi mau nikahin," cetus Indri, masih mengunyah cilok.

"Dan elu, Ren. Harus tunjukkan pada mereka, bila elu juga bisa dapat penggantinya yang lebih baik. Ayo lah  ... Move on, Baby."

Yana menepuk pipi ini dengan pelan dan tersenyum jenaka. Wajahnya yang oval dengan hidung dan bibir kecil, membuat tampak imut.

Aku jadi terharu, meski kedua sahabat ini belum pernah pacaran, tapi mereka pandai menasehati dan memberi support. Lalu mengembangkan senyuman agar keduanya tahu jika aku setuju dengan apa yang mereka katakan.

Akhirnya kami berencana nanti malam mau menonton bioskop, kebetulan ada film Barat horor dengan judul DRAKULA NEVER DIE.

Malamnya sesuai rencana, aku, Yana dan Indri nonton di bioskop untuk menghilangkan suntuk. Setelah masuk, kami mencari tempat duduk di bagian tengah menghadap layar lebar yang masih tertutup tirai warna merah.

Indri tak hentinya ngemil, sengaja dia bawa makanan ringan yang dibeli di warung tepi jalan. Sebab, jika beli di kantin bioskop itu mahal harganya. Yana juga melakukan hal yang sama, bahkan saling bertukar makanan dalam bungkus kemasan itu. 

Aku sendiri tidak minat untuk ngemil, walau keduanya berkali-kali menyodorkan cemilan tersebut. Malah fokus menatap deretan kursi kosong di pojokan sebelah kiri, jadi teringat kenangan nonton berdua dengan Edi. Kami tiap nonton suka duduk di kursi bagian pojok. 

Tak sengaja ekor mata menangkap dua sosok laki-laki beranjak dari tempat duduknya yang di bawah lalu berjalan ke atas dan mencari tempat duduk di dekat kursi kami. Film akan segera dimulai, tirai layar bioskop perlahan tergeser dan menampilkan layar yang sudah mulai menayangkan iklan, lampu ruangan gedung telah padam dan dua sosok lelaki ini, membuatku merinding dan jantung berdebar kencang. Baru ingat, jika ini adalah malam jumat.

BERSAMBUNG

TITIK NODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang