Prolog

570 51 5
                                    

BRAKK!!

Pintu dari kayu jati berwarna coklat itu di banting dengan keras, sang empu yang baru saja keluar dari mansion mewah tersebut berjalan dengan pandangan yang lurus, ekspresinya datar, membuat tak seorangpun tau apa isi hati laki-laki itu.

Ia mempercepat langkahnya saat di rasa suara langkah kaki mendekat kearahnya.

"Prawara!" panggil seseorang.

"War! Gue belum selesai ngomong!" tak menghiraukan sang pemilik suara, laki-laki jangkung yang memiliki paras bak dewa itu terus melanjutkan langkahnya, membawa tas ransel hitam di bahu sebelah kiri, berjalan tergesa menuju motor miliknya yang berada tak jauh di depan.

"Prawara Adiraksa Lembayung!" teriak seseorang yang sedari tadi tak Prawara hiraukan, merasa kesal ia menahan tangan Prawara yang berhasil ia gapai.

"Apalagi? Belum puas lo liat gue di pukul papa? HAH?!" Prawara balas berteriak terhadap orang itu, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kandungnya sendiri.

"War, kalo lo pergi yang ada papa makin marah!"

"Lo nggak tau perasaan gue bang! Lo enak di bela papa, di banggain papa, gue? Tiap hari kaya nggak di anggap anak." ucap Prawara dengan tertawa sarkas.

"Yang papa liat cuma Gama, Gama dan Gama terus! Apa sih bang yang papa banggain dari lo?" Gama Bamantara Madava hanya diam saat adiknya mengeluarkan unek-unek yang selama ini ia pendam.

"Gue selama ini berusaha bang! Berusaha bikin papa bangga sama gue, tapi nyatanya? PAPA CUMA BANGGAIN LO! DAN GUE SELALU DAPET HINAAN!" Prawara berucap dengan nada gemetar, matanya memerah, emosi yang sedari tadi ia tahan menguar begitu saja.

Prawara membuang muka, Gama menatap sang adik yang kini terlihat rapuh, tidak ada Prawara yang tangguh seperti biasanya, wajah yang biasanya tidak ber ekspresi kini kentara jelas bahwa ia menahan tangis.

"War..Gue nggak pernah sedikitpun seneng waktu papa bandingin gue sama lo, gue paham betul apa yang lo rasain, bukan salah lo dan kemanuan kita kan mama pergi?" Gama berujar dengan lembut, berusaha menenangkan. Ya, Haura -mama Wara dan Gama- meninggal saat tengah melahirkan Prawara.

Gama memang terpukul atas kepergian mama nya, namun Gama tahu bahwa mamanya meninggal bukan semata-mata karena melahirkan adiknya, melainkan takdir tuhan yang sudah di susun sedemikian.

"Gue nggak minta buat di lahirin ke dunia kalau tau takdir gue bakal gini." lirih Prawara.

"War-"

"Cukup bang, muak gue sama bacotan lo berdua!" ucapan Gama terpotong oleh suara Prawara yang kembali menjadi sinis dan tegas.

Prawara menaiki motornya, memakai helm full face nya dan menghidupkan motor ducati berwarna biru tua itu.

"Terus lo mau kemana sekarang War?" Gama bertanya dengan raut wajah khawatir.

"Lo nggak perlu tau, yang jelas, gue nggak akan pernah balik lagi ke tempat ini!"

Prawara mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan area mansion milik keluarga Madava yang megah dan elegant, jam menunjukan pukul 22.05 dan Prawara sendiri tidak tahu ia akan kemana.

The KnackeredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang