'Kalian takkan pernah bisa menghancurkan Arin. Sekalipun itu, akanku balas kalian dengan hal yang setimpal, bahkan lebih. Jangan kalian pikir bahwa aku tidak tau rencana kalian selanjutnya. Bersiaplah, kalian akan kalah.' Masih terbayang-bayang dipikiranku tentang surat teror yang diterima Om Martin dirumahnya tadi. Kelihatan sekali bahwa peneror tersebut berpihak pada Arin. Tapi, mengapa dia bisa tau? Yang awalnya kami ingin mengirimi Arin surat, tetapi kenapa malah kami yang menerimanya? Dari siapa surat itu? Kenapa dia bisa mengetahui rencana kami? Apakah dia orang dalam? Dan mengapa dia sangat yakin jika kami nantinya akan kalah? Ntahlah, terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab itu.
Walaupun surat itu tidak seperti surat-surat teror difilm-film yang bertulisan dengan tulisan berdarah merah pekat, tetapi surat ini sangat kelihatan seperti sangat mengancam kami berdua. Aku, dan Om Martin.
Aku memakai setelan baju biru dan celana panjang, penampilan yang sangat terlihat seperti orang aneh. Tentu saja, karena dilengkapi dengan rambut acak-acakkanku ditambah lagi bajuku yang kelihatan kusut. Saat ini, aku sedang pergi ke tempat yang dituju bersama Om Martin.
"Ya ampun! Om, aku lupa memakai topi dan kacamata. Bagaimana jika Arin dan yang lainnya melihatku?"
"Sudahlah, tak apa. Lagian ini sudah malam. Lagian yang terpenting saat ini kita harus segera mendapatkan Mamanya Arin sebelum diambil oleh peneror yang ngga jelas itu!" tegas Om Martin. Ya, aku mengerti, emosinya sedang naik sekarang. Dia adalah tipe orang yang tidak mau kalah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika nantinya kami yang akan hancur?
"Nah, kita sudah sampai. Ayo turun." kata Om Martin seraya mematikan mesin mobil.
"Oke, Om." Akupun segera turun mengikuti Om Martin dari belakang. Gelap dan sepi? Apakah tidak ada orang didalam?
"Ah sial! Pasti peneror itu sudah mengambil mama Arin sebelum kita." kata Om Martin dengan kesal. Dia menendang sebuah kaleng yang ada didepan kakinya.
"Jadi bagaimana, Om? Tidak mungkinkan, masa kita hanya sampai disini saja? Masih banyak cara-cara lain yang bisa kita rencanakan."
"Iya, benar, Ka. Lagian ini belum ada apa-apanya."
"Tapi, Om, bisa saja mama Arin tidak diselamatkan oleh peneror itu? Mana tau dia sedang pergi ke suatu tempat dan belum pulang. Bagaimana kalau kita berpencar mencari, Om?"
"Bener juga. Oke, kamu kesana, Om akan cari disekitar sini ya!"
Aku berjalan menyusuri arah yang telah ditentukan Om Martin. Sangat tidak nyaman berjalan dengan status 'orang hilang' seperti ini. Dari awal kenapa juga kacamata dan topi itu harus ketinggalan. Terlihat seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. "Kok ngga ada ya? Apa jangan-jangan mama Arin udah diambil sama si peneror itu?" gumamku.
Tapi kalau dipikir-pikir, cepat sekali gerak si peneror itu. Kami baru saja merencanakan penculikan mama Arin tadi sore. Tetapi malam ini sudah diambilnya. Siapa sih sebenarnya dia? Berpikir seperti ini membuatku jadi kehausan. Kebetulan sekali aku melihat warung kecil disana. Untung saja aku datang lebih awal, karena warung itu sudah mau tutup. "Bu, beli air dong, satu." kataku seraya menyodorkan uang.
"Waduh uangnya besar sekali. Tunggu sebentar ya." Wah, ibu ini sama sekali tidak ada menoleh matanya untuk melihatku. Sekalipun disaat dia sedang berbicara kepadaku. Benar-benar aneh.
Aku melihat ke sekelilingku, tidak ada aku melihat keberadaan mama Arin. Tunggu..... Samar-samar aku mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. Benarkah? Apakah ini hanya halusinasi saja? Lagi-lagi aku melihat ke sekelilingku. Oh, right there! Arin dan Deskara disana! Aku harus pergi secepatnya. Tepat seperti dugaanku, bahwa dengan penampilan seperti ini pasti akan ketahuan.
Sepertinya mereka sedang berjalan tepat kearahku sesang berdiri ini. Tanpa mementingkan uang kembalian, aku segera saja berlari secepatnya.
"Raka, tidak ada hasil sama sekali. Om tidak menemukan mama Arin. Lah, kamu kenapa kok ngos-ngosan?"
"Hhh, ini, Om. Tadi ada Arin.. Sama temen satu kos saya, Deskara. Mereka melihat saya, Om. Jadi langsung lari kesini."
"Benarkah? Ya sudah, kalau begitu kita harus segera pergi, sebelum mereka berdua sampai disini. Ayo cepat!"
Aku dan Om Martin langsung saja tancap gas dari daerah ini. Diperjalanan, tepat di warung tempat aku membeli air mineral, disitu ada Arin dan Deskara. Sebegitu khawatirnyakah mereka? Apa arti diriku dimata mereka? "Haissh, stop, Raka!" kata-kata dari mulutju itu keluar begitu saja.
"Ada apa, Ka?"
"Ngg, tidak ada, Om."
Aku yakin masih ada rasa kasihan pada teman-temanku itu, terutama Arin. Lagi-lagi muncul pertanyaan didalam benakku. Benarkah langkah yang telah aku lakukan ini?
---------------------------------------------------------------------
demi apa ini nyempet-nyempetin nulis HAHA walopun isinya gaje wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Girl will Get Good Love
Teen FictionCobaan yang rumit datang bertubi-tubi. Bisakah aku melewatinya?