Untitled Part 2

140 2 0
                                    

NAT POV

“Tell the world I’m coming home...”.

Tepuk tangan dan sorak sorai penonton menggema di gedung auditorium kampusku begitu aku menyelesaikan lagu terakhirku sebagai penutup acara sore hari ini. Ribuan mata menatap kami penuh senyuman hangat, mereka menikmati penampilan kami, itulah yang aku rasakan. Aku bahagia, mereka selalu menampakkan antusiasme tanpa ada yang ditutup-tutupi. Tapi mereka yang membenci kami khususnya aku juga tidak pernah menutupinya, sebagian kecil dari mereka akan dengan gamblangnya mengkritik, mencela bahkan terkadang mereka juga menghinaku habis-habisan, tapi siapa yang peduli?, aku sudah terbiasa dengan mereka. Toh lebih banyak yang suka dibandingkan yang tidak suka, dosen-dosen disini juga banyak yang menyukaiku – maksudku band-ku – juga performance kami. Sering kali di setiap acara yang diadakan di kampusku selalu memintaku dan teman-temanku untuk ikut berpartisipasi mengisi acaranya, aku beruntung karena personil band-ku tidak begitu pilih-pilih job. Mereka senantiasa menerima tawaran-tawaran manggung di berbagai acara. Itulah sebabnya kita tidak menentukan genre khusus, kita lebih universal ke all genre.

Aku menemui teman-temanku di backstage setelah sebelumnya Mrs. Anna salah satu dosenku memanggilku untuk membicarakan konser amal yang akan diselenggarakan akhir pekan ini dimana kami akan tampil sebagai pengisi hiburannya. Cowok gerondong berbadan tegap menyadari kedatanganku lebih dulu dan melambaikan tangannya memintaku mendekat, dua cowok lainnya yang tampak sibuk dengan gitar merekapun akhirnya menyadari kedatanganku dan menyapaku seperti biasa.

“Queen...”, sapa cowok berambut spike yang kini meletakkan gitarnya asal. Membuka lengannya begitu aku hampir semeter di depannya.

Aku membalas pelukannya dan menepuk-nepuk bahunya keras untuk membuatnya mengendurkan pelukannya. “You want to kill me, dude!”.

“Hahahaha...”, dia tertawa keras sambil mengencangkan pelukannya untuk beberapa detik baru kemudian melepaskanku. “Sorry, queen”.

Kujitak kepalanya cukup keras, membuatnya melenguh kesakitan dan berjalan menjauh. Oh ya, dia adalah Evan, gitarisku. Kami berteman sejak kami berumur 10 tahun, dia hanya satu tahun lebih tua dariku, tapi kita duduk di bangku pendidikan yang sama karna ketololannya, bahkan setelah aku cuti dari kuliahku untuk 2 semester 2 tahun yang lalupun dia masih selevel denganku. Entahlah, mungkin dia itu terlalu bodoh.

Pelukan selanjutnya kudapat dari manusia sejuta perkara, begitulah kami memanggilnya. Dia adalah Jasson, cowok polem unik ini tidak pernah jauh dari yang namanya masalah. Bukan masalah pribadinya, tapi dialah yang membuat bertumpuk-tumpuk masalah mendekati kami. Dia tidak pernah jauh dari yang namanya kerusuhan. Tapi dia sahabatku, dia yang selalu memberiku makanan di tiap sesi latihan kita.

Thanks Jass”, ujarku begitu dia melepas pelukannya. Aku benar-benar berterima kasih padanya karna permainan bass-nya tadi sangat keren. Yess, he’s my bassist.

“Temenin gue ke PIM besok”, balasnya. Itu salah satu hal yang kubenci darinya, dia itu hobi shopping. Untung aja body-nya meyakinkan setiap mata bahwa dia itu pria sejati, meskipun hobi belanja.

Aku hanya memutar bola mataku menjawab permintaannya. 

Kali ini aku yang mendekat, cowok gerondong satu ini memang terkesan cuek dan urakan, tapi siapa yang tahu kalo dia ini masuk dalam salah satu tipe pria idaman wanita. Tampangnya yang kereng dan penampilannya yang terkesan slengean membuatku merasa bebas berekspresi padanya, dia tidak akan marah dengan apapun yang kulakukan. He’s Eleminor Satria atau yang biasa disapa Elmo, my drummer. Aku memeluknya erat bahkan mengguncang-guncang badannya. Dia tampak pasrah saja, malah dia membalas tindakanku dengan memutar-mutar tubuhku membuatku harus berteriak.

Sweetest RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang